Brian, sedekat apa pun Luna dengannya, Luna tidak benar-benar tahu latar kehidupan Brian. Dan, Brian juga tidak pernah tertarik untuk menceritakan pada Luna. Hanya tentang Bella, sang saudara kembar yang pernah diceritakan. Selebihnya, Luna hanya tahu beberapa. Itu pun hanya menerka-nerka.Brian, ia seolah membuka akses untuk Luna. Namun, ia jelas memberi batasan untuk hal-hal yang tak seharusnya bisa dijangkau Luna.Seperti sebelumnya, Brian lagi-lagi tak menjawab pertanyaan Luna yang menanyakan tentang sosok dokter Rio. Brian hanya menghindar dan mengalihkan pembicaraan.Meski sekarang, Luna juga tidak lagi begitu penasaran. Ah, kadang kala Luna memang masih sering kelepasan dan melupakan batasan diantara mereka. Seharusnya, Luna mengingat hal itu setiap saat, agar ia tidak lagi begitu lancang menanyakan hal-hal yang tidak seharusnya dia tahu."Brian, lihatlah. Aku hanya mengganggu kamu jika aku ikut ke kantor," ujar Luna pelan, memainkan jari-jemarinya di kepala Brian yang berada di
Senyum cerah tak juga luntur dari wajah Luna, meski sedari tadi Brian memerintahkannya untuk melakukan banyak hal. Namun, Luna menurutinya dengan senang hati."Kamu begitu bahagia, hanya karena aku memperbolehkanmu untuk bekerja?" tanya Brian sembari tersenyum memandangi Luna yang memasangkan dasinya. Senyuman Luna bahkan membuat Brian tertular untuk menarik sudut bibirnya ke atas."Iya, aku sangat senang." Luna bahkan memberikan sebuah kecupan di pipi Brian, membuat Brian mematung.Untuk pertama kalinya, Luna melakukan itu. Bahkan tanpa diminta oleh Brian, dan Brian merasa sangat senang sehingga ia membalas dengan mengecup pipi Luna berulang kali."Sudah, aku juga harus membantu Bintang bersiap," ujar Luna sembari mendorong Brian, dan membuat Brian langsung mendengus.Luna lalu berjalan menuju kamar Bintang. Tadi, Bintang sudah mandi sendiri, seharusnya sekarang sudah selesai. Dan benar saja, Bintang bahkan sudah memakai seragam sekolahnya, meski jadinya tidak begitu rapi karena ia m
"Brian, mengapa hanya menatapku seperti itu," tegur Luna, "panggil Bintang, mengapa dia tidak juga membuka pintu kamarnya." Luna mulai khawatir, Bintang bahkan tidak menyahut dari dalam sana.Seolah tersadar, barulah Brian ikut menyerukan nama Bintang sembari mengetuk pintunya."Bintang," panggil Brian, namun lagi-lagi tidak ada sahutan dari Bintang."Bintang, buka pintunya sayang. Mama sedih kalau Bintang tidak membuka pintunya," ujar Luna, ia bahkan memasang ekspresi sedih di wajahnya, seolah Bintang akan melihatnya."Bintang!" Suara Brian naik beberapa oktaf, saat tidak juga mendapat jawaban dari Bintang. Rasa khawatir mulai menyerangnya.Brian yang mulai resah dan khawatir, berniat menabrakkan tubuhnya pada pintu, mendobrak. Namun, Luna menahannya."Kamu tidak memiliki kunci lain?" tanya Luna.Luna menyayangkan jika pintu harus didobrak dan mengalami kerusakan. Selain itu, Luna juga khawatir jika saja Bintang ada di balik pintu, dan Bintang akan terluka.Brian tidak menjawab, namun
"Saya akan menunggu Anda di kantor, dan saya harap Anda tidak lagi.…" Adrian berdehem, sebelum melanjutkan ucapannya, "tidak lagi memakan bibir." Adrian tampak menahan tawa saat menyentuh bibirnya, ia bahkan tidak melanjutkan ucapannya dan hanya tertawa."Pergi kau, sia*an!" ketus Brian saat Adrian lagi-lagi menggodanya.Luna bahkan tidak ingin keluar saat mengetahui bahwa yang datang adalah Adrian. Luna merasa malu, belum lagi kemarin saat Bintang dengan terang-terangan mengadu pada Adrian tentang apa yang dilihatnya. Rasanya Luna ingin menghilang saat itu juga. Untung saja saat itu Adrian memiliki penjelasan untuk mengelabuhi Bintang, agar tidak mempermasalahkan hal tersebut. Tapi, setelah itu, Adrian tertawa begitu keras dan mendapat lemparan bantal sofa dari Brian.Lagi pula, itu memang kesalahan mereka. Seharusnya mereka lebih hati-hati dalam melakukan sesuatu."Baik, sampai ketemu di kantor." Adrian pergi dengan sisa tawanya yang masih mengudara.Hari ini, Adrian datang diwaktu
"Bella?" gumam Luna pelan, "siapa perempuan yang tadi dok?" tanya Luna setelah kepergian perempuan yang bernama Bella.Luna merasa tak asing dengan nama itu, mengingat kakak Brian yang juga memiliki nama yang sama, Bella. Tapi, mereka jelas berbeda. Berdasarkan foto yang pernah dilihat Luna tentang sosok Bella, dia memiliki mata seperti Brian, hidung dan juga alis yang benar-benar mirip dengan Brian. Bisa dikatakan, sosok Bella yang merupakan kakak kembar Brian adalah versi perempuan dari Brian.Meski, Bella yang bekerja menjadi perawat tadi, juga ada kemiripan jika dilihat dalam sekilas. Ia memiliki bentuk bibir dan juga lesung pipi yang sama dengan Bella, kakak Brian.'Tapi, tidak mungkin jika mereka adalah orang yang sama kan?' pikir Luna yang mulai membuat teori di kepalanya."Dia perawat senior di sini, meski usianya terbilang muda, dia cukup berpengalaman." ujar Dokter Rio, "dia juga yang menjabat sebagai kepala ruangan tempat kamu akan bekerja," lanjutnya."Benarkah?" Luna masih
Luna pulang dengan cepat, karena hari ini ia belum mulai bekerja. Luna sengaja tidak memberitahu Brian, juga meminta Dokter Rio untuk tidak mengatakannya pada Brian.Bahkan pada saat sampai di rumah dengan menggunakan taksi, Luna juga melarang para pengawal untuk melaporkan pada Brian kalau ia sudah berada di rumah."Tidak perlu beritahu Brian kalau saya sudah pulang ke rumah," ujar Luna pada para pengawal, "saya ingin memberinya kejutan, dia pasti akan senang saat sudah pulang dan aku sudah ada di rumah," lanjutnya bersandiwara, dengan senyuman palsu yang menghiasi wajahnya. Perasaan Luna sangat tidak tepat jika harus bertemu Brian sekarang, Luna butuh waktu untuk menenangkan diri. Meyakinkan pada dirinya sendiri, kalau ia bisa melalui semua ini hingga permainan selesai.Namun, tentang orang tua. Luna tidak dapat menerimanya jika itu berkaitan dengan orang tuanya."Baik. Tapi, Non.…" Pengawal itu tampak gelisah, sesekali melirik ke arah pintu rumah yang tertutup. Ia hendak menyampaik
"Pergilah tanpa sepengetahuan Brian dan Bintang. Dan, jangan pernah katakan pada mereka kalau aku yang memintamu untuk pergi!" ujar Bibi Megan dengan sebuah ancaman."Atau, kau bisa kehilangan rumah ini!" Bibi Megan menunjukkan sebuah gambar rumah panggung yang sangat dikenali oleh Luna, bahkan gambar itu diambil saat ia dan orang tuanya berada di teras rumah, sehingga ia juga ada dalam gambar tersebut."Dari mana Bibi mendapatkannya!" Luna berusaha merebut gambar yang dipegang Bibi Megan, namun dengan gesit Bibi Megan menarik tangannya."Ada banyak rahasia yang tidak kau tahu! Jika ingin mengetahuinya, dan juga rumah ini dan segala kenangannya, maka pergilah! Tinggalkan Brian dan juga Bintang, tanpa sepengetahuan mereka."Luna menelan salivanya dengan susah payah, mendengar penuturan Bibi Megan. Haruskah Luna melakukannya? Tapi, bagaimana dengan Bintang? Brian, Luna belum sanggup jika harus pergi sekarang, meski Luna tahu, kelak ia tetap akan pergi saat sang pemilik rumah yang sesungg
"Dari mana kau tahu?" tanya Brian, terkejut mendengar apa yang dikatakan oleh Adrian."Para pengawal sempat memeriksa rekaman kamera pengintai. Melihat Luna yang menangis dan nyaris melompat ke bawah, apakah kalian benar-benar bertengkar?" tanya Adrian yang semakin penasaran."Tidak," jawab Brian, singkat. Ia memang tidak sedang bertengkar dengan Luna, karena itulah Brian kebingungan. Atas alasan apa, mengapa Luna mencoba untuk melompat dari balkon kamar.Brian yang masih belum tahu-menahu, memilih berpindah ke sofa untuk duduk sembari memberikan pijatan lembut di kepalanya. Ia merasa apa yang baru saja terjadi, seolah hanya sekilas dan tidak ia pahami dengan baik.Dan yang masih menjadi pertanyaan besar di kepalanya adalah, mengapa Luna mencoba untuk mengakhiri hidupnya? Apakah ada sesuatu yang mengganggunya!'Tentu saja, ada sesuatu yang tidak aku ketahui,' pikir Brian."Pukul berapa istriku pulang ke rumah?" tanya Brian pada para pengawalnya."Pukul Sepuluh pagi, Tuan," jawab sang p