Jangan lupa tinggalkan jeja love dan komen ya. makasih sudah baca.
Bab 72Empat hari setelah dirawat di rumah sakit, Aira diperbolehkan pulang. Ana merasa lega sekali karena dia sudah bisa mulai kerja kembali besok. Ia tidak bisa membayangkan nasib ke depan jika tidak memulai pekerjaannya. Bahkan ia menghilangkan rasa malu dengan meminta izin Rahma untuk dibayar di awal lebih dulu. Rahma wanita berhati lembut itu justru dengan semangat mengiyakan permintaan Ana. Entah kenapa ia langsung saja percaya pada Ana. Bahkan hari ini kepulangan Aira pun Rahma yang jemput bersama Arga. "Mbak Rahma makasih banyak ya, malah merepotkan nih," ucap Ana malu-malu. "Santai saja, Na. Tadinya malah mau minta tolong Mas Sakha, tapi dia masih harus di kantor," balas Rahma sambil melihat Ana yang duduk di kursi belakang dari spion atas. Di sampingnya Arga fokus menyetir membelah jalanan ibukota yang ramai di siang hari jam istirahat. "Ini ke arah mana, Na?" Arga meminta petunjuk karena belum tahu tempat tinggap Ana. "Lurus terus, Mas. Pertigaan hotel itu ambil kanan.
"Gimana, Mbak?" Arga memandang heran wajah kakak iparnya yang berbinar. Pasti kabar baik, pikirnya. "Beres, Ga. Papa dan mama setuju. Apalagi papa paling semangat malah." "Syukurlah." Arga bisa merasakan perubahan sikap papanya waktu muda. Kata mamanya waktu muda papanya angkuh dan sombong, bahkan sama orang kecil saja tak acuh. Entah kenapa sejak mengetahui musibah yang menimpa menantunya, papanya langsung berubah drastis. Setiap Arga bertanya alasannya, sang papa hanya menjawab ingin menebus kesalahan di masa lalu. Arga masih belum ngerti misteri itu. Apa karena papanya pernah menentang hubungan kakaknya dengan istri sirinya. Entahlah. "Na. Kamu sama Aira untuk sementara tinggal di rumahku dulu ya. Kamu bisa fokus kerja tanpa khawatir dengan Aira." Ana melebarkan matanya. Ia jelas terkejut bukan main. Tidak pernah disangka Ana akan tinggal dengan kekuarga ayah Aira. "Giman, Na? Kamu mau, kan?" "Maaf, Mbak. Ini terlalu berlebihan. Saya bisa kok besok berangkat kerja. Ada Mbok Da
Bab 74"Astaga, jangan fitnah. Nanti tuan dan nyonya tahu kamu bisa dipecat." "Cih, kita tunggu saja. Kalau ada laki-laki yang tak ada angin tak ada hujan membawa wanita ke rumah pasti ada udang dibalik batu." ART itu menyeringai tipis atas kecurigaannya. Selesai bercengkerama dengan keluarga besar Sakha, Ana beristirahat di kamar tidur tamu. Ia menata barang-barangnya setelah Aira terlelap. Pintu kamar masih ia biarkan terbuka karena belum terbiasa tinggal di situ. Suara deru mobil memasuki pelataran rumah. Sakha baru saja pulang dari kantor. Dia mengucap salam lalu masuk ke rumah. Suasana sepi seperti biasa jam santai orang tuanya pasti duduk mengobrol di belakang. Saat melintasi kamar tidur tamu netranya memicing ke arah pintu yang terbuka. Tidak biasanya pintu itu terbuka, apa ada tamu keluarganya jauh yang datang menginap. Dia mendekati ambang pintu bersamaan dengan Ana yang melangkah ingi keluar kamar. "Astaghfirullah, Mas Sakha." "Ana?!" Sakha justru melangkah masuk ke kam
"Astaga Mas Sakha, Ana! Kalian benar-benar keterlaluan menghianati Mbak Rahma." Arga memilih diam terlebih dahulu. Ia ingin menyelidiki kebenarannya. Baru sekali ini ia memergoki kakaknya mendekati Ana. Meskipun di dalam Ana pasti bersama Aira, kakaknya tidak pantas masuk kamar itu. "Apa yang mereka berdua lakukan di kamar? Jangan-jangan mereka? Aargh, Mas Sakha kurang aj*r," umpat Arga dalam hati. Arga juga sebisa mungkin menutupi masalah ini dari Rahma supaya kakak iparnya tidak terpuruk kembali jika tahu yang sebenarnya. Menjelang makan malam, Ana mengikuti ajakan Rahma untuk makan di meja bersama keluarga besar Sakha. Ia sudah menidurkan dulu Aira sambil minum susu dari dot. "Mbak, saya makan di kamar aja ya. Nggak enak nih kalau makan bareng." Ana mencoba tawar menawar dengan Rahma. Namun wanita itu tetap kekeh mengenalkan Ana pada keluarga Sakha. "Ayo, santai saja! Papa dan mama orangnya ramah, kok." "Malam om, tante." Ana mencoba menyapa dengan kerendahan hatinya. Ia mera
Bab 76Keesokan harinya Ana sudah mulai bekerja membantu Rahma. Ia sudah selesai menyuapi Aira dan memberi minum susu. Setelah itu, Aira digendong sebentar sudah pulas dan ditidurkan di kasur kecil yang sibawa di ruang keluarga. Di sana sudah ada Gita yang menunggu sambil menonton televisi. Ana mengulas senyum melihat respon baik dan ramah yang ditunjukkan tuan rumah ini. Berbeda dengan ART dan satpam yang kurang menyukai dirinya, Ana tetap berlaku sopan pada mereka. Teringat percakapan semalam, Ana bersyukur tidak dicecar lebih jauh tentang ayah Aira. Ana menjawab kalau ayah Aira bekerja di ibukota dan ia sedang mencarinya. Tidak ada lagi pembicaraan mengenai masalah itu, makan malam pun berlangsung lancar. "Bu, nanti kalau Ai bangun, saya ada di sebelah ya," ucap Ana meminta izin meninggalkan Aira. "Tenang saja, nanti saya panggil kamu, Na. Di sini ada bibi juga yang bisa jagain Aira. Iya kan, Bi?" "Eh, hmm, iya Nyonya." Bibi hanya ngedumel sendiri sambil menatap sinis ke arah
Bab 77"Ini kurang ke sini, proporsi kalimat dan gambar disesuaikan. Warnanya juga dibuat kontras agar lebih menarik. Masak kayak gini aja kamu nggak paham. Anak TK aja tahu warna apa aja yang menarik." Ana mendecis kesal Sakha membandingkannya dengan anak TK. Sepertinya laki-laki itu sengaja membuat dirinya tidak betah bekerja di sini. "Iya, Mas. Nanti saya otak-atik lagi. Terima kasih," ucap Ana penuh penekanan. Sakha hanya mengulas senyum penuh kemenangan karena berhasil membuat Ana kesal. "Benar kan, Mas? Ana pasti bisa kerja dengan baik." "Iya, Sayang. Semoga kerjaanmu semakin ringan dibantu Ana. Aku berangkat dulu ya!Sakha mengecup kembali kening Rahma membuat ana memalingkan muka ke arah layar komputer. "Ishh, bukannya kasih apresiasi biar aku semangat malah meremehkan aku lebih jelek dari anak TK." "Na, kamu kenapa menggerutu begitu?" "Eh enggak, Mbak. Aku berusaha mengkombinasikan warna nih." "Sudah, jangan dimasukkan hati ucapan Mas Sakha. Dia itu baik hati kok. Cuma
Bab 78Ana selesai mandi telah berganti dengan pakaian santai dan sopan. Ia hendak keluar menggantikan Gita momong Aira. Baru beberapa langkah kaki menginjak ruang tamu, ada Sakha yang berjalan bergandengan dengan Rahma. Ana segera menghentikan langkahnya dan menundukkan pandangan. "Aku buatin minum dulu ya, Sayang." Rahma melepaskan tangannya yang mengamit mesra lengan Sakha. Ia lalu mendekati Ana supaya menemani mamanya di depan. "Aira sama mama dan papa di teras, Na." "Iya, Mbak." Rahma berlalu, menyisakan Sakha dan Ana yang saling bersitatap dalam keheningan. Ana melangkah kembali dan menundukkan kepala di depan Sakha. "Bagaimana kerjaanmu hari ini?" tanya Sakha dengan suara datar. "Lancar, Mas." "Syukurlah. Aira gimana?" Ana terkesiap. Ia tidak menyangka Sakha akan menanyakan kabar anaknya. "Baik, Mas. Hari ini tidak rewel." "Kalau sudah sehat betul, sebaiknya kalian kembali ke rumah." Mendengar ucapan Sakha dengan wajahnya yang serius membuat Ana harus menelan ludahnya
Bab 79"Nanti malam antar aku belanja bulanan bisa, Mas?" Sakha menyeruput minuman hangat yang membuat tenggorokannya lega. "Tentu, Sayang. Tapi ada imbalannya," celetuk Sakha dengan kerlingan mata kanannya. "Apa?" tanya Rahma penasaran. "Aargh! Mas Sakha!" "Kasih imbalannya dulu ya." Sakha sudah membuat istrinya seolah terbang ke awan. Sentuhan penuh cinta menemani keduanya meneguk nikmatnya dunia. "Mas mandi dulu!" protes Rahma. Namun laki-laki itu tidak mengindahkan omongannya. "Habis ini pasti mandi." Gelak tawa keluar dari mulut Sakha yang melihat istrinya kesal dan mengerucutkan bibir. Tidak ada penolakan hingga akhirnya keduanya larut dalam aktivitas yang menjadi candu. Sakha memberikan sebuah kecupan di kening istrinya sebagai tanda kasih sayangnya yang mendalam. Malam tiba, sehabis salat Isya Rahma sudah bersiap dengan gamis marun kesukaannya dipadukan jilbab floral. Sementara itu Ana juga mengenakan dress lengan panjang selutut. Rambutnya sebahu dibiarkan tergerai.