selamat membaca. terima kasih sudah mampir. jangan lupa like dan komentarnya ya.
Bab 86Rahma membiarkan suaminya melanjutkan aksinya, sementara pikirannya berkecamuk saat mengendus kemeja sang suami, sebuah parfum yang sama menguar menusuk hidungnya. "Kenapa Mas Sakha bau parfum yang sama dengan Arga? Baunya juga sama dengan saat aku bersama Ana." Aargh Lamunan Rahma buyar seketika. Suaminya sudah mendominasi hingga keduanya tenggelam dalam kenikmatan dunia yang berujung pahala. Suara dengkuran halus terdengar dari sosok yang tidur di samping Rahma. Ia memandang lekat wajah suaminya selama beberapa menit. Jemarinya mengukir hidung mancung itu. Tanpa diduga, Sakha mengguman tak jelas. Rahma mengamati dengan seksama perilaku tak biasa suaminya. Hampir jarang Sakha mengigau saat tidur bersamanya. Hanya sekali saja waktu sakit dulu, Sakha mengigau kedinginan. Namun kali ini, suara yang muncul samar-samar seperti sebutan nama orang. "Ra....tih," Sakha terlihat gusar dengan mata terpejam. "Mas, bangun Mas! Mas Sakha." "Jangan pergi! Maafkan aku!" Deg. Rahma me
Bab 87***** Keesokan harinya, Ana sudah berpakaian rapi dan menggendong Aira yang juga sudah selesai makan dan mandi. "Na, bisa ikut aku sebentar. Ai, Sayang ikut uti cantik dulu ya." Rahma begitu ceria dengan kehadiran Aira di rumah mertuanya. Ia bahagia bukan hanya karena dirinya yang mengharapkan segera punya anak, tetapi ia bahagia karena bisa membuat mertuanya juga suaminya senang dengan tangis dan tawa bayi mungil itu. Namun, rasa itu tidak terlukis di wajah ART dan juga Arga. Sejak Arga tahu kalau Ana dan Aira masa lalu kakaknya, ia berniat mengusir keduanya supaya tidak mengganggu kehidupan rumah tangga kakaknya. "Sini, Sayang. Aira mau mama ajak melihat-lihat bunga anggrek yang mekar." "Ishh, hati-hati Ma. Nanti tangan Aira mematahkan bunganya mama nangis lho." "Ckk, kamu tuh, dikira mama anak kecil?" Rahma tergelak dengan candaannya bersama Gita sang ibu mertua. Mereka memang akrab seperti ibu dan anak kandung. Rahma meletakkan tas brandednya sembarang di kursi ruang
Bab 88"Tunggu Mbak. Ini jam siapa bagus sekali? Ana beli jam baru ya?" Semua mata tertuju mengikuti arah telunjuk bibi ke sebuah tas yang tergeletak di nakas.Ana terbelalak melihat jam yang tidak dikenalinya. "Kamu mencuri jam Mbak Rahma, ya? Ayo ngaku!" Bibi sudah mencengkeram erat lengan Ana hingga wajahnya mengernyit menahan sakit. Arga membuang muka karena sedikit merasa bersalah. Skenario yang dibuatnya dengan bibi justru amat berlebihan. Akting bibi terlihat serius ingin menyakiti Ana padahal Arga hanya berniat menjauhkan perempuan itu dari kakaknya. "Sudah-sudah, Bi. Jangan kasar sama Ana. Kasian dia kesakitan, lho." Arga pura-pura membela Ana. "Maafkan saya, Mbak. Saya benar-benar tidak tahu kenapa jam itu ada di tas saya. Saya tidak mencurinya." Ana menjawab terbata disela isak tangis yang menyayat hati. Ia sadar keberadaannya di sana memang ada yang tidak menginginkan. "Mana ada maling mau ngaku," imbuh bibi yang diiyakan oleh Arga. Keributan mereka mengundang Gita y
"Sekarang mungkin jam Mbak Rahma yang diambil. Siapa yang sangka kemudian hari suami Mbak yang diambil," celetuk Arga tak kira-kira membuat Rahma terlonjak. "Arga!" Rahma dan Gita menyahut dengan tatapan tajam mengarah ke Arga. "Kok kamu ngomong gitu, sih?" Rahma memprotes Arga dengan raut wajah tak suka." "Maaf, maaf. Ana memang gadis polos, kali aja semakin kenal semakin berani. Air tenang biasanya menghanyutkan. Ah, sudahlah, aku mau ke kampus aja." Arga mencium punggung tangan mamanya yang masih terpaku omongannya tadi. Pun Rahma diam membisu, sedangkan bibi melesat minta izin kembali ke dapur. "Rahma, jangan dengerin omongan ngaco Arga. Sakha bukan laki-laki seperti itu. Dia pasti setia padamu, terlepas dulu punya masa lalu yang membuat kamu terpuruk." Gita mencoba menenangkan Rahma yang melihat dengan tatapan kosong. "Rahma! Mama mohon, jangan sampai masalah ini mengganggu kesehatanmu,ya! Arga keterlaluan." "Nggak, Ma. Arga benar, Rahma harus sadar diri belum bisa memberi
Bab 90"Ma, bangun Rahma!" "Ah, Sherly. Jam berapa ini? Aku kenapa bisa terbaring di sini?" Aroma obat-obatan menyentak kesadaran Rahma. Ia mencoba mengingat-ingat kenapa dirinya terbaring di brangkar rumah sakit. "Kamu tadi pingsan. Aku coba telpon suamimu, tetapi tidak diangkat. Sepertinya Sakha sedang sibuk." "Iya, Mas Sakha baru ada meeting MOU dengan perusahaan asing." Rahma mencoba bangun dan menegakkan badannya. Ia meraih sebotol air mineral di meja samping brangkar. "Aku turut prihatin dengan masalah ini, Ma. Aku tidak menyangka Sakha menyakitimu untuk yang kedua kalinya," sesal sahabat Rahma sambil duduk di samping brangkar. "Tidak Sher. Ini bukan salah Mas Sakha. Anak itu anaknya dengan wanita yang dicintainya sebelum bersamaku." "Hah. Jadi, suamimu menghamili wanita lain di luar pernikahan?" ujar Sherly shock. "Nggak mungkin Mas Sakha begitu. Aku tahu betul suamiku, Sher. Wanita itu pasti sudah dinikahinya. Aku juga nggak tahu duduk perkaranya. Tolong jaga rahasia in
"Lho, Ana mau kemana?" seru Gita dari posisinya duduk di kursi ruang keluarga. Pak Ardi pun memandang heran Ana seperti orang mau mudik jauh. "Mau kemana, Na?" tanya Pak Ardi. "Maaf, Pak, Bu. Saya izin mau balik ke kontrakan. Berhubung Aira sudah sehat, saya mau mengajaknya pulang. Kasian Mbok Darmi sudah tua. Beliau tinggal sendirian di sana. Saya khawatir ada apa-apa juga dengan beliau. Suami istri yang usianya tak muda lagi itu saling memandang kebingungan. Pasalnya, Rahma dan anak-anaknya tidak ada di rumah, kenapa Ana tiba-tiba pergi seolah tidak mau pamit dengan mereka. Namun, suami istri itu tidak punya alasan kuat menahan Ana karena ada orang tua yang harus dijaga juga. Keduanya menjadi tertegun, Ana sangat perhatian merawat orang yang sudah tua seperti mereka. "Ini hampir malam, Na. Nggak baik untuk kesehatan Aira," ucap Gita memberi saran. "Saya naik taksi kok, Bu." "Tapi kamu belum pamit sama Rahma, bukan? Nanti kalau dia nyariin Aira sama kamu gimana?" Giyamasih menc
Bab 92Sakha berada di dalam mobil yang terparkir di depan kantor tempat Rahma meeting. "Halo, aku sudah di parkiran, Sayang." "Ya, Mas. Aku siap-siap keluar." Tak lama kemudian, Rahma muncul dengan wajah lelahnya. Langkahnya sedikit gontai membuat Sakha sedikit khawatir. "Gimana meetingnya, Ma?" "Lancar, Mas. Untung nggak lewat Isya. Malah tadi katanya Maghrib selesai, eh molor sedikit," gerutu Rahma membuat Sakha mengulum senyum. "Sepertinya kamu lelah, Sayang." "Iya, agak pusing nih, Mas. Kita langsung pulang aja, ya." "Lho katanya mau makan malam, jadi nggak?" "Maaf, aku pengin segera rebahan, nih. Perut juga sedikit mual malah nanti nggak enak makan." Rahma mencoba meyakinkan suaminya. Padahal ia pengin segera sampai di rumah untuk bertemu Ana. "Ya sudah kalau gitu kita langsung pulang saja. Nanti kalau kamu pengin makan apa kita bisa delivery order." "Iya, Mas." Sakha melajukan mobilnya membelah jalanan ibukota. Keramaian yang masih terasa membuat laju mobil pun mela
Bab 93"Astaga, Rahma jangan telat makan. Jaga kesehatanmu!" Saran Gita segera diangguki Rahma. Sakha lantas mengajaknya ke kamar untuk istirahat. "Nanti biar mama bilang ke bibi suruh bawakan makan malam kalian ke kamar." "Makasih, Ma. Oya, apa Arga sudah pulang?" "Iya, lagi ngerjain apa di atas tuh dari tadi masuk rumah nggak turun-turun." Sakha hanya menggelengkan kepalanya. Ia hendak minta tolong Arga mencari tahu kabar Ana dan Aira. "Ya, Ma. Nanti Sakha temui Arga sendiri. Siapa tahu dia bisa bantu cari tahu Ana dan Aira ke kontrakan." Sakha membawa Rahma beristirahat di kamar. Wanita itu masih melamun setelah isakannya mereda. Kenyataan yang diketahui Rahma tetap tersimpan rapi di benaknya. Ia belum siap membuka fakta di depan suaminya. Ia harus mengajak bicara secara langsung ibu dari Aira yang dikiranya adalah Ana." "Ana, kenapa kamu menyembunyikan rahasia besar itu? Aku lebih sakit dibohongi daripada kamu mengaku sebagai istri dari suamiku." Rahma meremas dadanya yang