"Halo?""Mutia! sungguh kelewatan kamu, ya? sekarang lekas pergi ke kantor! apa ini maksudmu akan mengundurkan diri setelah kamu berhasil menghancurkan perusahaan?" "Menghancurkan perusahaan? apa maksud kamu?""Lekas ke kantor dan beri penjelasan, kalau tidak aku akan melaporkan kamu ke polisi, biar kamu dipenjara sekalian!" Mutia terhenyak mendengar bentakan Tommy, apa yang terjadi? kenapa lelaki itu bersikap seperti itu? apa dia tidak dia mengundurkan diri? tetapi kenapa melibatkan polisi segala!"Dengar apa kataku? cepat datang ke kantor, tiga puluh menit kau tidak sampai di sini, polisi yang akan menjemputmu!"Mutiara menatap layar ponsel yang sudah menghitam dengan nanar, seperti biasa lelaki itu akan mematikan ponselnya sepihak. Mutiara buru-buru masuk menemui Neneknya yang kini tengah berbaring tanpa melakukan apapun."Nenek, aku akan ke kantor dulu untuk menemui Tommy," pamitnya. "Tommy? siapa Tommy?" Mutiara menghentikan langkah, dia lupa kalau neneknya tidak mengenal To
"Tommy, aku tidak pernah mencuri data itu! aku ke ruanganmu hanya untuk memberikan surat pengunduran diri__" "Diam kamu! Sekarang, pergi kamu dari sini. Aku tidak membutuhkanmu lagi!" teriak lelaki itu bahkan sudah melempar semua map di atas mejanya ke arah Mutia."Pergi kamu, Pengkhianat!" Tommy bahkan mendorong tubuh Mutiara dengan kasar, sehingga wanita itu terjerembab dan jatuh ke lantai. Tak cukup disitu saja, lelaki itu bahkan menyerat tubuh Mutiara hingga ke memasuki lift, tangan wanita itu terasa sangat sakit karena dicengkeram oleh lelaki itu."Tommy, lepaskan! aku bisa pergi sendiri," hardik Mutia sambil melepaskan cengkraman tangan lelaki itu.Tetapi lelaki itu hanya bergeming, hingga tiba di lantai dasar, di jam istirahat yang sebentar lagi berakhir, para karyawan yang baru selesai dari kantin perusahan yang berada di lantai bawah, melihat bosnya datang bersama istri pertama yang ditarik kasar, mengalihkan atensi mereka pada pasangan tersebut. Kebetulan di pintu masuk Ha
Seorang wanita cantik dengan tubuh tinggi semampai dan modelan rambut panjang dan ikal diujungnya berjalan melewati lobi sebuah kantor dengan desain interior yang terbilang sangat mewah. Di depan menunggu dua petugas resepsionis wanita yang berpenampilan rapi dan juga dandanan yang tidak kalah cantik, tetapi wanita yang baru datang jelas berdandan bukan memakai pakaian kerja ala wanita kantoran."Selamat siang, Mbak ...," sapa wanita tersebut dengan suara merdu dan seulas senyum yang begitu manis sehingga membuat dua orang wanita itu tertegun karena terpesona."Selama siang, Bu. Ada yang bisa saya bantu?""Saya mau menemui Pak Diaz Alfares. Apa beliau ada?""Apa ibu sudah membuat janji?""Janji? tentu saja, saya akan membicarakan kontrak sebagai ambasador produk kosmetik yang unggulan perusahaan ini," ujar wanita dengan tatapan bahasa yang sopan dan lemah lembut."Oh, baik, Bu. Saya akan memberitahukan sekretaris Pak Diaz dulu agar beliau yang mengatur pertemuan anda," ujar resepsioni
"Selamat siang, Pak Diaz ...," sapa Siska, dia sebisa mungkin menekan agar suaranya tidak bergetar karena gugup.Lelaki itu menoleh, mata tajam setajam elang itu seperti menguliti setiap sendi Siska, sudah beberapa kali bertemu, ada perasaan Siska ingin menggodanya, tetapi tatapan mata itu selalu membuat nyalinya ciut."Bu Siska Artamevia ... ada apa anda menemui saya?"Tidak ada yang salah dengan perkataan Diaz, lelaki itu bahkan mengatakan itu dengan suara pelan, tetapi tekanan dari kata-kata itu membuat Siska serasa sesak napas."Pak Diaz, saya sudah melakukan apa yang anda perintahkan. Perempuan itu sekarang pasti sudah dicampakkan oleh Tommy. Sekarang saya menagih janji anda untuk memberikan kontrakambasador produk kosmetik the Glowing.""Anda tidak perlu kuatir, saya pasti sudah berjanji, jadi pasti saya tepati."Lelaki itu membuka laci meja, kemudian mengeluarkan sebuah berkas dan menyodorkan pada Siska. "Ini kontraknya, silahkan dibaca dengan seksama. Karena kalau anda tidak
Mutiara begitu lemas melihat tagihan yang tertera di atas kertas itu, empat puluh juta rupiah. Ini tagihan sebulan kemarin, sementara sejak neneknya siuman Mutiara menempatkannya di kelas dua. Mungkin untuk membayar tagihan berobat nenek ketika sudah siuman, Mutiara masih ada simpanan. Tetapi uang empat puluh juta, dia akan mendapatkan dari mana? Sementara tabungan dia hanya tinggal delapan juta, karena dia juta sudah dia pakai untuk membayar kost dan keperluan sehari-hari.Kepala Mutiara mendadak pusing, dia sudah berusaha mencari pekerjaan tetapi sampai saat ini belum ada panggilan, dia jadi ingat perkataan Tommy yang mengatakan kalau namanya akan di blacklist dari semua perusahaan. Ah, mungkin lelaki itu sungguh-sungguh dengan perkataannya. Jadi Mutia harus putar otak bagaimana dia akan mencari uang. Mutia akhirnya kembali ke ruangan nenek. Ruangan terasa sangat bising, di sebelah pasien batuk terus sehingga mengganggu istirahat pasien lain termasuk nenek, sementara di sebelahnya
Mutia hanya melongo mendengar perkataan dokter, maksudnya memindahkan ke ruang VIP? dari mana dia akan mendapatkan uang untuk biayanya? sementara untuk tagihan Minggu lalu saja di tidak memilikinya. Tiba-tiba kepala Mutia berdenyut nyeri memikirkan semua ini, jika saja dia tahu kondisi neneknya akan demikian, dia tidak akan berulah pada Tommy, agar lelaki itu tetapi membayar biaya perawatan neneknya, biarlah dia akan babak belur disakiti lelaki itu lahir dan batinnya. Sampai dokter meninggalkan bangsal tempat neneknya di rawat, Mutia masih saja berdiri dengan tatapan mata kosong ke arah perginya dokter itu. Hingga dia dikejutkan dengan panggilan seseorang. "Bu Mutia!" Mutia menoleh ke arah suara, dahinya mengernyit ketika mendapati orang yang dikenal menghampirinya. "Siapa yang sakit, Bu? Kenapa anda berada di rumah sakit?" tanya sang lelaki. "Benar, apa mbak Mutia sakit?" tanya sang wanita. "Oh, Nenek saya yang sakit. Pak Rio dan Bu Novita sendiri kenapa ke rumah sakit? apa a
Setalah kedatangan Rio dan Novita di rumah sakit, semangat Mutia bangkit lagi. Dia segera pulang ke kost mengambil berbagai berkas untuk keperluan melamar pekerjaan. Untungnya nenek Rosida sudah mendingan, wanita tua itu sudah bisa berdiri walaupun hanya bisa melangkah satu atau dua langkah saja. Nenek Rosida juga menyuruh Mutia untuk fokus dalam mencari pekerjaan. Wanita tua itu cukup bersyukur cucunya memiliki rekan kerja seperti Rio dan Novita. Pagi hari Mutia sudah siap dengan pakaian kerja yang biasa dia kenakan, sebuah rok span di bawah lutut berwarna biru tua dan kemeja warna panjang berwarna biru muda. Di leher dipasang syal yang disimpul berbentuk pita dengan cantik. Sepatu hak tiga senti dia pilih agar memudahkan pergerakan. Gedung perkantoran Adiguna grup memang terlihat sangat megah. Memiliki sepuluh lantai dengan tiap lantai mewakili cabang perusahaan masing-masing. Ada yang bergerak di bidang kosmetik, makanan, minuman, obat-obatan dan farmasi, retail dan supermarke
"Presdir memiliki dua sekretaris, Saya dan Pak Muhamad Rais. Pak Rais sendiri adalah sekretaris pribadinya, yang mengurusi segala keperluan pribadi Presdir. Sementara saya mengurusi administrasi kantor Presdir. Saya sudah memiliki tiga asisten. Maura, Dinda dan Ryan. Sementara Rais belum memiliki asisten. Padahal pekerjannya juga banyak. Jadi jika nanti Presdir menerima anda, anda akan bekerja di bawah Pak Rais." "Baik, Bu Lidia." "Ya, sudah. Mari saya pertemukan dengan Pak Presdir." Linda bangkit dari duduknya dan mengajak Mutia keluar dari ruangannya. Mereka berdua berjalan melalui lorong, di sana ada dua orang wanita cantik yang juga sedang sibuk. "Bu Linda, Siapa dia?" tanya salah satu dari meraka. "Oh, Ini Mutiara. Calon asistennya Pak Rais. Oh ya, Mutia ... ini Maura dan ini Dinda, asisten saya." Mutia tersenyum kepada mereka sambil mengulurkan tangan dengan ramah. "Senang bertemu dengan anda, Mbak Maura, Mbak Dinda." "Loh, memangnya sudah positif bakal diterima