Ketika sampai di ruangan HRD, Mutia justru disuruh menghadap kepala HRD langsung, padahal hanya menyerahkan pemberkasan sebagai pegawai baru, kenapa harus kepala HRD langsung yang menanganinya? Kepala HRD seorang pria paruh baya, lebih tua dari Rio karena rambut putihnya sudah mendominasi sebagian kepalanya. Lelaki itu tersenyum lembut pada Mutia sehingga perasaan Mutia menjadi hangat. Jika tidak memikirkan siapa bosnya, bekerja di sini akan terasa nyaman dan menyenangkan. Semua karyawan dan petinggi perusahaan yang baru saja ditemuinya semuanya terlihat ramah dan humble. "Besok pagi anda sudah bisa bekerja sebagai asisten Pak Presdir ya, Bu. Selamat bergabung di perusahaan ini," ujar kepala HRD yang di nametag bernama Heru Subagyo. "Terima kasih, Pak." "Dikontrak ini, masa kerja anda tertulis selama Presdir menjabat, atau sesuai kehendak Presdir, apa anda benar-benar menyetujuinya?" Mutia benar-benar kaget, karena kebodohannya dia tidak membaca kontrak kerja yang ternyata
Setelah melihat kondisi apartemen itu, Mutia tidak sabar untuk segera pindah ke sana. Rio dan Novita sudah membebaskannya untuk pindah kapan saja, bahkan demi keamanan nya, mereka menyarankan agar Mutia mengganti kode pintu agar lebih privasi dan tidak dimasuki sembarangan orang termasuk mereka. Tetapi mana berani Mutia melakukan itu, dia hanya menumpang di sini, jadi tidak mau bertindak lancang. Dengan cepat Mutia kembali ke kost, dia memutuskan akan pindah hari ini juga, karena besok dia mulai bekerja dan mungkin tidak ada waktu untuk pindahan mengingat bosnya mengatakan jam kerjanya itu dua puluh empat jam harus standby. Maka dia mulai berkemas, untuk segera pindah. Toh, tidak banyak barang yang dibawanya. hanya ada satu koper baju, lagian di apartemen itu sudah lengkap fasilitas dan perlengkapan rumah tangga. Sore hari Muria sudah menempati apartemen tersebut, apartemen ini terdiri dari dua kamar, tidak ada foto atau identitas yang menggambarkan apartemen ini milik Rio dan Novi
Suara deheman jelas mengejutkan Mutia, wanita itu bahkan sampai terjengit melihat lelaki itu yang tengah duduk sambil memutar-mutar kursinya dengan santai. kedua tangannya menangkup di depan dada, tatapan seringai terlihat jelas di matanya dengan bibir ditarik ke atas. Hari yang masih terlalu pagi, siapa menduga lelaki itu sudah datang ke kantor. Apakah selama ini begitu kinerjanya? pantasan saja masih muda sudah menjadi presiden direktur bukan lantaran dia seorang pewaris, tetapi dedikasi dan kerja kerasnya yang membuatnya pantas memangku jabatan tersebut walaupun usianya masih diawal tiga puluhan. "Pak? Anda sudah datang?" tanya Mutia dengan gugup. "Hmmm." Mutia tidak tahu harus berkata apalagi, dia jadi salah tingkah ditatap seperti itu oleh lelaki itu. Jika tidak ada kisah cinta satu malam waktu itu, mungkin dia tidak akan salting seperti ini, Namun mengingat semua itu, dia jadi berpikiran negatif tentang tatapan lelaki itu. "Eh, ini ... anu, itu ...." "Kau membawakan sara
"Ini, kartu ini kamu belanjakan untuk keperluanku. Kalau kamu butuh untuk keperluanmu yang masih tahap wajar, kamu boleh juga mengambilnya." Mutia kembali meletakkan peralatan makan itu di meja dan mengambil kartu biru itu dengan ragu. "Nomor PINnya, tanggal malam pertama kita." "Apa?"Lelaki itu tersenyum smirk, tatapan matanya dirasakan Mutia seolah menelanjanginya. Wanita itu hanya menghela napas kesal, kenapa sih, harus selalu mengingatkan kejadian malam itu? "Bisakah anda tidak selalu mengingatkan hal itu? Saya sudah cukup merasa malu dengan kejadian itu.""Kamu ingin melupakannya? enak saja! Saya saja setiap saat setiap waktu selalu ingat. Itu adalah pengalaman pertama saya, bagaimana bisa melupakannya. Kamu tidak perlu berusaha mengganti PIN nya, PIN itu tidak bisa diganti, sudah paten!"Mutia hanya tersedak mendengar perkataan lelaki ini. Sungguh, jika tidak ada penalti kontrak dua miliyar, dia sudah akan kabur dari perusahaan ini. Dulu dia tidak bisa lari dari pernikahan
"Saya minta bapak jangan bersikap seperti tadi, tiba-tiba mencium pipi saya," ujar Mutia. Semburat merah terlihat di kedua pipi wanita ini, dia benar-benar sangat malu. "Oh, itu? harus nya kamu senang. saya berterima kasih atas kerja kerasmu dengan menghadiahi ciuman." What? siapa yang mau hadiah seperti itu, pak? Mutia hanya bengong dengan kehabisan kata-kata. Sebenarnya tugasnya ini kalau dipikir-pikir, kenapa seperti tugas istri pada suaminya? Sehingga suami memberi penghargaan pada istri dengan ciuman. Entah kenapa kepala Mutia menjadi pening seketika. Hari pertama bekerja, Mutia benar-benar harus menahan geram dan menahan amarah. Diaz benar-benar membuat darahnya selalu mendidih. Dia harus banyak-banyak bersabar dan mengendalikan amarah. Lelaki itu dengan arogannya memintanya melakukan ini dan itu, kadang apa yang diperintahkan benar-benar tidak penting dan hanya membuatnya sibuk tidak karuan. "Mutia, cepat lap keringat di kening saya pakai tissue!" Mutia hanya men
"Hei, siapa ini? sepertinya istri yang disia-siakan? masih bisa makan di sini? sepertinya hidupmu tidak begitu buruk, ya? uh ... aku benar-benar tidak senang ini!" Suara seorang wanita datang dari belakang Mutia, ketika Mutia menghadap ke belakang, aroma permusuhan itu sudah kental terlihat dari mata wanita muda itu. "Evita?" gumam Mutia melihat ternyata Evita datang bersama tiga teman akrabnya tersebut. "Memangnya Mutia disia-siakan oleh suaminya?" tanya temannya yang bernama Rosalin. Dulu ketika mereka masih SMA, Evita memiliki teman akrab bernama Rosalin dan Lidya. Evita dan Mutia satu sekolah, dan duduk ditingkat yang sama, hanya saja selesai berbeda kelas. Evita dan kedua temannya ini sering sekali menindas Mutia, itu lantaran Evita mengatakan pada semua orang bahwa Mutia adalah pembantunya. Karena dalam prestasi ternyata Mutia lebih unggul dan selalu memengang juara 3 besar, Evita semakin membencinya. Padahal semua PR Evita, sepenuhnya Mutia yang mengerjakannya.. Tentu
"Eh, Kak Mutia! Kamu makan di sini juga?" Mutia hampir tersedak sambal ijo yang baru di makan, hidungnya terasa perih akibat sambal yang masuk ke saluran pernapasan, dia terbatuk-batuk. Sungguh, perkataan Evita barusan benar-benar mengganggu pendengarannya. Sejak kapan gadis ini memanggilnya Kak? sejak kapan dia menganggapnya sebagai kakak sepupunya? "Pelan-pelan, Marmut! Kenapa makan terburu-buru, jadi tersedak kan? Ini, minum!" Evita hanya pura-pura tersenyum padahal hatinya pahit, melihat lelaki itu begitu perhatian pada Mutia. Lelaki itu bahkan memanggil Mutia dengan panggilan kesayangan walaupun nama itu nama binatang sejenis kelinci. Sedang Mutia hanya mendelik mendengar lelaki itu menggilanya Marmut dengan suara yang begitu lembut, dia akhirnya menerima gelas yang disodorkan oleh Diaz. "Terima kasih, Pak ...," ujar Mutia ketika dia mulai tenang. "Hei, Kak Mutia ... Kakak tidak mengenalkan siapa orang yang makan bersama kakak? Halo, saya Evita ... adik sepupu Kak M
"Kamu tidak usah banyak protes! melihat cara makanmu yang lambat itu membuatku geram. Pantas saja kau begitu kurus sekarang, padahal dulu kamu begitu montok dan menggemaskan." Byuuuur ... Mutia tidak tahan menyemburkan air minum yang baru saja hendak ditelannya. "Mumut! apa-apapan kamu!" pekik Diaz yang ternyata terkena semburan air dari mulut Mutia. Mutia tidak habis pikir, sekarang lelaki itu memanggilnya Mumut, tadi Marmut. Panggilan itu sebenarnya panggilan hinaan di telinga Mutia, tetapi di telinga orang lain siapa yang tahu? bahkan ketiga gadis di meja sebelahnya menganggap panggilan itu adalah semacam panggilan kesayangan. "Ma ... Maaf, Pak ... Saya tidak sengaja. Habisnya Bapak begitu ...." "Begitu apa? cepat bersihkan pakaianku!" Mutia langsung mengambil tissue banyak-banyak dan mengelap pakaian Diaz sampai bersih, jarak mereka yang begitu dekat membuat semua orang kembali berpikiran ambigu. Mutia membersikan bagian lengan jas Diaz yang basah, berulang kali dia