Restauran sudah tampak sepi, Mutia dan beberapa pelayan bertugas membereskan meja prasmanan, sepertinya tidak akan ada lagi orang yang makan malam, lagipula makanan di tempat prasmanan tinggal sedikit, itu adalah jatah para pelayan, mereka bisa makan dengan makanan sisa itu, di tempat penyimpanan bahan makanan juga masih ada stok makanan, para pelayan biasanya akan makan dari sana. "Mutia, makan dulu baru beresin. Ayo kita makan di ruang penyimpanan," ajak Walimar. "Aku mau makan di sini saja, Mbak. Masih ada sisa di sini, sayang kalau gak dimakan." "Ya Udah, kalau begitu aku mau makan di sana. Makannya harus cepat, ya. Tugas kita masih banyak." "Baik, Mbak." Ketika Mutia sibuk mengambil makanan ke piring, tiba-tiba ada suara deheman dari belakang, sontak wanita itu menoleh. Tidak disangka tubuh tinggi besar itu sudah melingkupi dirinya. "Aku mau makan, ambilkan aku makanan!" perintahnya. "Memangnya Bapak belum makan? saya lihat anda dari tadi duduk di sana." "Tadi aku
Diaz menghela napas mendengar perkataan Mutia. Kalau mendengar alasan Mutia menolaknya sebenarnya gampang saja solusinya, kenapa dia begitu berat mau menjalaninya, mungkin karena Diaz sudah begitu trauma selama ini. "Kalau begitu, ayo kita nikah! kamu cuma tidak mau melakukan perbuatan haram, kan? ayo kita nikah! aku mau melakukannya hanya dengan kamu, jadi kamu harus menjadi istriku!" Mutia terperangah mendengar perkataan lelaki itu yang begitu serius. Napas lelaki itu bahkan tampak tersengal karena terbawa emosi yang menggebu. Ya, sebenarnya Diaz sedikit dilema dengan perasaannya sendiri. Bagaimana dia selama ini menganggap bahwa pernikahan hanya sebuah bencana, pernikahan adalah penjara dan penyiksaan lahir batin bagi sepasang suami istri. Bukan apa, itu disebabkan karena pernikahan ayah dan ibunya yang seperti neraka. Dengan mata kepalanya sendiri Diaz menyaksikan bagaimana ibunya melompat dari sebuah gedung di Singapura ketika dia berobat di negeri singa tersebut. Luka fi
Mutiara bergegas mengambilkan secangkir kopi untuk Rais, wajahnya sangat bersemangat. Untuk membalas kebaikan Rais, mengambilkan secangkir kopi itu sebenarnya tidaklah sebanding. "Pak Rais, terima kasih karena tadi sudah membantu saya, jika tidak ada anda, mana mungkin saya bisa mengatasi Evita." Rais yang mendapatkan ucapan terima kasih begitu dalam dari Mutia, jadi merasa tidak enak hati. Lelaki itu dengan hati-hati menerima kopi panas dari tangan Mutia. "Bu Mutia tidak perlu berterima kasih, saya hanya menjalankan apa yang diperintahkan oleh pak Diaz." "Apa?!" Mutia cukup terkejut, ternyata sikap acuh lelaki itu tadi hanya kamuflase saja, padahal dia sangat peduli. Sebenarnya ada perasaan hangat di hati Mutia. Selama ini, hanya lelaki itu saja yang mendekatinya karena kemauannya sendiri, bahkan usahanya juga cukup besar di sana. "Iya, Bu. Saya hanya melaksanakan perintah beliau, seharusnya Bu Mutia berterima kasih langsung dengan beliau." "Oh, begitu yah?" Dada Mu
"Saat saya dirundung oleh Evita, saya sangat berterima kasih karena anda ternyata menyuruh Rais untuk menolongku." "Aku tidak butuh kata-kata, aku butuh tindakan nyata kalau kau ingin berterima kasih padaku." "Bertindak nyata? bagaimana caranya?" "So simple, Cium aku!" "Apa?!" Tentu saja Mutia sangat terkejut mendengar permintaan gila lelaki itu. Belum juga dia beraksi keras terhadap perkataan lelaki itu, pinggangnya sudah direngkuh oleh lelaki itu, hingga kewarasan Mutia langsung menghilang manakala bibir tipis lelaki itu sedang mengulum bibirnya dengan ciuman yang terus menuntut. Mutia benar-benar gelagapan mendapat serangan mendadak ini, lelaki itu bahkan berusaha membuka mulutnya dan memasukan lidahnya ke dalam mulut Mutia dan bermain-main di sana. ciuman itu berlangsung cukup panjang, hingga napas Mutia mulai habis, lelaki itu melepaskannya perlahan, dahi mereka saling menempel dengan napas panas yang memburu. Dada Mutia berdebar dengan cepat, napasnya tersengal-senga
Malam semakin larut, mereka sudah masuk ke kamar. Kamar yang mereka tempati tergolong luas, terdapat dua tempat tidur nomor dua, satu ranjang ditempati oleh dua orang. semua orang sudah merasa capek karena telah bekerja keras sejak sore hari. Maka ketika mereka mulai mencium bantal sudah langsung melayang ke alam mimpi. Mutia juga merasa sangat capek, di sebelahnya Walimar sudah tidur dengan nyenyak, matanya juga ngantuk sebentar juga sudah akan segera tertidur. Tetapi notifikasi ponselnya berbunyi beruntun, ada pesan dari nomor yang sama hingga beberapa pesan. [Aku menunggumu] [Kenapa belum datang?] [Mau datang ke sini, nggak sih?] [cepat datang, jika dalam waktu lima menit tidak datang, aku yang akan datang ke kamarmu!] "what?" Mata Mutia yang mengantuk tiba-tiba melek dengan lebar, hilang sudah rasa kantuk yang menggelayuti matanya. Dasar manusia gila! Kenapa lah penderitaan ku belum juga berkurang? Mutia langsung bangkit dari tidurnya, sedikit kebingungan dia berdi
Ketika selesai salat, Mutia bergegas mandi dan memakai seragam pelayan. Dia buru-buru menyusul rekannya yang sudah bersiap di post masing-masing. Nanti sekitar jam dua belas siang, kapal akan kembali berlabuh di pelabuhan dan semua tamu akan turun untuk pulang ke rumah masing-masing. Post pelayanan Mutia berada di geladak kapal, ketika lagi hari ternyata geladak kapal sangat bagus dan indah, bahkan ada kolam renang yang sangat indah, semua tamu memakai pakaian renang dan wanita memakai bikini, berenang dan berpesta di geladak kapal. Mutia dan lima rekannya sibuk mengambil minuman dan kudapan untuk para tamu yang sedang bersantai dari aktivitasnya berenang. Di dekat kolam renang ada panggung kecil dan sebuah organ tunggal, dan ada seorang biduan artis yang menyanyikan lagu-lagu request dari tamu. Tidak Mutia sangka, Tommy dan Siska juga ikut hadir di sana, lelaki itu memakai celana pendek dengan kaos oblong hitam, Siska memakai rok mini dan kaos ketat, badannya yang semakin monto
Rais yang sudah tertawa ngakak tidak bisa mengendalikan diri, tetapi lelaki itu cepat tersadar untuk memantau Mutia sudah sampai mana menjalankan perintah managernya. Rais melihat wanita ayu itu tengah berjalan dengan anggung sambil membawa gelas jus berwarna ungu di atas nampan. Syukurlah, akhirnya dia harus tersenyum lega. Ancaman Diaz tidak akan dilakukannya. Mutia sebenarnya sangat malas menjalankan perintah Dianty yang berapi-api penuh semangat menyuruhnya membuatkan jus buah naga untuk orang besar yang spesial. Mutiara sendiri sebenarnya penasaran siapa orang besar yang dimaksud oleh Dianty. Ternyata lelaki itu adalah lelaki itu. Bagaimana Mutia tidak merutuk sendiri. Setelah melihat siapa lelaki yang duduk di bawah payung warna ungu, rasanya Mutia ingin kabur saja, tetapi sekali lagi ancaman Dianty yang menakutkan itu kembali lagi terngiang di telinganya. "Bawa jus itu pada tuan terhormat yang duduk di kursi santai payung warna ungu. Buat kesan yang baik, kalau sampai kau
Mata Diaz terbuka, lelaki itu terbatuk dan memuntahkan air yang sempat masuk ke perut dan juga tenggorokannya. Napasnya mulai teratur, dia mulai sadar tadi jika ada yang memberi napas buatan kepadanya, ketika di menoleh ke samping kirinya, di sana dia melihat Rais tengah berlutut di dekatnya, matanya tiba-tiba terbelalak dan menatap Rais dengan pandangan jijik. "Apa kau yang memberi napas buatan padaku?" tanya lelaki itu dengan wajah tidak suka. "Em, anu ... itu," Rais juga tidak tahu harus menjawab apa, sementara Mutia sudah memberi kode dengan menggeleng-gelengkan kepala. Tiba-tiba mata Diaz menatap Mutia yang berdiri tak jauh darinya, pertama pandangannya tampak begitu kecewa, tetapi setelah melihat penampilan Mutia yang basah kuyup dan berantakan itu, bibirnya spontan tersenyum. 'Ternyata dia yang menolongku? Karena di sini tidak ada yang pakaiannya basah kuyup selain dia,' ujar Diaz dalam hati, tiba-tiba suasana hatinya membaik seketika. "Rais, bawa aku ke kamar!" perin