Mata Diaz terbuka, lelaki itu terbatuk dan memuntahkan air yang sempat masuk ke perut dan juga tenggorokannya. Napasnya mulai teratur, dia mulai sadar tadi jika ada yang memberi napas buatan kepadanya, ketika di menoleh ke samping kirinya, di sana dia melihat Rais tengah berlutut di dekatnya, matanya tiba-tiba terbelalak dan menatap Rais dengan pandangan jijik. "Apa kau yang memberi napas buatan padaku?" tanya lelaki itu dengan wajah tidak suka. "Em, anu ... itu," Rais juga tidak tahu harus menjawab apa, sementara Mutia sudah memberi kode dengan menggeleng-gelengkan kepala. Tiba-tiba mata Diaz menatap Mutia yang berdiri tak jauh darinya, pertama pandangannya tampak begitu kecewa, tetapi setelah melihat penampilan Mutia yang basah kuyup dan berantakan itu, bibirnya spontan tersenyum. 'Ternyata dia yang menolongku? Karena di sini tidak ada yang pakaiannya basah kuyup selain dia,' ujar Diaz dalam hati, tiba-tiba suasana hatinya membaik seketika. "Rais, bawa aku ke kamar!" perin
"Eh, pak? itu gelas bekas saya? apa anda gak jijik?" ujar wanita itu sambil menatap lelaki itu dengan mata melebar. "Jijik? ini cuma bekas bibir kamu, langsung meminum dari mulut kamu saja aku tidak akan jijik, mulut kamu itu manis, membuatku kecanduan." Mendengar perkataan Diaz, Mutia hanya terpaku. Lelaki ini, benar-benar! Mutia seolah kehabisan kata-kata, walaupun tidak dipungkiri perasaannya sangat aneh, ada sesuatu yang menjalari setiap aliran darahnya, apalagi ketika melihat lelaki itu menjilati setiap sisi gelas, seolah-olah dia tengah menjilati bibirnya. Membuat Mutia otomatis menjilat bibirnya sendiri. "Tuangkan lagi, minuman yang kau buat ini rasanya kenapa enak sekali? Sepertinya apa yang ada padamu semua sangat enak sekali." "Eh?" Mutia bergidik mendengar perkataan ambigu lelaki itu. Sementara lelaki itu malah sengaja menggodanya dengan mengerlingkan matanya dengan genit. Dengan gugup Mutia langsung menuangkan wedang jahe dari teko ke gelas di tangan Diaz. Lelaki
Setalah keluar dari kamar Diaz, wajah Mutia masih terlihat malu hingga tampak bersemu merah. Lelaki itu memang gila, bisa membuat tubuh dan perasaannya tidak normal seperti ini. Tetapi entah kenapa senyum di wajahnya juga tidak bisa hilang dari bibirnya, membuat semua orang yang kenal dengannya juga ketularan senang. Walaupun mereka juga tidak tahu apa yang membuat wanita itu senang. Tak terasa kapal sudah berlabuh di pelabuhan, pada tamu berbondong-bondong keluar dari kapal dan mengendarai mobil mereka untuk pulang ke rumah masing-masing. Mutiara dan para pelayan lain keluar kapal terakhir, mereka menuruni tangga menuju pelabuhan dengan perlahan. Mutia menggendong tas ransel yang berisi pakaian. Upahnya dari sehari kemarin menjadi pelayan, sudah dibayar oleh Dianty. Rasanya sangat lega dan bahagia mendapatkan upah hari ini, empat juta rupiah selama dua hari, siapa yang tidak senang. Walimar yang berjalan di sini Mutia tak henti-henti bercerita tentang keinginannya untuk membel
"Jadi suamimu meninggal saat kamu baru selesai lahiran?" "Tidak, saat ayahnya anak-anak meninggal dunia, aku sedang hamil delapan bulan, sebulan kemudian aku lahiran. Tanya sangat nano-nano. "Kamu wanita hebat, aku selalu terharu jika mendengar kisah-kisah yang seperti ini." Mendengar itu Walimar tersenyum, sekretaris pria seperti lelaki di sampingnya ini sepertinya memang tipe lelaki yang bertanggung jawab, terlihat dia juga berdedikasi terhadap pekerjaannya "Temanmu itu sungguh kasihan, aku tidak bisa membayangkan jika kau berada di posisinya. Mulai saat ini aku akan hati-hati agar kau tidak kehilangan suami, kamu juga tidak menjadi janda yang kedua kalinya." Mutia hanya bengong mendengar perkataan lelaki ini, ngomong apa sih, dia?!Mutia pikir lelaki ini mengatakan Walimar itu kasihan sebagai seorang konglomerat dipikirnya dia akan menyumbang uang atau komersil lainnya, tepati malah mengungkit-ungkit dia sebagai calon istrinya. Mobil melaju mulus di jalan aspal, lelaki i
Sore itu dengan terburu-buru Bu leli menyewa jasa angkut barang, sepertinya rumahnya benar-benar akan dikosongkan. Mutia yang melihat proses kepindahan bu leli cukup sedih, pasalnya dia cukup senang memiliki tetangga seperti Bu leli, karena selama ini Bu Leli ini dikenal sebagai tetangga yang baik. Apalagi Bu Leli lah yang telah mencarikan pekerjaan untuknya di pabrik roti. "Bu, aku sedih. Kenapa ibu musti pergi dari rumah ini? sekarang rumah di depanku dan disamping kosong. Aku tidak punya tetangga dan akan hidup sendirian," keluh Mutia. "Jangan sedih, aku sudah menjual rumah ini dengan orang lain, kemungkinan besar dia akan pindah secepatnya ke sini. Aku pindah karena rumah di sana lebih dekat dari pabrik, aku semakin tua, jadi tidak kuat jika tiap hari harus menempuh perjalanan jauh." Mutiara akhirnya merelakan bu Leli pergi, setelah mendengar alasan wanita itu pindah, dia juga harus memaklumi jika memang alasannya seperti itu. Rasanya lorong rumahnya menjadi sepi dan angker.
Setelah menjenguk neneknya di rumah sakit, Mutia kembali lagi ke rusun tua yang selama ini menjadi tempat tinggalnya. Keadaan di sebelah rumahnya masih terlihat begitu sibuk, beberapa orang tengah memasang pintu teralis anti maling dan beberapa tengah mengganti plafon. Menjelang malam, sepertinya suara berisik di rumah sebelah tidak juga berkurang, sepertinya orang-orang tersebut bekerja lembur. Jika berada di rumah lamanya, mungkin suara mereka akan sangat mengganggu, tetapi tinggal di rumah tua yang seluruh lantainya kosong membuat Mutia merasa nyaman karena ada yang menemani. Wanita itupun tidak menghiraukan suara palu yang dipukul atau suara mesin bor juga suara gergaji listrik. Hingga pagi hari, suara berisik itu tidak terdengar seramai tadi malam. Mutia hanya berharap setelah suara berisik itu, akan ada penghuni baru yang menjadi tetangganya. Pagi hari yang sama, dia akan melakukan pekerjaan yang sama, menjadi staf admin di pabrik roti. Rutinitas terjadi seperti biasa, te
"Apa? kok bisa?" Mutia jelas terkejut. Pantasan dari tadi Tasya tampak begitu terkejut dan sedih mendengar ceritanya, ternyata dia juga mengalami. "Entahlah! aku benar-benar sudah gila. Kemarin, ada acara famili gathering di kantor, Raid membawa istrinya dikenalkan dengan rekan-rekan kerjanya. Tatapan wanita itu benar-benar meremehkan aku. Walaupun satu kantor, selama ini hubunganku dengannya benar-benar hancur. Aku tidak pernah menegurnya, bahkan aku benar-benar menganggapnya musuh. Tetapi dia selalu mendekatiku dan meminta maaf, dia hilang tidak enak bermusuhan karena kamu satu divisi." sudut mata Tasya terlihat berair, seandainya jadi Tasya Mutia juga tidak akan sanggup, bagaimana bisa sanggup satu kantor bahkan satu divisi dengan mantan pacar yang mengkhianatinya di saat hari-hari akhir kan menikah? Mutia mungkin sudah resign dan mencari pekerjaan lain. Baru ditekan oleh Diaz sedikit saja dia sudah resign, menurut Mutia Tasya ini sangat bodoh, mau menyakiti diri sendiri walaup
Mutia bangun pagi seperti biasanya, melakukan rutinitas pagi juga seperti biasanya. Salat subuh, mandi, sarapan dan pergi bekerja. Ketika melalui rumah di sebelahnya, dia sedikit termenung melihat pintu teralis yang sudah terpasang kokoh di sana. Sedikit penasaran apakah penghuni baru sudah ada di dalam atau belum? Tetapi dia juga tidak harus begitu penasaran, sehingga langsung melangkahkan kaki menuju ke bawah menuruni tangga. Mutia menatap mobil sedan mewah yang masih terparkir di halaman dekat lobi, sepertinya pemilik mobil itu menginap di perumahan ini, atau justru penghuni tetap perumahan ini? Sampai lobi ternyata dia bertemu dengan Walimar yang juga sudah bersiap-siap berangkat ke tempat kerja di showroom mobil terlihat dari seragam yang dia kenakan. "Mut, mau berangkat kerja?" "Iya, Mbak." "Kita naik kereta saja, Yuk. lebih irit." "Saya aku naik bis saja, Mbak. soalnya mau mampir dulu di rumah sakit menjenguk nenek," ujar Mutia sambil melihat jam ditangannya yang b