Diaz duduk di sofa kecil yang dimiliki rumah ini, dia hanya memainkan ponselnya dengan mengulik akun sosial media yang entah sejak zaman kapan tidak pernah dia sambangi. Mutia dengan serius menjahit dua buah kancing kemeja milik lelaki itu dengan duduk di bangku plastik di sudut ruangan. Sesekali diam-diam Diaz memperhatikan wajah serius wanita itu, entah kenapa kalau lagi mode serius seperti itu saya tariknya semakin menjadi-jadi. Ketika Mutia sudah selesai menjahit dengan cepat kancing kemeja itu, Diaz juga pura-pura kembali lagi ke arah ponselnya. "Ini, Pak. Sudah selesai," ujar Mutia sambil mengulurkan baju tersebut "Eh, sudah selesai, ya? kok cepat banget?" jawab lelaki itu dengan wajah yang tidak rela. "Iya, sudah. Em, sudah malam sepertinya saya perlu istirahat," ujar Mutia dengan suara yang sungkan. Diaz jelas tahu apa makna perkataan Mutia yang secara halus mengusirnya. Namun siapa yang mau diusir begitu saja sedangkan dia sudah begitu susah mencari alasan datan
"Jangan sembarang bicara kamu, dia hanya tetangga yang menempati rumah sebelah," sergah Mutia. Bukan tanpa alasan Tasya mengatakan semua itu, ketika melihat penampilan lelaki itu yang hanya memakai sendal jepit, celana pendek dan kaos oblong, tentu lelaki itu bukan sedang bertamu, kan? Lelaki itut hanya melihat kedatangan Tasya sekilas, selanjutnya dia dengan cuek melanjutkan makan. Tetapi ada yang membuat lelaki itu bergemuruh di hatinya mana kala melihat koper besar dan beberapa tas ransel yang dijinjing oleh wanita yang baru datang tersebut, perempuan ini, bukan mau pindahan ke sini, kan? Tasya sendiri ketika melihat lelaki itu dengan seksama matanya langsung membulat, karena dia tahu siapa lelaki yang pernah menjadi tetangga mereka ini. "Loh, ini kan ... ini kan tetangga di tempat lamamu yang ternyata bosmu itu kan, Mut? Jadi sekarang dia jadi tetanggamu juga? kayaknya dia niat banget mau mendekati kamu, Mutia." Tanpa gadis ini katakan, mereka berdua sudah tahu sama tah
Mutia jelas kaget, awalnya bibir lelaki itu mendarat dengan tergesa-gesa, tetapi lama-lama menjadi melumat dengan lembut sehingga membuat Mutia jadi terbuai hingga memejamkan matanya. Melihat reaksi ini, Diaz semakin memperdalam ciumannya, dia sudah berkali-kali membaca tutorial ciuman yang membuat wanita melayang dari google maupun dari YouTube, jadi sekarang sudah waktunya dia praktekkan. Ternyata hasilnya memang memuaskan.Tasya yang merasa haus, langsung bangkit dari tempat tidur. Harusnya dia minum dulu setelah datang, bukan malah langsung berbaring, sekarang kerongkongannya terasa sangat kering. Dengan cepat wanita itu membuka pintu kamar tanpa menutupnya kembali, tetapi alangkah terkejutnya ketika sampai di dapur melihat adegan romantis dua insan seperti adegan film Titanic. Sekarang Tasya sendiri yang jadi serba salah mau mengambil minum atau kembali ke kamar, tetapi rasa haus sudah terasa mencekiknya. Untung saja letak dispenser berada di dekatnya, di sana juga ada gelas kos
Pagi hari, Mutia beraktifitas seperti biasanya, ketika dia akan sarapan, Tasya datang sambil tergopoh-gopoh dari kamar. Gadis ini sepertinya sangat terburu-buru. "Say, sarapan dulu!" "Nggak sempet, Mut. Kamu bikin sarapan apa? bawain saja dalam kotak bekal biar kumakan di kantor." "Cuma omlet sayuran sama roti panggang, minumannya jus jeruk." "Iya, bawakan, ya! aku harus cepat berangkat." "Kenapa sih, terburu-buru?" tanya Mutia yang tengah memasukkan jatah sarapan Tasya di kotak bekal. "Jam setengah delapan aku harus sudah sampai kantor, ada monitoring dari kementrian BUMN. tahu sendiri dari rumahmu ini ke kantorku jauh banget, gak cukup satu jam perjalanan," ujar Tasya yang sibuk memakai sepatu hak tingginya di dekat rak sepatu. "Oh, ya sudah. Ini bekalnya jangan lupa dimakan. Makan di jalan saja kalau kamu sangat sibuk sampai kantor." "Terima kasih, ya! aku pergi dulu, bye!" "Iya, walaikumsalam!" "Eh, iya .... assalamualaikum!" ujar Tasya sambil tertawa karena lu
"Maksud anda, Pak?" tanya Mutia mendongak menatap rahang tegas lelaki itu. "Kau tahu yang aku maksud. Kau bukan perempuan yang bodoh, kan?" Mutia melepas pelukan lelaki itu dengan wajah cemberut. Dia sedang butuh dihibur, kenapa malah dikatain bodoh begitu? Diaz yang melihat itu hanya tersenyum tipis, tetapi tidak pula mau menanggapinya. "Pakaikan aku dasi!" Mutia kini menuruti permintaan lelaki itu, Diaz menundukkan kepalanya hingga sejajar dengan wanita itu, dengan terampil Mutia memasangkan dasi pada lelaki itu, setelah selesai, Diaz juga memperbaiki kemejanya sendiri dengan memasukkan ke celananya. "Mana sarapan untukku?" tanya lelaki itu dengan antusias. "Apa? apa aku harus membuatkan anda sarapan juga?" "Apa aku harus bilang? seharusnya kamu sudah memahami hal itu?" "Oh, aku hanya membuat untukku saja, jika harus membuat lagi, aku tidak punya waktu." "Ya, sudah. punya kamu ini untukku, kamu bisa membeli di luar saja." "Tapi, Pak ... ini sudah aku makan seba
"Assalamualaikum?" Nenek dan Mutia menoleh ke pintu, nenek menjawab salam itu dengan ramah. Sementara Mutia melebarkan matanya, apakah lelaki itu tukang sihir? baru saja neneknya ingin bertemu, lelaki itu sudah nongol di pintu? "Walaikumsalam." Nenek dan Mutia membalas salam dengan serentak Bukan, bukan lelaki yang membuat tanda merah di leher Mutia itu yang mengucapkan salam, tetapi seseorang yang memakai baju jas putih dan di lehernya terdapat stetoskop. Lelaki berjas putih itu tersenyum cerah ke arah dua wanita di sana. "Selamat siang, Nenek? bagaimana keadaanmu sekarang?" tanya lelaki itu dan menatap Mutia dengan senyum ramah, Mutia sendiri tidak percaya jika lelaki itu berprofesi sebagai seorang dokter. "Hm, oh ya ... ini dokter Fadil Nazib, dia adalah dokter bedah jantung yang terkenal dan dokter terhebat yang dimiliki Indonesia saat ini. Aku harap, dia bisa membantu operasi jantung nenekmu. Dia kesini akan memeriksa seberapa serius penyakit yang diderita oleh nenekmu
Plakk! "Kau ini memang gak becus, Mutia! Apa sih yang kau pikirkan ini, ha? Kalau begini siapa yang rugi? Perusahaan yang rugi! Sekarang kau bereskan semua kekacauan ini, Paham?!"Wanita yang dipanggil Mutia itu mengusap pipinya yang kini memerah akibat tamparan lelaki di hadapannya ini. Mata wanita itu sudah berkaca-kaca, rasanya malu ditampar di depan umum seperti ini. Namun, lelaki ini mana peduli dengan sekitarnya? Apabila dia marah, di mana pun tempatnya akan diluapkan. Apalagi sekarang dia benar-benar marah besar pada wanita ini."Dengar tidak apa yang kukatakan?" bentak lelaki itu lagi. "Iya, Mas. Maaf, beliau hanya ingin bertemu dan mengobrol dengan Mas sebagai direktur utama PT Sanjaya Sejahtera. Beliau tidak ingin membicarakan bisnis denganku.""Alah, alasan saja kamu! Bilang saja kamu gak bisa kerja! Menemui klien begitu saja tidak bisa!” bentak pria itu lagi. “Aku tidak mau tahu, sekarang kamu bereskan kekacauan ini!"Mutia menunduk dan berujar pelan, "Iya, Mas. Aku aka
"Arrhgg, pelan-pelan, Sayang."Sontak saja jantung Mutiara berdegup sangat cepat. Suara di dalam ruangan ini, terdengar sangat jelas. Suara desahan yang bersahut-sahutan itu, tanpa berpikir pun orang sudah bisa menebak apa yang terjadi di dalam ruangan ini.Mutiara termangu di depan pintu, ruangan itu memang tidak kedap suara. Dulu Pak Herry, Bapak mertuanya sengaja memasang beberapa ventilasi udara agar ruangannya tidak terlalu pengap karena Pak Herry alergi terhadap ruangan ber-AC sejak ginjalnya bermasalah. Tommy belum merenovasi ruangan kerja bekas ayahnya ini. Di lantai tiga ini, hanya dia dan sekretarisnya saja yang bekerja di sini. Dulu ada beberapa karyawan bagian manajemen dan keuangan, tetapi mereka sudah dipindah ke lantai dua dan lantai satu. Mutiara menatap arloji di lengannya, lima menit lagi pukul setengah empat sore. Tidak mungkin dia menunggu aktivitas orang di dalam ruangan itu. Kasak-kusuk yang mengatakan jika suaminya itu ada affair dengan sekretarisnya sudah s