"Bu Leli? apa kabar?" tanya Mutia ketika menemukan Bu Leli di bagian kemasan. "Mutia, kabarku bagus, bagaimana denganmu?" "Saya sendirian tinggal di lantai tiga itu, Bu. Kenapalah ibu pakai pindah, kemungkinan saya juga akan pindah kalau kontrakan sudah selesai," jawab Mutia. "Eh, jangan pindah. Bertahan saja dulu, nanti juga akan ada yang pindah ke sana." "Maksud, Ibu?" Bu Leli mengibaskan tangannya sambil tertawa jengah, Mutia merasa wanita paruh baya ini terlihat gugup, tetapi kenapa harus gugup? "Aku rasa akan ada orang yang menempati rumah ibu, pemilik baru rumah itu." "Loh, rumah Bu Leli dijual? kenapa dijual, Bu? katanya tidak akan menjual rumah itu?" "Aku menjualnya untuk membeli rumah baru. Kalau tidak menjual rumah lama, bagaimana aku mau membeli rumahku?" "Apa rumah ibu dekat dari sini? kapan-kapan aku boleh, ya mampir ke rumah ibu." "Oh iya, boleh sekali." "Eh, bagaimana kalau pulang kerja nanti? sekalian syukuran rumah baru, gimana, Bu?" tiba-tiba r
Mutia menegakkan tubuhnya bersiap-siap menyambut lelaki itu jika dia akan menyerangnya seperti tadi siang. Tetapi apa yang terjadi, lelaki itu berjalan tanpa berhenti, bahkan melewatinya, membuat mata Mutia semakin terbelalak. Dengan santai lelaki itu mengambil sesuatu dari kantong celananya, itu sebuah kunci. Dengan gerakan natural lelaki itu memasukkan kunci di pintu anti maling rumah sebelah, rumah yang dulu di tempati oleh Bu Leli. Dengan sekali putar, pintu sudah terbuka. "Pak ... Pak Diaz!" Akhirnya walaupun dengan gugup, Mutia tetap harus bertanya pada lelaki itu. Diaz yang akan melangkah ke dalam rumah, berhenti sejenak dan menoleh ke arah Mutia. "Apa ... Apa anda tinggal di sini?" tanya wanita itu dengan bibir gemetar, buku kuduknya tiba-tiba merinding membayangkan orang kaya itu akan tinggal di rumah tua seperti ini. "Memangnya kenapa?" tanya lelaki itu dengan kepala dimiringkan, sementara bibirnya terlihat menyeringai. Jika pertanyaan di jawab juga dengan pertanyaa
Diaz duduk di sofa kecil yang dimiliki rumah ini, dia hanya memainkan ponselnya dengan mengulik akun sosial media yang entah sejak zaman kapan tidak pernah dia sambangi. Mutia dengan serius menjahit dua buah kancing kemeja milik lelaki itu dengan duduk di bangku plastik di sudut ruangan. Sesekali diam-diam Diaz memperhatikan wajah serius wanita itu, entah kenapa kalau lagi mode serius seperti itu saya tariknya semakin menjadi-jadi. Ketika Mutia sudah selesai menjahit dengan cepat kancing kemeja itu, Diaz juga pura-pura kembali lagi ke arah ponselnya. "Ini, Pak. Sudah selesai," ujar Mutia sambil mengulurkan baju tersebut "Eh, sudah selesai, ya? kok cepat banget?" jawab lelaki itu dengan wajah yang tidak rela. "Iya, sudah. Em, sudah malam sepertinya saya perlu istirahat," ujar Mutia dengan suara yang sungkan. Diaz jelas tahu apa makna perkataan Mutia yang secara halus mengusirnya. Namun siapa yang mau diusir begitu saja sedangkan dia sudah begitu susah mencari alasan datan
"Jangan sembarang bicara kamu, dia hanya tetangga yang menempati rumah sebelah," sergah Mutia. Bukan tanpa alasan Tasya mengatakan semua itu, ketika melihat penampilan lelaki itu yang hanya memakai sendal jepit, celana pendek dan kaos oblong, tentu lelaki itu bukan sedang bertamu, kan? Lelaki itut hanya melihat kedatangan Tasya sekilas, selanjutnya dia dengan cuek melanjutkan makan. Tetapi ada yang membuat lelaki itu bergemuruh di hatinya mana kala melihat koper besar dan beberapa tas ransel yang dijinjing oleh wanita yang baru datang tersebut, perempuan ini, bukan mau pindahan ke sini, kan? Tasya sendiri ketika melihat lelaki itu dengan seksama matanya langsung membulat, karena dia tahu siapa lelaki yang pernah menjadi tetangga mereka ini. "Loh, ini kan ... ini kan tetangga di tempat lamamu yang ternyata bosmu itu kan, Mut? Jadi sekarang dia jadi tetanggamu juga? kayaknya dia niat banget mau mendekati kamu, Mutia." Tanpa gadis ini katakan, mereka berdua sudah tahu sama tah
Mutia jelas kaget, awalnya bibir lelaki itu mendarat dengan tergesa-gesa, tetapi lama-lama menjadi melumat dengan lembut sehingga membuat Mutia jadi terbuai hingga memejamkan matanya. Melihat reaksi ini, Diaz semakin memperdalam ciumannya, dia sudah berkali-kali membaca tutorial ciuman yang membuat wanita melayang dari google maupun dari YouTube, jadi sekarang sudah waktunya dia praktekkan. Ternyata hasilnya memang memuaskan.Tasya yang merasa haus, langsung bangkit dari tempat tidur. Harusnya dia minum dulu setelah datang, bukan malah langsung berbaring, sekarang kerongkongannya terasa sangat kering. Dengan cepat wanita itu membuka pintu kamar tanpa menutupnya kembali, tetapi alangkah terkejutnya ketika sampai di dapur melihat adegan romantis dua insan seperti adegan film Titanic. Sekarang Tasya sendiri yang jadi serba salah mau mengambil minum atau kembali ke kamar, tetapi rasa haus sudah terasa mencekiknya. Untung saja letak dispenser berada di dekatnya, di sana juga ada gelas kos
Pagi hari, Mutia beraktifitas seperti biasanya, ketika dia akan sarapan, Tasya datang sambil tergopoh-gopoh dari kamar. Gadis ini sepertinya sangat terburu-buru. "Say, sarapan dulu!" "Nggak sempet, Mut. Kamu bikin sarapan apa? bawain saja dalam kotak bekal biar kumakan di kantor." "Cuma omlet sayuran sama roti panggang, minumannya jus jeruk." "Iya, bawakan, ya! aku harus cepat berangkat." "Kenapa sih, terburu-buru?" tanya Mutia yang tengah memasukkan jatah sarapan Tasya di kotak bekal. "Jam setengah delapan aku harus sudah sampai kantor, ada monitoring dari kementrian BUMN. tahu sendiri dari rumahmu ini ke kantorku jauh banget, gak cukup satu jam perjalanan," ujar Tasya yang sibuk memakai sepatu hak tingginya di dekat rak sepatu. "Oh, ya sudah. Ini bekalnya jangan lupa dimakan. Makan di jalan saja kalau kamu sangat sibuk sampai kantor." "Terima kasih, ya! aku pergi dulu, bye!" "Iya, walaikumsalam!" "Eh, iya .... assalamualaikum!" ujar Tasya sambil tertawa karena lu
"Maksud anda, Pak?" tanya Mutia mendongak menatap rahang tegas lelaki itu. "Kau tahu yang aku maksud. Kau bukan perempuan yang bodoh, kan?" Mutia melepas pelukan lelaki itu dengan wajah cemberut. Dia sedang butuh dihibur, kenapa malah dikatain bodoh begitu? Diaz yang melihat itu hanya tersenyum tipis, tetapi tidak pula mau menanggapinya. "Pakaikan aku dasi!" Mutia kini menuruti permintaan lelaki itu, Diaz menundukkan kepalanya hingga sejajar dengan wanita itu, dengan terampil Mutia memasangkan dasi pada lelaki itu, setelah selesai, Diaz juga memperbaiki kemejanya sendiri dengan memasukkan ke celakanya. "Mana sarapan untukku?" tanya lelaki itu dengan antusias. "Apa? apa aku harus membuatkan anda sarapan juga?" "Apa aku harus bilang? seharusnya kamu sudah memahami hal itu?" "Oh, aku hanya membuat untukku saja, jika harus membuat lagi, aku tidak punya waktu." "Ya, sudah. punya kamu ini untukku, kamu bisa membeli di luar saja." "Tapi, Pak ... ini sudah aku makan seb
Plakk! "Kau ini memang gak becus, Mutia! Apa sih yang kau pikirkan ini, ha? Kalau begini siapa yang rugi? Perusahaan yang rugi! Sekarang kau bereskan semua kekacauan ini, Paham?!"Wanita yang dipanggil Mutia itu mengusap pipinya yang kini memerah akibat tamparan lelaki di hadapannya ini. Mata wanita itu sudah berkaca-kaca, rasanya malu ditampar di depan umum seperti ini. Namun, lelaki ini mana peduli dengan sekitarnya? Apabila dia marah, di mana pun tempatnya akan diluapkan. Apalagi sekarang dia benar-benar marah besar pada wanita ini."Dengar tidak apa yang kukatakan?" bentak lelaki itu lagi. "Iya, Mas. Maaf, beliau hanya ingin bertemu dan mengobrol dengan Mas sebagai direktur utama PT Sanjaya Sejahtera. Beliau tidak ingin membicarakan bisnis denganku.""Alah, alasan saja kamu! Bilang saja kamu gak bisa kerja! Menemui klien begitu saja tidak bisa!” bentak pria itu lagi. “Aku tidak mau tahu, sekarang kamu bereskan kekacauan ini!"Mutia menunduk dan berujar pelan, "Iya, Mas. Aku aka