“Anda berdua tidak berhak mengusir saya dari rumah ini!” lawan Widura. Dia tak akan tinggal diam, dengan perlakuan Adnan dan Mayang. “Dulu, saya bekerja kepada Pak Reswara. Saat ini, saya mengabdi pada Nona Laila. Hanya dia yang bisa memecat dan mengusir saya dari rumah ini!” tegas pria paruh baya itu penuh penekanan.
“Kamu lihat Laila ada di sini?” tantang Adnan, seraya mengarahkan pandangan ke setiap penjuru ruangan, seakan tengah menyindir dan mengolok-olok ucapan Widura. “Di mana majikanmu sekarang? Jika Laila masih hidup, sudah pasti dia akan langsung kembali ke rumah ini. Namun, lihatlah kenyataannya. Sudah lebih dari satu bulan, keponakanku tak juga pulang.”
“Keponakan kita sudah pulang, Pa. Dia kembali ke pangkuan Yang Maha Kuasa. Itulah yang belum orang bodoh ini sadari,” cibir Mayang. K
Pramoedya menoleh sekilas pada Laila, yang baru selesai mengancingkan baju. Embusan napas pelan meluncur, seiring dengan suara beberapa notifikasi yang masuk ke ponsel miliknya. Pramoedya tersenyum dan berusaha terlihat tenang. Dia lalu duduk di sebelah sang istri, yang kembali memasang ekspresi cemberut. Semenjak menikah dengan Pramoedya, Laila memang jadi sedikit manja. Itu semua karena Pramoedya memperlakukannya seperti ratu. Laila yang selama menjalani pernikahan dengan Aries tidak pernah mendapat perlakuan demikian, merasa menemukan kehidupan baru.“Kamu tahu kenapa kita pulang mendadak?” Pramoedya menggenggam ponsel yang sudah dinyalakan. Laila yang tengah cemberut, langsung menoleh. Dia menggeleng pelan. “Informanku mengatakan, bahwa Adnan dan istrinya berniat untuk mengaudit perusahaan pengolahan tuna milikmu. Segala hal yang berkaitan dengan perusahaan itu, akan dialihkan atas namanya.” “Apa?” Laila sontak berdiri. Dia menatap tajam Pramoedya, seakan hendak melayangkan pr
Mayang membelalakkan mata, melihat pemandangan yang membuat jantungnya seperti berhenti berdetak. Ibunda Marinka tersebut bergerak mundur. Mayang bahkan sampai tak menyadari, bahwa Adnan sudah berdiri di belakangnya.Adnan pun sama terkejut seperti Mayang. Pria paruh baya itu berdiri terpaku, menatap Laila dan Pramoedya yang sudah berdiri di hadapannya. “Ka-kamu ... ma-masih hid-up?” Dia tergagap. Jika Laila masih hidup, sudah dapat dipastikan bahwa semua rencananya akan gagal total. “Kenapa, Om? Om dan Tante sepertinya tidak senang melihatku ada di sini?” Laila tersenyum sinis, seraya mengarahkan pandangan pada Adnan dan Mayang secara bergantian.Adnan menggeleng kencang, sebagai tanda bantahan atas ucapan Laila. Sedangkan, Mayang hanya terpaku tanpa mengatakan apa pun. “Te-tentu saja tidak. Apa maksudmu? Kami sangat senang melihatmu pulang. Bukankah begitu, Ma?” Adnan melirik Mayang sekilas. Namun, wanita itu tak merespon. Seulas senyuman tersungging di bibir Laila. Wanita cantik
Laila tertegun, lalu menoleh kepada Aries. Dia menatap sang mantan suami, yang sudah berdiri di hadapannya. “Ada apa?” tanya wanita itu terlihat heran. Tanpa memberikan jawaban, Aries langsung menarik tangan Laila agar menjauh dari mobil. Apa yang Aries lakukan, tentu saja membuat Pramoedya tak terima. Dia langsung mencekal pergelangan tangan mantan suami Laila tersebut. Pramoedya mencengkram erat, hingga Aries meringis kecil. “Berani sekali kamu menyentuh istriku!” sergahnya. Tatapan pria tampan berdarah Belanda tadi sangat tajam, seakan hendak menghujam dan menghabisi putra sulung Kartika tanpa ampun.“Sudah! Hentikan!” Laila yang menangkap gelagat tak baik dari kedua pria di dekatnya, langsung memisahkan mereka. “Tolong jangan membuat keributan di sini.” Nada bicara Laila melunak. Pramoedya mengempaskan kasar tangan Aries. Dia tak ingin memedulikan pria itu. Pramoedya membuka pintu mobil, “Masuklah, Sayang. Kita harus segera ke kantor polisi,” ujarnya. Laila tak membantah. Wani
Mobil yang membawa Pramoedya dan Laila, telah tiba di area parkir gedung kepolisian. Pramoedya turun lebih dulu, lalu membukakan pintu untuk sang istri. Namun, Laila tetap bergeming di tempatnya, sambil mencengkeram tali sabuk pengaman.“Ayo, Sayang. Mereka sudah menunggu kita,” ajak Pramoedya lembut.Laila menggeleng lemah, kemudian menunduk.“Kenapa?” Pramoedya mengernyitkan kening.Cukup lama Laila tak menjawab, hingga akhirnya dia mendongak dan menatap sang suami dengan sorot sendu. “Di dalam sana, ada orang-orang yang mencoba membunuhku malam itu,” ucapnya lirih.“Tidak apa-apa, Sayang. Mereka sudah ditangkap dan berada di bawah penjagaan ketat," bujuk Pramoedya lembut.Akhirnya, Laila menurut. Dia membiarkan Pramoedya menuntunya, hingga mereka tiba di ruang pemeriksaan.Di ruangan itu, Laila mendapati Adnan sekeluarga duduk di salah satu sisi ruangan bersama beberapa orang berseragam tah
“Ada apa?” tanya Laila, setelah Pramoedya mengakhiri perbincangannya di telepon bersama Widura.“Marinka dinyatakan bersih. Dia tidak terlibat dalam upaya pembunuhan, yang Adnan dan istrinya rencanakan,” jawab Pramoedya.“Lalu?” tanya Laila lagi.Pramoedya tidak segera menjawab. Pria tampan itu menatap Laila beberapa saat, sebelum mengembuskan napas pelan. “Marinka memaksa kembali ke rumah ini. Mungkin, dia tak memiliki tujuan lain untuk pulang. Bagaimana menurutmu?”Kali ini, giliran Laila yang tak segera memberikan jawaban. Wanita cantik berambut panjang tersebut melipat kedua tangan di dada. “Sudah kuduga,” ucapnya malas. Laila mengarahkan perhatian kepada Lena. “Siapkan penyambu
Marinka terkesiap, mendengar ancaman dari Pramoedya. Putri tunggal pasangan Adnan dan Mayang tersebut tak menyangka, bahwa sang mantan kekasih akan bersikap sangat tegas terhadap dirinya. “Aku sudah terbukti tidak memiliki keterlibatan dalam rencana jahat yang papa dan mamaku lakukan terhadap Laila. Kenapa kamu masih bersikap seperti itu padaku?” Paras cantik Marinka tampak merengut. “Jika Laila tidak bisa bersikap tegas karena masih menganggapmu sebagai saudara, maka aku yang mewakilinya. Sebab, kamu bukanlah saudaraku.” Pramoedya tak juga mengubah intonasi, saat berbicara dengan mantan kekasihnya tadi. “Iya, tapi kamu tidak berhak terus-menerus mencurigaiku seperti itu,” protes Marinka tak terima, meski kali ini tanpa membawa kesombongan yang biasa dia banggakan. “Terlebih, aku adalah mantan pacarmu,” ujar wanita muda berambut golden brown tersebut. “Ya, Tuhan. Jangan ungkit lagi hal itu. Apalagi di depan Laila,” sergah Pramoedya pelan, tapi terdengar sangat tegas. “Perlu kutekan
Beberapa saat berlalu. Kondisi Laila mulai stabil. Wanita itu bahkan telah siuman, sehingga dokter mengizinkannya untuk ditemani oleh salah satu anggota keluarga.“Sayang.” Pramoedya yang mencemaskan keadaan Laila, mengecup kening wanita itu beberapa saat. Dia juga membelai lembut pucuk kepala wanita muda tersebut. “Apa yang kamu rasakan sekarang?” tanyanya.“Entahlah. Aku hanya merasa aneh,” jawab Laila lemah. Sepasang matanya menatap sayu kepada Pramoedya, yang berusaha menyembunyikan kecemasan di balik sikap tenang. “Apa kata dokter?” tanya Laila agak parau.“Hasil pemeriksaan lab-mu belum keluar. Semoga tidak ada yang serius.” Pramoedya tersenyum lembut, lalu mencium punggung tangan Laila. “Jangan khawatir. Aku di sini untuk selalu menemanimu.”Laila tersenyum lembut, menanggapi ucapan manis sang suami. “Aku ingin minum,” ujarnya beberapa saat kemudia
Pramoedya tak kuasa menjawab pertanyaan tadi. Bibirnya sedikit terbuka, tapi tak ada yang terucap dari pria tampan tersebut. “Sayang.” Hanya itu yang bisa Pramoedya katakan. Berat bagi si pemilik mata hazel tersebut, untuk memberitahukan kondisi sebenarnya kepada sang istri.“Kenapa? Apa aku sakit parah dan akan mati?” tanya Laila. Sepasang matanya mulai berkaca-kaca.“Sst! Jangan bicara seperti itu. Aku tidak suka,” tegur Pramoedya, seraya menggeleng pelan.“Lalu kenapa?” tanya Laila lagi setengah mendesak.Pramoedya merasa terpojok dan serba salah. Dia benar-benar tak sanggup, memberitahukan penyakit yang Laila derita.Beruntung, saat itu pintu ruangan tiba-tiba terbuka. Dokter Hasan muncul bersama beberapa orang perawat. Mereka masuk dan menghampiri Laila."Apa kabar, Nyonya Laila?" sapa Dokter Hasan ramah. Sikapnya begitu hangat. Tak menunggu tanggapan dari Laila, dokter k