Berani-beraninya--"Hamid merasa marah. Tangannya mengepal di bawah meja, tidak terima dengan tingkah Analea yang dinilai genit di matanya padahal wanita itu hanya menjalankan tugasnya.Tatapan Hamid terus tertuju pada Analea yang duduk di depan sejajar dengan Kaisar dan Fabian hingga Nandita harus menyenggolnya agar tidak memelototi dua petinggi perusahaan tersebut.Meskipun merasa marah dan cemburu, Hamid juga terheran-heran melihat Analea bisa berada di sebelah sang CEO."Kenapa dia bisa ada di ruangan ini? Apa jabatan Ana sebenarnya?" tanya Hamid dalam hati. Dadanya kembali bergemuruh ketika melihat Kaisar tersenyum pada Analea yang duduk di sisinya."Sial, CEO itu kenapa harus senyum-senyum bicara dengan istriku?" umpat Hamid dalam hati.Pria itu makin yakin ingin meminta Analea berhenti bekerja. Jangan sampai Analea tergoda oleh pria lain di Eternal Group ini."Dia pasti akan semakin besar kepala dan membangkang jika masih bekerja di sini." Hamid terus menggerutu dalam hatinya.
"Ehm ... siapa yang bikin malu Eternal Group?" Mendengar suara yang begitu berwibawa di belakang mereka, ketiga wanita penggosip itu spontan menoleh ke belakang. "Eh--B-bu Maira?" Ketiga karyawati itu menunduk, menyadari kesalahan mereka yang sedang bergosip di tempat yang tidak semestinya. "Siapa yang sedang kalian bicarakan?" tanya wanita yang memakai hijab segiempat dengan model simple, sembari menatap ketiga karyawati itu satu per satu. "B-bukan siapa-siapa, Bu." Dengan suara gemetar, salah satu dari mereka menjawab. Sebenarnya, Maira bukanlah seorang pimpinan yang arogan atau mudah marah. Wanita itu bahkan terkenal ramah pada semua karyawan. Namun, hal inilah yang justru membuat orang-orang enggan pada Maira. Mereka cenderung lebih menghormati dan segan pada wanita berpenampilan elegan dan berkelas itu dibandingkan takut. Beruntung bagi tiga karyawati tersebut, Maira tidak memperpanjang masalah atau menggali lebih dalam. Wanita paruh baya itu hanya menggelengkan kepalanya da
"Bu Maira!"Analea bergegas mendekat. Ia berjalan tergesa-gesa untuk menghampiri Maira. Napas wanita itu terengah-engah. Jarak Analea dengan tempat Maira dan Kaisar berdiri tinggal beberapa meter lagi."Bu--"Akan tetapi, seketika tubuh Analea lemas saat ia melihat Maira dan Kaisar telah masuk ke dalam BMW hitam yang sejak tadi menunggu mereka. Sekian detik kemudian Analea melihat mobil mewah itu telah melaju kaluar menuju arah jalan raya."Bu Maira ..." Bibir Analea bergetar menyebut wanita yang sangat ingin ia temui itu. Beberapa saat ia mematung, menatap arah perginya mobil yang membawa Maira dan Kaisar. Hingga seseorang menyapanya."Belum pernah lihat mobil seharga miliaran, ya? Sampai sebegitu kagumnya." Salah satu wanita di antara beberapa karyawati bicara pada Analea sambil memandang rendah.Sepertinya para wanita itu baru saja selesai dari makan siangMendengar temannya bicara, wanita lainnya terkekeh dengan pandangan mencemooh pada Analea.Akan tetapi, Analea tidak menghirauk
"Hamid, apa-apaan, kamu!?" Dengan mata melotot Nandita bergegas masuk menghampiri Hamid. "Nandita,--" Hamid terkejut melihat Nandita tiba-tiba sudah berada di rumahnya. Seketika ia teringat bahwa semalam Nandita mengajaknya berangkat bersama ke kantor. "Lepasin, Mas!" Analea berontak, berusaha melepaskan diri dari pelukan Hamid. Namun Hamid seakan berat melepaskan istrinya yang kini terlihat sangat cantik dengan penampilan yang tidak seperti biasanya. Bahkan, di mata Hamid, Nandita kini tidak ada apa-apanya dibanding penampilan Analea yang sangat memukau. Menurutnya, wajah Analea memang sudah dasarnya cantik, jadi akan semakin cantik dengan penampilannya sekarang. Setelah susah payah, akhirnya Analea lega karena bisa terlepas dari lingkaran tangan kekar Hamid yang tadi sempat berada di pinggangnya. Ia buru-buru merapikan pakaiannya yang sempat sedikit kusut. Analea melirik sesaat pada Nandita yang menatap nyalang padanya. Setelahnya, ia kembali tidak menghiraukan kehadiran wanita
"Kenapa Non Ratu memandangku seperti itu?" Analea bertanya dalam hati. "Selamat pagi, Bu Maira, Mbak Ratu!" Risa menyapa keduanya dengan mengangguk, diikuti oleh Analea yang ikut berdiri di sampingnya. "Ana, bagaimana kabarmu?" Langkah Maira terhenti tepat di depan meja Analea. Wanita berpenampilan elegan dan anggun itu tertegun beberapa detik saat menatap Analea. "Baik, Bu. Bagaimana dengan Ibu? Apa masih ada yang sakit?" tanya Analea sambil menatap kagum pada wanita cantik paruh baya itu. "Saya baik-baik saja. Semoga kamu betah ya, bekerja di sini!" ucap Maira lembut. Ia tersenyum puas melihat penampilan Analea pagi ini. Analea merasakan sebuah getaran saat Maira memandangnya dengan tatapan menyejukkan. Analea tidak memahami itu. Namun, ada rasa yang begitu nyaman yang ia rasakan setiap mendengar suara lembut Maira. "Ayo, dong, Ma! Itu Kak Kaisar sudah masuk ke ruangannya." Ratu menarik lengan Maira sambil merengek manja. Wanita itu menunjuk Kaisar yang sudah melangkah lebih d
"Mas Hamid ..." gumam Analea pelan. Ia merasakan sorot mata Hamid begitu tajam padanya. Sekilas ia melihat suaminya itu bergumam tak jelas. Analea berusaha untuk tidak menghiraukan. Toh, ia yakin Hamid tidak akan berani menghampirinya, karena saat ini ia sedang bersama Kaisar. Walaupun ia tau saat ini Hamid sedang sangat marah padanya. "Mari saya antar ke ruangan Pak Fabian!" Wanita yang tadi berada di balik meja resepsionis itu bergegas menghampiri Kaisar dan Analea. Dengan satu tangannya terulur mempersilakan Kaisar dan Analea melangkah lebih dulu. Kaisar mengangguk dengan senyum ramahnya. "Ayo, Ana!" ajak Kaisar sembari menoleh pada sekretarisnya. Analea membalasnya dengan mengangguk. Analea bergegas membersamai langkah kaki Kaisar. Sebelum melangkah, Ia sempat melirik pada Hamid yang masih menatapnya dengan nanar. Napas pria itu naik turun menahan amarah dengan wajah memerah. Sera tersenyum tipis pada pria yang masih berstatus suaminya itu. Hal itu justru semakin membuat rahan
"Ana, ada apa ini?" Seketika Analea menoleh saat mendengar suara yang sangat ia kenali. Jantungnya berdebar sangat cepat. Ia terkejut mendapati Kaisar dan Fabian telah berada di belakangnya. Dua pria tampan dengan tubuh tinggi besar itu memandang Analea dan Hamid secara bergantian. Wajah keduanya dipenuhi tanda tanya. Fabian memang tidak bicara, namun jelas terlihat wajahnya berubah merah padam ketika melihat tangan Hamid berada pada lengan Analea. Ia menatap karyawannya itu dengan sorot mata yang begitu menusuk. Melihat hal itu, Hamid gemetar karena takut. Wajahnya memucat bagai mayat hidup. Saat tersadar, spontan ia melepaskan cengkraman tangannya pada lengan Analea. Kemudian ia menggeser tubuhnya agar sedikit memberi jarak dari istrinya itu. Hamid menunduk, tak berdaya menerima tatapan tajam Fabian yang tak lain adalah CEO-nya sendiri. "Ada apa, Ana?" Kaisar memandang Analea yang ketakutan dengan Iba. Sekilas ia melirik tajam pada Hamid yang masih berdiri tak jauh dari Analea.
"Analea ...!" gumam Fabian nyaris tak terdengar. Ingatannya menerawang pada peristiwa pagi itu. Audi hitam miliknya hampir saja menyerempet seorang wanita dengan penampilan yang sederhana. Ia tau persis supirnya tidak bersalah. Kecelakaan itu terjadi karena wanita itu berjalan limbung hingga tubuhnya nyaris ke tengah jalan raya. Beruntung saat itu mobilnya tidak dalam keadaan ngebut. Pertemuan dengan wanita sederhana itu terus berbekas di benak Fabian hingga ia dipertemukan kembali dengan Analea di gedung Eternal Group. "Sepertinya Analea sedang mengalami masalah yang cukup berat. Kasian ..." Fabian bicara dalam hati. Potongan-potongan gambar tentang Analea terus berulang dalam pikiran Fabian. Saat Analea nyaris terserempet, pertemuannya dengan wanita itu di Eternal Group, belum lagi keributan kecil dengan salah satu karyawannya di kantor sore tadi, serta perdebatan yang serius antara Analea dengan seorang pengendara motor di sebuah halte. "Masalah apa yang sedang kamu hadapi, Ana