"Hari ini kita pulang ke rumah. Lea mau, kan tinggal di rumahku?" Analea mengangguk dan tersenyum. Ia semakin mengeratkan pelukannya pada suami tercintanya. Pagi ini mereka baru saja terjaga dalam keadaan polos yang hanya ditutupi selimut. Satu minggu sudah mereka habiskan waktu di kamar hotel itu dengan bercumbu dan bermesraan sepanjang hari. "Maafkan aku. Seharusnya aku membawa Lea bulan madu ke luar negeri atau tempat-tempat yang indah lainnya." Fabian menciumi puncak kepala Analea dengan bertubi-tubi. Wanita yang sejak awal ia kenal dengan kesederhanaannya tidak pernah protes ketika Fabian hanya membawanya menginap di hotel bintang lima yang ada di tengah kota. "Nggak apa-apa, kak. Aku bahagia, kok, di kamar mewah ini. Di manapun, asalkan bersama Kak Bian sayang!" Analea menegakkan tubuhnya dan mendaratkan sebuah kecupan pada hidung Fabian yang menjulang. "Hei, mulai nakal, ya!" Menerima ciuman yang tiba-tiba dari Analea berhasil memancing kembali hasrat kelaki-lakian Fabian.
"Sumi, buruan siapin pakaian kerjaku!" Ratu baru saja bangun, langsung memberi perintah pada Sumi. "Bajunya yang mana, Non? Memangnya Non sudah dapat kerja?" Sumi yang ternyata sedang siap-siap juga untuk kerja langsung kalang kabut mencari pakaian Ratu di lemari plastik miliknya. "Cari bajuku yang paling bagus. Aku mau datang ke sebuah perusahana besar." Ratu berkacak pinggang mengawasi Sumi yang sedang mengangkat tumpukan pakaian terlipat yang sudah di setrika. "Ini sudah disetrika, Non. Tinggal pakai aja, nih!" Sumi menyerahkan satu stel pakaian kantor yang dulu biasa dikenakan Ratu untuk bekerja. "Apaan, nih? Masih kusut! Setrika lagi, sana!" Sumi meraih kembali pakaian di tangan Ratu. Karena dia tidak punya lemari gantung, pakaian itu menjadi kusut lagi dalam lemari. Terpaksa Sumi mengulang kembali menyetrika baju Ratu. Sementara Ratu bergegas mandi sebelum kamar mandi itu antri oleh para penghuni kontrakan. "Non, maaf ya. Saya masih belum bisa bawa Non ke kontrakan yang le
[ Aku kangen. Lea pulang jam berapa? Aku jemput] Analea tersenyum membaca pesan yang ke sekian kalinya dari Fabian. Sejak pagi setelah Fabian mengantarnya ke Anggada Jaya, suaminya itu setiap jam mengirimkan pesan rindu untuknya. Hingga pukul satu siang belum waktunya pulang, Fabian tak sabar ingin menjemput. [.Pekerjaanku masih banyak, Kak. Aku juga mau mampir ke rumah Mama nanti sore ] [ Kita ke rumah Mama sama-sama. Setelah pekerjaanku selesai, aku akan jemput Lea ] Lagi-lagi Analea geleng-geleng kepala sambil tersenyum mengingat suaminya yang berubah drastis setelah menikah. "Kenapa kamu jadi bucin dan agresif begini?" Pikir Analea dalam hati. Tanpa ia sadari ia terus tersenyum mengingat malam-malam yang ia lalui sejak menikah dengan Fabian selalu hangat oleh aktifitas panas mereka. Fabian selalu ingin lagi dan lagi. Ia akan berhenti jika sudah melihat Analea kelelahan. Apa hampir semua pengantin baru seperti ini? "Bu ... Bu Ana ... Bu ...!" "Astaga! Maaf, Lily!" Analea te
"Ada apa, Kak?"tanya Analea heran sekaligus khawatir. Langkahnya terhenti. Ia menatap Fabian dengah kening berkerut. Fabian tampak mulai tenang. Lalu menghela napas panjang. Netranya membalas tatapan Analea. "Maafkan aku, Lea. Mungkin ... aku terlalu berlebihan. Itu mobil Raihan. Dia pasti ada di dalam. Aku ... khawatir ...." Satu lengan. Fabian menyelipkan anak rambut Analea ke balik telinga. Analea tersenyum. "Jangan terlalu berlebihan padaku, Kak. Aku pasti akan sakit jika suatu saat perlakuan Kak Bian ke aku hanya biasa saja. Jangan buat aku terbiasa dengan sikap kakak yang bucin banget kayak gini." Analea bicara dengan hati-hati. Kata-kata yang ia ingin sampaikan sejak di hotel kemarin, tapi ia ragu untuk mengatakannya. Namun akhirnya ia mengatakannya karena Fabian memulai membahasnya lebih dulu. Tatapan Fabian semakin lekat. Keduanya saling tatap tak berkedip hingga tidak menyadari ada yang memperhatikan mereka. "Wah, wah, ada pengantin baru rupanya. Kenapa berdiri di sana
"Astagaaa! Nggak banget, ih!" Ratu meringis melihat dirinya di depan cermin toilet, yang saat ini mengenakan pakaian seragam Office girl. Hatinya tidak hanya ingin menjerit. Dia juga sangat ingin berontak bahkan berteriak untuk mengungkapkan rasa tidak terimanya saat ini. "Kenapa Daddy tega ngebiarin aku begini? Apa Daddy benar-benar sudah nggak sayang lagi sama aku,⁰ karena aku bukan anak kandungnya? Daddy ... aku kangen." Tanpa sadar Ratu meneteskan air matanya. Terbayang olehnya wajah Rein. Pria yang sejak ia kecil selalu memanjakannya. Apa yang ia mau selalu dituruti. Ratu benar-benar rindu dengan masa kecilnya dulu. "Heh! Anak baru! Bukannya buruan kerja malah santai-santai di sini!" Ratu nyaris terlonjak karena terkejut. Ia buru-buru menghapus air matanya dan membereskan pakaiannya. Seorang wanita gemuk yang memakai seragam sama seperti dirinya datang membentak sambil berkacak pinggang. Netra wanita itu melotot padanya. "Iyaaa, sebentar!" sahut Ratu singkat, lalu melangkah k
"Ada apa ini?" Tiba-tiba saja Susi dan Nanang muncul. Mereka memandang khawatir pada wanita cantik berpenampilan elegan itu. Sedangkan Ratu tampak panik dengan wajah yang memucat "M-maaf, Bu Sonia. Apakah karyawan baru ini membuat masalah?" Susi bertanya takut-takut dan gugup pada wanita yang dipanggil Sonia itu. "Kamu dari mana saja, sih? Kenapa orang baru malah ditinggal sendiri? Dia ini sudah kurang ajar sama saya." Mendengar omelan Sonia, spontan Susi menoleh pada Ratu. Ia memandang Ratu dengan geram. Ratu pun membalasnya dengan tatapan menyesal. Wajahnya tampak merasa bersalah. Sementara orang-orang di sekitar lobby itu ikut menoleh tanpa berani mendekat. "M-maaf Bu Sonia, tadi saya sedang ada perkerjaan di belakang. Nanang juga barusan saya panggil. Karyawan baru ini padahal sudah diajari oleh Nanang. Saya mohon maaf atas keteledoran saya!" ujar Susi dengan sedikit membungkuk. Wanita cantik yang dipanggil Sonia itu tidak menjawab. Ia kembali memperhatikan Ratu dengan dagu d
"Nandita ...?" Ratu nyaris terpekik melihat karyawan PT Bina Sanjaya yang sangat ia kenali itu berada di toilet. Rasanya ia ingin lari dan bersembunyi, tapi itu tidak mungkin. Nandita dan temannya sudah jelas-jelas mengenali dirinya. Ia tidak mungkin bisa mengelak lagi. "Mbak Ratu kok ... pakai baju begini?" Nandita spontan bertanya lagi sambil memandang Ratu tak percaya dari atas ke bawah. Tangannya sempat menyentuh bahu Ratu untuk meyakinkan dirinya. "Beneran kita nggak nyangka. Apa Mbak Ratu lagi nyamar? Atau lagi syuting? Atau mungkin diam-diam lagi menyelidiki sesuatu di sini?" Nandita dan temannya mencecar Ratu dengan banyak pertanyaan hingga Ratu belum sempat menjawabnya. Sebelum bicara, Ratu menghela napas panjang sambil memasang wajah sedih. "Ini bukan seperti yang kalian bilang barusan. Aku ... terpaksa kerja begini gara-gara Analea. Semua karena fitnah perempuan itu. Karena dia, aku dipecat dan diusir dari rumah." Nandita dan temannya terkejut hingga saling
"M-maaf, maaf ...!" Ratu bergegas membereskan semua berkas itu. Namun matanya sesekali menoleh pada pria yang masih saja acuh padanya. "Apa yang kamu lihat? Cepat selesaikan pekerjaanmu itu!" bentak Sonia kesal namun tetap mengecilkan volume suaranya. Ratu tidak menjawab ia tetap memikirkan pria dingin yang masih duduk bersama Sonia itu. "Sial! Apa dia pura-pura tidak melihatku? Atau dia tidak mengenaliku karena pakaianku ini?" pikir Ratu dalam hati. "Letakkan di meja itu dengan rapi. Setelah itu kamu keluar dari ruangan ini!" Sonia berdiri agar Ratu segera keluar dari ruangan itu. Ratu melangkah keluar, tak lama kemudian beberapa pria pun keluar dari ruangan itu. Ratu menoleh kembali ke ruangan kaca. "Hmm ... Kak Bian, apa kamu benar-benar tidak mengenaliku? Atau kamu malu menyapaku karena pakaianku ini?" Ratu bergumam sendiri. Ia terus memperhatikan Fabian yang kini tinggal berdua saja sekarang dengan Sonia. Tak lama kemudian Ratu tersenyum sendiri, lalu meraih