"Nandita ...?" Ratu nyaris terpekik melihat karyawan PT Bina Sanjaya yang sangat ia kenali itu berada di toilet. Rasanya ia ingin lari dan bersembunyi, tapi itu tidak mungkin. Nandita dan temannya sudah jelas-jelas mengenali dirinya. Ia tidak mungkin bisa mengelak lagi. "Mbak Ratu kok ... pakai baju begini?" Nandita spontan bertanya lagi sambil memandang Ratu tak percaya dari atas ke bawah. Tangannya sempat menyentuh bahu Ratu untuk meyakinkan dirinya. "Beneran kita nggak nyangka. Apa Mbak Ratu lagi nyamar? Atau lagi syuting? Atau mungkin diam-diam lagi menyelidiki sesuatu di sini?" Nandita dan temannya mencecar Ratu dengan banyak pertanyaan hingga Ratu belum sempat menjawabnya. Sebelum bicara, Ratu menghela napas panjang sambil memasang wajah sedih. "Ini bukan seperti yang kalian bilang barusan. Aku ... terpaksa kerja begini gara-gara Analea. Semua karena fitnah perempuan itu. Karena dia, aku dipecat dan diusir dari rumah." Nandita dan temannya terkejut hingga saling
"M-maaf, maaf ...!" Ratu bergegas membereskan semua berkas itu. Namun matanya sesekali menoleh pada pria yang masih saja acuh padanya. "Apa yang kamu lihat? Cepat selesaikan pekerjaanmu itu!" bentak Sonia kesal namun tetap mengecilkan volume suaranya. Ratu tidak menjawab ia tetap memikirkan pria dingin yang masih duduk bersama Sonia itu. "Sial! Apa dia pura-pura tidak melihatku? Atau dia tidak mengenaliku karena pakaianku ini?" pikir Ratu dalam hati. "Letakkan di meja itu dengan rapi. Setelah itu kamu keluar dari ruangan ini!" Sonia berdiri agar Ratu segera keluar dari ruangan itu. Ratu melangkah keluar, tak lama kemudian beberapa pria pun keluar dari ruangan itu. Ratu menoleh kembali ke ruangan kaca. "Hmm ... Kak Bian, apa kamu benar-benar tidak mengenaliku? Atau kamu malu menyapaku karena pakaianku ini?" Ratu bergumam sendiri. Ia terus memperhatikan Fabian yang kini tinggal berdua saja sekarang dengan Sonia. Tak lama kemudian Ratu tersenyum sendiri, lalu meraih
"Foto siapa ini?" gumam Analea yang terdengar jelas oleh Fabian. Wajah Analea terlihat biasa saja, sementara Fabian mendengkus kesal saat melihat foto dirinya bersama Sonia ketika meeting siang tadi. Ia sudah menduga apa maksud Ratu mengirim foto itu pada Analea. "Ini ... Kak Bian, kan?" tanya Analea menunjuk foto pada ponselnya. Fabian menilai suara Analea masih terdengar santai. "Hmm ... benar. Aku bisa jelaskan. Tadi itu aku ada meeting di PT. Like Sport. Wanita yang ada di foto itu adalah Sonia, direktur perusahaan itu. Aku tidak tau apa maksud Ratu memotret dan mengirimkannya pada Lea." Fabian menjelaskannya dengan tergesa-gesa sambil menatap Analea. "Aku tau," sahut Analea setelah mendengar penjelasan Fabian. Wajahnya masih sangat tenang. "Maksud Lea?" "Hmm ... Ratu sengaja mau bikin aku cemburu dan kita bertengkar." Fabian sedikit lega melihat Analea saat ini tersenyum. "Jadi ... Ratu tidak berhasil membuat kita bertengkar, kan?" tanya Fabian untuk mencari kejelasan dari
Beberapa jam yang lalu, Kaisar baru saja tiba di sebuah desa di wilayah Bogor, Jawa Barat. Pria tampan yang masih mengenakan jas mahalnya itu berhenti tak jauh dari sebuah rumah yang cukup besar dan mewah dibanding rumah penduduk di sekitarnya. Lebih tepatnya rumah mewah itu disebut sebagai villa oleh para warga sekitar. Kaisar yang belakangan ini lebih banyak menyendiri memutuskan untuk membeli sebuah rumah untuk dirinya sendiri. Dengan demikian ia akan bebas menyendiri tanpa membuat sang mama khawatir. Kenyataan bahwa Analea ternyata adalah adik kandungnya membuatnya sedikit terpukul. Karena ia baru kali ini merasakan jatuh cinta. Meski belakangan ia berusaha meyakinkan dirinya bahwa rasa yang hadir adalah rasa sayang seorang kakak pada adiknya. Namun tetap saja rasanya sangat menyakitkan untuknya. Kaisar sengaja mencari rumah di pedesaan, karena ia membutuhkan ketenangan yang berbeda, setidaknya untuk setiap akhir pekan. Karena ia berangkat dari kantor sudah sore, sesampainya di
"Tidak mungkin! Saya tidak mungkin menikahi anak bapak. Saya tidak kenal anak Bapak. Asal Bapak tau, saya di sini hanya ingin melihat rumah ini. Karena awalnya saya berminat ingin membeli rumah ini." Wajah Kaisar bertambah panik. Berkali-kali ia mengusap wajahnya dengan kasar. "Ya sudah, kalau begitu jangan halangi saya untuk membawa anak saya pulang!" Pria paruh baya itu kembali hendak menarik putrinya. Namun salah satu pria berbadan gemuk yang sejak tadi ada di sana mencegahnya. "Tunggu! Tidak mungkin mereka tidak saling kenal. Kalian pikir kami tidak melihat apa yang kalian lakukan tadi sebelum kami datang?" Merasa dituduh, Kaisar pun melangkah maju dengan geram. "Apa maksud Anda? Kalian di sini sengaja mau menjebak saya, hah?" Netra Kaisar berkilat karena emosi. Otaknya berputar mencari cara untuk bisa lepas dari masalah ini. "Kami melihatnya sendiri. Kamu jangan coba-coba mengelak!" sahut pria itu. Kaisar semakin geram. Namun ia merasa percuma saja jika harus berdebat denga
"Non Ana?" Seorang security terkejut melihat kedatangan Analea yang hampir tengah malam. Security itu bergegas membuka pintu gerbang. "Mama dan Daddy ada?" tanya Analea setelah membuka kaca mobil. "Ada, Non. Tapi ... mungkin sudah tidur." "Ya sudah. Terima kasih, Pak." Analea kembali menutup kaca saat mobil mulai melaju ke halaman. "Rasanya tidak tega jika harus membangunkan Mama dan Daddy, kak. Bagaimana jika kita menginap saja di sini?" "Sepertinya menarik. Aku jadi penasaran, seperti apa kamar Lea istriku?" Fabian melirik nakal pada Analea, hingga wajah Analea merah merona. "Tentunya kamarku tidak sebesar kamar kita." "Justru aku malah jadi penasaran. Daaan ... ingin mencobanya." Lagi-lagi Fabian menggoda Analea hingga ia lupa ada supir di depan mereka. Analea mengangkat alisnya sambil memberi isyarat bahwa mereka tidak sedang berdua saja. Hal itu membuat Fabian tersadar dan mereka pun tertawa sesaat. "Lalu ..., bagaimana dengan ibu dan ayah? Mereka pasti mencari kita saa
"Ayo cepat jalannya! Lamban sekali!" Kaisar masih terus menggerutu hingga tiba di depan pintu utama yang sudah terbuka. Ia tidak memperhatikan wajah Maira dan Analea yang saling pandang karena heran melihat sikap Kaisar. "Iy-iyaaa, Pak." Intan tampak ragu untuk melangkah setelah tercengang melihat rumah mewah dan besar yang ada di hadapannya. "Kenapa? Jangan norak! Ayo masuk! Jangan bikin malu! Menyusahkan saja!" ketus Kaisar. Melihat wajah polos dan ketakutan Intan tiba-tiba saja membuat Maira iba. "Kaisar ...!" Maira spontan melotot pada putranya, lalu pandangannya beralih pada Intan yang menunduk. "Sini, Nak, masuklah!" Maira mengangguk dan tersenyum pada Intan. Melihat penampilan Intan yang sangat sederhana dengan atasan kaos polos dan rok panjang mengingatkan masa remajanya ketika di panti dulu. "Siapa namamu, Nak?" "Intan, Nyonya." jawab gadis itu tanpa mengangkat wajahnya. "Intan, jangan panggil saya nyonya. Panggil ibu saja. Ayo, sini duduk!" Maira meminta Intan duduk
"Kaisar kenapa? Bicara yang jelas!" Rein bicara tegas pada ART yang baru saja dari kamar Kaisar. "Maaf, Pak. Tuan Kaisar pingsan." "Apa? Pingsan?" Maira spontan histeris dan panik. "Mam, Dad, biar saya yang lihat ke atas." Fabian bergegas bergerak menaiki tangga. "Aku ikut!" teriak Analea, lalu bergegas menyusul Fabian. "Yang mana kamar Kaisar?" Fabian menoleh pada salah satu ART yang ada di lantai dua itu. "Itu, Tuan!" Kaisar buru-buru masuk ke salah satu kamar di lantai dua yang tak jauh dari tangga. "Kaisar!" teriak Fabian melihat Kaisar terbaring di lantai di depan kamar mandi. "Ya, Tuhan, Kak Kaisar!" Analea pun menjerit. Rein dan seorang security ternyata ikut naik juga ke lantai dua dan langsung masuk ke kamar Kaisar. "Ayo, Pak. Bantu Fabian!" perintah Rein pada security melihat Fabian sedang berusaha mengangkat tubuh besar Kaisar sendirian. "Kita baringkan dulu!" Fabian memberi aba-aba. Setelah tubuh Kaisar terbaring di tempat tidur, Analea dan Maira yang ternyata