"Non Elisa, bangun Non?" Mbok Nah mengguncang tubuh wanita itu pelan. Lalu melirik lagi ke arah mulut bayi mungil yang terlihat bergerak-gerak. Seakan ia tengah mencari puncak dada sang ibu."Eh, Mbok. Apa Lexa menangis lagi?" Elisa menggeliat, lantas bangkit dan mendudukkan tubuhnya sendiri. Ia mengerjap beberapa kali mencoba mengumpulkan kesadarannya yang belum benar-benar sempurna."Sepertinya Baby L haus Non." Mbok Nah mengarahkan pandangannya ke Baby Lexa. Terkadang tangan bayi mungil itu juga ikut bergerak, meraih apapun yang ada di hadapannya."Biar El susuin dulu, Mbok." Mbok Nah menyerahkan bayi mungil itu yang langsung di sambut oleh kedua tangan Elisa.Sembari menyusui putrinya, mata Elisa menyapu sekeliling ruangan. Ia mencari keberadaan Roy yang tidak terlihat sejak ia membuka mata tadi. Ke mana lelaki itu? Katanya ingin menemani Mbok Nah menjaga putrinya? Nyatanya kini malah menghilang tanpa pamit."Kak Roy kemana, Mbok?" Meski ia sudah tahu kira-kira di mana keberadaan
Sesaat Elisa kehilangan kata-kata, bahkan hanya untuk menjawab panggilan dari Airin yang terdengar berkali-kali pun ia tak mampu. Elisa hanya bisa diam dengan mulut yang terkunci rapat. Panggilan masih tersambung, namun detik selanjutnya ponsel yang berada dalam genggamannya terjun bebas mengenai kakinya sendiri sebelum terbentur dengan kerasnya lantai kamar.Ponsel itu hancur berkeping-keping tepat di bawah kakinya. Elisa masih termangu menatap nanar ke arah depan. Kabar itu begitu mengejutkan hingga ia sendiri tak mampu untuk membedakan ini nyata atau hanya mimpi belaka."Ka–k ..." Bibir Elisa gemetar, memanggil suaminya yang masih terdiam di tempatnya tadi. Ia masih linglung untuk memikirkan apa yang selanjutnya hendak ia lakukan."I–ibu, Kak. Ibu ..." Lagi, bibir seakan kelu untuk mengucapkan. Bagaimana ini? Elisa kebingungan sendiri. Saat kesadarannya sudah pulih, ia langsung bergegas menuju kamar milik kedua anaknya."Mbok ...!" Baru saja kedua matanya terpejam, panggilan dari
Roy masih diam di atas pusaran Bu Lasmi meski hujan lebat mengguyur tubuhnya. Lelaki itu merasakan penyesalan yang teramat sangat, apalagi ia belum sempat berbaikan dengan wanita yang telah melahirkannya itu."Maaf, Bu ... maafkan putramu yang bodoh ini ..." Roy berbisik pelan, membelai gundukan tanah merah itu dengan tangan yang gemetar."Kau puas sekarang!" Suara bariton seorang lelaki terdengar dari arah belakang. Roy bangkit dan memutar tubuhnya, sejenak ia menatap sosok Alex yang sudah berdiri dengan kedua tangan yang mengepal erat.Bugh ...! Satu pukulan tepat mengenai perut Roy, membuatnya langsung tersungkur ke tanah."Ini untuk rasa sakit yang selama ini ibuku rasakan!"Bugh, bugh, bugh, bugh ...!"Dan ini, ini, ini, untuk membayar semua kesombonganmu selama ini!"Alex terus memukuli Roy dengan membabi buta. Saat lelaki itu tersungkur, Alex akan menariknya, lantas ia menghujaminya lagi dengan pukulan yang lain."Bangun ..!! Kenapa kau lemah sekali! Ayo lawan aku!" Alex berter
"Ini apa, Pa?" Alex menerimanya dengan wajah bingung. Benda itu berbentuk lipatan kertas berwarna putih. Namun, Alex tidak tahu apa isinya."Bukalah. Kau akan tahu jawabannya nanti." Papa Wahyu ingin Alex membacanya sendiri amanat yang di tulis langsung oleh sang ibu.Perlahan Alex membuka lembaran kertas itu yang ternyata berisi pesan sang ibu sebelum beliau masuk rumah sakit.Di sana tertuliskan bagaimana perempuan itu sangat mencintainya. Begitupun dengan satu nama yang selalu perempuan itu rindukan, Roy. Sang ibu juga berpesan agar ia tidak menyimpan api dendam. Apapun yang akan terjadi nati.Detik itu juga Alex merasa sangat bersalah saat membaca tulisan terakhir ibunya. Jangan pernah salahkan Roy. Semua yang terjadi karena kesalahan Ibu.Roy hanya korban dari keegoisan Ibu di masa lalu.Berjanjilah untuk tidak menyakitinya.Ibu mencintai kalian.'Berdamailah jika kalian ingin Ibu bahagia.'"Pa, ja–di ini bener tulisan Ibu?" Dengan kedua tangan yang gemetar ia menatap lagi lemb
Malam ini suasana terasa sunyi. Lorong-lorong rumah sakit tempat Roy di rawat juga sudah sepi. Elisa sudah bersiap untuk merebahkan diri di ranjang yang di sediakan oleh pihak rumah sakit. Wanita itu memastikan lebih dulu Roy sudah terlelap setelah meminum obatnya. Rencananya besok pagi Roy sudah di ijinkan untuk pulang. Dan malam ini mau tidak mau Elisa berjaga sendirian karena Mbok Nah menjaga kedua anaknya di rumah. Setengah jam merangkak dengan begitu lambat. Seorang pria berbaju hitam di luar ruangan rawat itu sudah nampak gelisah. Ia tengah menunggu sampai orang yang ada di dalam sana benar-benar terlelap. Saat di rasa sudah aman, ia bergerak perlahan mendorong pintu ruangan rawat itu dengan hati-hati. "Aku harus hati-hati. Aku harus secepatnya menjalankan rencana, lalu pergi sebelum ada orang yang melihat." Ia berbisik sendiri. Memakai penutup kepala berwarna hitam, lalu melangkah lagi mendekati ranjang. "Ya, benar, ini target yang harus aku habisi." Pria itu berpikir sejenak
"Apa kau yakin akan pulang hari ini?" Dua lelaki itu sudah terlihat sangat akrab, seakan sebelumnya tidak pernah terjadi masalah atau perselisihan apapun. "Menurutmu, aku selemah itu hanya karena pukulanmu yang tak terasa? Lihat, aku sudah baik-baik saja." Dengan sombongnya Roy memamerkan kondisi tubuhnya yang sudah semakin membaik. "Ya lah, aku tahu. Sebenarnya kau ingin cepat-cepat pulang karena di sini tidak bisa bermesraan dengan istrimu, kan?" ledek Alex, yang langsung di sambut gelak tawa dari Roy. "Aku tidak sekejam itu. Istriku belum sepenuhnya pulih setelah melahirkan kemarin." Ia menggeleng pelan. Roy memang belum berani menyentuhnya lagi sebelum memastikan Elisa benar-benar sehat. "Aku tidak menyangka jika Kau tipe lelaki penyabar. Bahkan hingga bertahun-tahun Kau dapat menahannya. Kalau aku, entahlah ...." Roy tidak terlalu menanggapi. Baginya kesalahannya dulu pada Elisa sudah cukup menjadi pelajaran berharga agar ia menjadi lelaki yang bertanggung jawab. Bukan malah
Lihat saja sekarang penampilannya berbeda. Iya, Nona Riska sekarang gemukan yah? Eh, tapi lihat! Kok perutnya membesar? Apa jangan-jangan Nona Riska ... Setiap hari Riska mendengar bisik-bisik yang berasal dari para karyawannya. Sebagian besar mereka membahas mengenai bentuk tubuhnya yang banyak berubah. Terlihat lebih berisi, selain itu tingkah Riska yang terkadang aneh sukses membuat sebagian besar karyawannya merasa bingung. "Kemarin aku lihat Nona Riska membeli rujak buah," ucap salah seorang gadis yang bekerja di perusahaan milik Riska. Gadis itu merasa aneh saja saat melihat bos wanitanya yang rela mengantri rujak buah di pinggir jalan. "Benarkah?" ucapnya temannya dengan mulut terbuka lebar. Kemudian karyawan lain juga yang ikut berbicara. "Aku juga pernah mendengar Nona Riska muntah-muntah." Lantas ia mengingat saat memberikan laporan bulanan waktu itu, Riska yang hendak menerima mendadak lari ke kamar mandi. "Apa jangan-jangan ....?" Dan salah satu di antara mereka ha
"Kau yakin mereka tidak meminta syarat apapun padamu?" Seno masih kurang percaya jika Alex melepaskannya begitu saja. Ia pikir Alex akan langsung menjebloskan pria itu ke dalam penjara, lalu menyeret satu-persatu hingga semua yang terlibat dalam masalah ini akan berakhir di balik jeruji besi. Namun dugaannya salah besar tatkala melihat orang kepercayaannya itu di bebaskan dengan mudah. "Tidak, Tuan. Sungguh, saya merasa beruntung karena tidak di bawa ke kantor polisi." Pria itu senang sekali. Padahal sebelumnya ia sudah ketakutan, bagaimana kalau lelaki bernama Alex itu membunuhnya, atau yang paling ringan menjebloskannya ke penjara, ia tidak tahu lagi seperti apa nasib keluarganya nanti. Bersyukur sekali itu hanya ketakutannya saja. Namun tidak dengan Seno, ia masih memutar keras otaknya, mencoba menebak rencana yang Alex sembunyikan. "Apa mereka juga tidak menyakitimu? Maksudnya tidak mengahajarmu, kan?" tanya Seno sekali lagi, lantas pandangannya meneliti tubuh pria itu yang meman