Share

Ancaman Reta

"Fatur. Apa kamu baik-baik saja?" tanya Papa lagi.

"I–iya, Pa. Nanti aku cari dulu ya. Soalnya, aku nggak tahu di mana Luna menyimpan kalungnya," jawabku gelagapan.

"Sudahlah, Pa. Kita ngurusin masalah begituannya nanti saja. Kita ini masih dalam keadaan berkabung," sambung Mama membuat diri ini sedikit bernapas lega.

"Betul juga, Mas Atmojo. Sementara kita fokus dulu sama kesehatan cucu kita." Bunda ikut menimpali.

"Betul juga apa yang kalian ucapkan. Kita urus masalah peninggalan Luna nanti setelah tujuh harian dia."

"Yasudah, sekarang kita ke rumah sakit dulu. Kasihan dedek bayi sendirian di sana." Mama dan Bunda berdiri, diikuti oleh Papa kemudian mereka segera pamit pulang.

"Mas, ini kunci rumahnya. Aku juga permisi pulang!" Lani menyodorkan kunci rumah dengan bandul bentuk hati, berukiran hurf L dan F.

Ah, Luna agak sedikit berlebihan. Gantungan kunci saja sampai dia ukir inisial nama kami.

Rumah terasa sunyi ketika semua anggota keluarga pergi membesuk putriku. Aku duduk sendiri di bibir ranjang, menatap ke luar jendela memandangi hamparan bunga yang tertata rapi di taman. Luna memang paling suka dengan segala jenis bunga, terutama mawar putih.

Dua buah amplop tergeletak di atas meja. Entah surat apa aku tidak tahu. Tapi sepertinya tagihan pembayaran listrik, sebab ada logo PLN di sampulnya. Mungkin itu tagihan yang belum sempat Luna bayar, sebab aku belum memberi dia uang jatah bulan ini.

Penasaran kubuka amplop tersebut. Dadaku terasa sesak melihat jumlah tagihan yang harus dibayar, karena jumlahnya hampir dua juta rupiah.

Di rumah kami memang ada tiga kamar dan semuanya difasilitasi dengan air conditioner. Pun dengan ruang tamu serta ruang keluarga. Jadi wajar jika tagihan listrik selalu membengkak. Tapi, kenapa Luna tidak pernah mengeluhkan hal ini?

Ah, mungkin setiap bulannya dia meminta sejumlah uang kepada Papa, untuk menutupi segala kebutuhan rumah tangga kami. Dia kan anak orang berada. Jadi, Papa tidak mungkin tidak memberi jika Luna meminta.

Hari kian beranjak siang. Perut ini juga terasa lapar karena sejak pagi belum terisi makanan sama sekali. Mungkin di dalam lemari es ada persediaan makanan. Luna kan hobi masak. Pasti dia punya banyak stok makanan di dalam kulkas.

Alisku bertaut dengan mimik terheran-heran melihat isi lemari pendingin. Kosong. Hanya ada dua butir telur.

Saat sedang mencari pisau untuk mengupas bawang, mataku menyipit melihat sebuah buku kecil tergeletak diantara tumpukan sendok. Mungkin itu buku resep, atau catatan belanja Luna selama ini.

Lagi, rasa penasaran mendorongku untuk membuka buku bersampul kuning tersebut, yang ternyata isinya catatan belanja yang membuat nyeri dada ini saat membaca satu demi satu barisan angka serta menu yang selalu dia hidangkan.

Mataku memanas. Dua bulir air bening mengalir begitu saja melewati pipi hingga menetes di dada.

Jadi, selama ini dia menghidangkan makanan enak hanya untukku. Sementara dia, hanya memakan santapan seadanya, seperti tahu atau tempe demi menekan pengeluaran karena nafkah yang aku beri hanya cukup untuk membayar tagihan listrik dan pembayaran lainnya.

Luna. Pulang sayang. Tolong kembali. Beri aku kesempatan untuk menebus segala kesalahan yang pernah aku perbuat.

Aku menangis tersedu sendiri di dapur. Rasa lapar menghilang seketika, saat mengingat wajah sendu Luna juga senyum yang terkembang saat nyawanya sudah tidak lagi dikandung badan.

Pantas saja dia terlihat bahagia ketika Tuhan telah memanggil. Pantas saja wajahnya berbinar ketika dia sudah tidak lagi bernyawa. Dia telah menang melawan kedzaliman. Dia sudah merdeka sebab bisa lepas dari cengkraman pria breng-sek seperti aku.

Beranjak dari kursi, kembali masuk ke dalam kamar mencari apa saja peninggalan Luna yang masih tersimpan. Kosong. Tidak ada apapun di dalam lemari maupun laci. Bahkan, perhiasan yang dulu Mama hadiahkan saat kami baru saja menikah sudah tidak ada.

Apa mungkin Luna menjual semua barang berharga miliknya, ataukah, ada yang mengambil?

Ah, sepertinya tidak. Siapa yang mau mengambil barang-barang di rumah ini. Di sini tidak ada orang lain selain keluarga. Lani pun tidak mungkin berani masuk ke dalam kamar.

Lagian, untuk apa dia mencuri. Bisnis online yang dia tekuni juga beromset puluhan juta setiap bulannya. Kalaupun tidak punya bisnis, dia bisa meminta apa saja kepada Papa.

Aku kembali membuka lemari pakaian Luna. Hatiku mencelos hingga ke dasar melihat hanya ada beberapa baju yang tergantung di dalam sana, dan itupun baju yang dia bawa ketika kami baru saja menempati rumah ini.

"Kamu nggak bosen pake baju itu-itu melulu, Lun. Lagi-lagi pake gamis, lagi-lagi pake kaos belel. Modis sedikit, kek. Pakai baju yang bagus, biar enak dipandang mata!" Sungutku saat pulang kerja dan melihat dia berpakaian kumal.

"Yang penting kan nyaman dipakainya, Mas. Kalau mau aku kelihatan modis ya beliin yang baru." Jawabnya seraya mengambil tas kerjaku kemudian membantuku melepas sepatu.

Aku memang selalu menyuruh dia membukan sepatu juga pakaian yang sedang aku kenakan, menyiapkan segala perlengkapan dengan sempurna. Tidak boleh ada sedikit pun kesalahan, atau tangan ini akan melayang dan mendarat di wajahnya.

Seperti saat ia sedang hamil muda. Dia begitu malas, pagi-pagi sudah berbaring di sofa dengan alasan lemas juga pusing. Dia lupa menyetrika kemeja kerjaku, padalah jarum jam sudah menunjuk ke angka tujuh pagi. Hingga akhirnya sebuah tinju mendarat di pipi kirinya dan meninggalkan luka lebam di sana.

Luna menangis tersedu di pojokkan kamar. Dia minta aku menceraikannya tetapi tidak kuhiraukan. Enak saja minta pisah. Siapa yang akan menjamin hidupku juga Reta jika kami sampai bercerai.

Apalagi, percetakan milik Ayah yang katanya akan diwariskan kepadaku masih atas nama Bunda. Dia belum memberiku Kepercayaan memegang usaha peninggalan keluarga, dan lebih mempercayai Diva adik perempuanku.

Aku kembali memilah satu persatu baju milik Luna yang berada di dalam lemari. Semuanya model lama. Tidak ada yang baru sama sekali, hanya ada satu potong baju yang aku belikan selama kami menikah, itu pun karena saat itu ada acara ulang tahun perusahaan, sehingga terpaksa merogoh kocek terlalu dalam untuk membelikan dia pakaian.

Memantas diri di depan cermin, memandangi wajah juga semua pakaian yang aku kenakan. Jam limited edition dengan harga sepuluh kali lipat dari uang nafkah yang aku berikan kepada Luna, baju-baju bermerek yang harganya lebih mahal dari tagihan listrik selama satu bulan. Sepatu serta sendal branded dengan harga fantastis, dan semuanya aku beli menggunakan uang yang seharusnya digunakan oleh Luna.

Betapa dzolimnya aku terhadap istriku selama ini, karena lebih mementingkan penampilanku sendiri tanpa memikirkan kebahagiaan Luna.

Aroma wangi vanila tiba-tiba menguar memenuhi seluruh penjuru ruangan. Bau wangi Luna yang dulu selalu aku benci. Minyak wangi seharga tiga puluh ribu yang dia beli di toko parfum depan komplek, sebab aku tidak pernah membelikan dia minyak wangi mahal seperti yang selalu aku hadiahkan untuk Reta.

Tapi kenapa semua balasannya malah seperti ini. Reta berkhianat. Berbagi tubuh dengan laki-laki lain.

Oh, kenapa baru ingat sekarang.

Aku harus memastikan apakah Reta dan selingkuhannya benar-benar pergi ataukah masih tinggal di rumah pemberianku. Akan aku beri pelajaran dua insan tidak bermoral itu jika mereka masih tinggal bersama.

Api cemburu kembali menyala-nyala. Bayangan Reta sedang berlayar dalam samudera dosa kembali melintas dalam ingatan. Aku mencengkram kemudi dengan erat, merasakan sakit hati yang begitu dahsyat.

Mobil kembali aku tepikan di depan pintu pagar rumah berlantai dua, dengan pilar-pilar tinggi menjulang bergaya Eropa klasik. Rumah yang aku beli dari uang hasil mencatut di perusahaan. Semua itu aku lakukan demi pembuktian cintaku terhadap Reta. Supaya dia percaya kalau aku memang serius ingin menjadikan dia pendamping hidup, walaupun harus menjadi yang kedua.

Lagi, pintu garasi tidak dikunci. Pasti Reta masih ada di dalam. Aku harus segera menemuinya dan menyuruh dia untuk pergi dari rumah ini.

"Reta! Margareta! Di mana kamu?!" teriakku dari ambang pintu.

Hening. Tidak ada satu orang pun yang menjawab panggilanku.

Aku berjalan masuk, menaiki tangga menuju lantai atas, ingin melihat dia di kamar.

"Mas, kamu kembali?" Reta yang sedang berbaring santai di atas tempat tidur, langsung beranjak menghampiri ketika aku membuka pintu.

"Kenapa kamu masih berada di sini, hah?!" sentakku meradang.

"Mas. Tolong jangan marah-marah seperti itu sama aku. Aku minta maaf. Aku khilaf. Aku janji tidak akan mengulanginya lagi. Tolong jangan usir aku dari rumah ini. Kalau kamu mengusirku dari tempat ini, aku akan tinggal di mana?" Dia terus saja memohon dengan wajah memelas.

Namun, bukannya kasihan. Emosiku malah kian meninggi dan sulit terkendali ketika melihat leher serta dada wanita itu penuh dengan tanda merah. Padahal ketika aku memergoki tidak ada ruam-ruam kecil di sana. Berarti mereka melanjutkan aksi mereka setelah aku pergi meninggalkan rumah ini.

Plak!

Kini rasa panas sekaligus perih menjalar di telapak tangan. Jejak tamparan tergambar jelas di pipi mulus istri keduaku. Perempuan yang selalu aku nomer satukan, yang terus saja aku manjakan hingga lalai dengan kewajiban sesungguhnya.

"Kenapa kamu menampar aku, Mas?" Reta mendorong kasar.

Dengan brutal ia menunggangi tubuhku, mencakar wajah hingga terasa perih karena dia memang selalu memanjangkan kuku.

"Kamu boleh mencaci. Tapi aku tidak terima kalau sampai kamu bermain kasar kepadaku!" teriaknya melengking.

Wajah putihnya berubah menjadi merah menyeramkan. Ditambah lagi rambutnya yang acak-acakan, menambah buruk tampak wajahnya saat ini.

"Berhenti, Margareta Zaskia. Atau kamu aku talak sekarang juga!" sengitku tidak mau kalah.

Tubuh Reta meluruh di lantai. Dia menangis tersedu membuat diri ini sedikit merasa tidak tega. Tapi aku yakin itu hanya air mata buaya. Dia itu jago akting. Aku saja sampai tertipu dengan sandiwara yang selalu dimainkan. Mulut wanita itu begitu manis dan sangat pandai bermain lidah.

"Mana kunci mobil dan BPKB?" tanyaku seraya menodongkan tangan.

"U–untuk apa, Mas?" Reta menatapaku dengan mimik heran.

"Mau aku jual. Papa nanyain kalung berlian Luna, karena saat membelikan mobil untuk kamu aku bilang sama Papa kalau uang itu aku belikan kalung untuk hadiah kahamilan Luna."

"Itu bukan urusan aku, Mas. Mobil itu punya aku. Kamu sudah memberikannya. Apa kamu nggak malu meminta kembali barang yang sudah kamu berikan kepada istri kamu?" Dia bangkit sambil melipat tangan di depan dada.

"Cepat berikan!!" Meninggikan nada bicara beberapa beberapa oktaf, tidak perduli dengan air mata yang kembali luruh.

"Kamu jangan macam-macam sama aku, Mas. Atau nanti aku akan membongkar rahasia tentang pernikahan kita kepada papa mertua kamu, dan juga perlakuan kamu selama ini kepada Luna!"

Sialan! Beraninya dia malah mengancamku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status