Setelah tamunya pergi, dengan kasar Atmojo membanting badan di atas sofa. Memijat kepala yang terasa berdenyut nyeri, sambil mencoba meredam emosi yang kian meninggi.
'Fatur. Semua penyebabnya adalah Fatur. Kalau dia tidak melecehkan Lani, mungkin semua tidak akan seperti ini. Sialan. Kurang ajar memang itu anak!" Atmojo kembali meninju meja, tidak memperdulikan punggung tangannya yang terasa nyeri serta memar.Dengan amarah yang kian membuncah dia keluar dari rumah. Meminta supir pribadinya untuk mengantar dia ke kantor polisi, ingin memberi pelajaran kepada menantunya yang perlahan mulai dia benci.Sepanjang jalan umpatan-umpatan terhadap Fatur terus saja meluncur dari mulut Atmojo. Rasanya hanya dengan mengumpat saja dia belum merasa puas. Ingin memberikan pelajaran lebih kepada suami mendiang anak sulungnya, supaya tidak lagi berulah serta membuat hidupnya menjadi susah.Mobil sedan berwarna putih menepi di parkiran sebuah kantor polisi. Atmoj"Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un!" ucapku gemetar, saat mendengar kabar kalau Luna istriku baru saja menghembuskan napas terakhirnya di rumah sakit, hingga tanpa sadar, ponsel yang ada di genggaman jatuh ke lantai."Siapa yang meninggal, Mas?" tanya Reta sambil mengenakan pakaian."Lu–Luna," jawabku tergagap."Baguslah kalau begitu. Jadi sekarang tidak ada lagi penghalang cinta kita." Dia terlihat begitu bahagia mendengar kabar kematian istriku."Kamu mau ke mana?" Dia mencekal lenganku saat beranjak dari tempat tidur."Mau pulang." "Sudah biarkan saja, Mas. Dia kan sudah mati. Bukannya kamu sendiri yang selalu bilang, kalau kamu menginginkan kepergiannya, karena kamu sangat membenci dia!"Aku menghela napas berat. Memang aku menginginkan dia pergi, tapi bukan untuk selamanya. Apalagi keadaan dia sedang mengandung. Bagaimana kabar anakku jika ibunya telah pergi meninggalkan dunia ini.Ya Tuhan...Dengan langkah gontai menuruni tangga, keluar dari rumah Reta–istri keduaku dan leka
Aku menggengam erat kertas tersebut. Mengapa rasanya sesakit ini setelah mengetahui bahwa sebenarnya Luna tahu aku telah mengkhianati pernikahan kami? Tapi. Kenapa dia selalu diam. Terbuat dari apa hatinya sehingga bisa kuat menghadapi kenyataan kalau sang suami telah mendua. Dia tidak marah ataupun menegur. Dia tetap membisu. Menikmati lukanya sendiri tanpa ada satu orang pun yang tahu. Ting!Melirik gawai, mendengar sebuah notifikasi pesan whatsapp masuk. Sepertinya dari Reta. Ada apa? Apa dia akan memintaku untuk pulang malam ini?[Mas. Acting kamu tadi bagus banget. Aku suka.] Aku tidak sedang bersandiwara, Reta. Tetapi benar-benar menangis karena merasa kehilangan Luna. [Kamu pulang gak? Kalau nggak pulang transfer aku dua puluh juta ya. Mau jalan-jalan sama temen.] Menghela napas panjang, membaca pesan kedua Reta. Dia memang selalu meminta uang dalam jumlah banyak, dan entah kemana uang yang selama ini aku berikan. Di kartu ATMnya tidak pernah ada saldo yang tersisa. Dia se
Menggengam handle pintu, memutarnya perlahan dan ternyata pintu dikunci dari dalam. Suara-suara aneh itu makin terdengar nyaring membuat diri ini semakin penasaran dibuatnya. Kugerak-gerakkan gagang pintu dengan sekuat tenaga, hingga akhirnya suara riuh di dalam sana mereda."Lagi ngapain, Mas?" Berjingkat kaget ketika tiba-tiba Reta sudah berdiri di belakangku."Tadi ada suara aneh di dalam. Seperti orang sedang bercinta. Tapi pintunya dikunci dari dalam!" jawabku sembari menelisik tubuh reta yang terlihat agak berantakan, juga keringat membasahi sekujur tubuhnya."Mobil siapa di depan, Ta. Apa kamu menerima tamu orang asing ketika aku tidak ada?" Menatap menyelidik."Te–temen, Mas. Dia datang bersama pacarnya ke sini. Mereka ada di dalam kamar. Mungkin tadi suara mereka berdua lagi gitu-gituan." Dia menyahut gelagapan. Seperti ada yang sedang dia sembunyikan dariku."Kamu kenapa keringetan begitu. Memangnya AC kamar kita mati?""Habis olah raga malam, Mas. Tadi nggak bisa tidur kare
Dari kejauhan, aku melihat Reta menutup rapat pintu rumah. Membuat api cemburu di hati kian menyala-nyala, ingin segera menghampiri juga memberi pelajaran kepada mereka berdua.Dengan emosi sudah meluap-luap berjalan mengendap masuk. Reta memang selalu ceroboh. Tidak pernah mengunci pintu garasi. Memutar knop pintu, berjalan mengendap masuk mencari mereka berdua di kamar tamu. Kosong. Dengan dada bergemuruh hebat menaiki tangga menuju kamar utama, mencoba membuka pintu tetapi dikunci dari dalam. Aku tidak mau mengetuk atau memanggil. Ingin memergoki apa yang sedang mereka lakukan, supaya bisa mengambil tindakan tegas kepada keduanya.Dengan dibantu satpam komplek aku mendobrak pintu kamar utama. Aku sengaja meminta scurity untuk membantu, karena tenaga ini tidak terlalu kuat. Mataku seketika memanas. Terlebih lagi hati yang seperti sedang dicacah-cacah, melihat adegan menjijikkan yang sedang mereka lakukan di tempat peraduan kami. Aku tidak menyangka kalau ternyata Reta sudah berb
"Fatur. Apa kamu baik-baik saja?" tanya Papa lagi."I–iya, Pa. Nanti aku cari dulu ya. Soalnya, aku nggak tahu di mana Luna menyimpan kalungnya," jawabku gelagapan."Sudahlah, Pa. Kita ngurusin masalah begituannya nanti saja. Kita ini masih dalam keadaan berkabung," sambung Mama membuat diri ini sedikit bernapas lega."Betul juga, Mas Atmojo. Sementara kita fokus dulu sama kesehatan cucu kita." Bunda ikut menimpali."Betul juga apa yang kalian ucapkan. Kita urus masalah peninggalan Luna nanti setelah tujuh harian dia." "Yasudah, sekarang kita ke rumah sakit dulu. Kasihan dedek bayi sendirian di sana." Mama dan Bunda berdiri, diikuti oleh Papa kemudian mereka segera pamit pulang."Mas, ini kunci rumahnya. Aku juga permisi pulang!" Lani menyodorkan kunci rumah dengan bandul bentuk hati, berukiran hurf L dan F. Ah, Luna agak sedikit berlebihan. Gantungan kunci saja sampai dia ukir inisial nama kami.Rumah terasa sunyi ketika semua anggota keluarga pergi membesuk putriku. Aku duduk se
"Kamu berani mengancam?" Mencengkram rahangnya sekuat tenaga, hingga dia meringis kesakitan."Kalau kamu berani mengadukan perbuatanku selama ini kepada papanya Luna, aku akan menjatuhkan talak tigaku kepada kamu, Reta!" Aku mengancam balik."Sakit, Mas!" pekiknya seraya menitikkan air mata.Aku melepaskan cengkraman kemudian mencari buku pemilik kendaraan bermotor itu di laci lemari juga meja rias. Kosong. Tidak menemukan apa-apa di dalam sana, hanya ada beberapa kotak kontrasepsi yang dia simpan. Satu lagi rahasia Reta terbongkar. Ternyata selama ini dia tidak hanya berbagi raga dengan pria yang kemarin sedang bersamanya, melainkan dengan banyak laki-laki. Terbukti dengan penemuan kontrasepsi di laci lemari, dan selama ini aku tidak pernah menggunakan benda seperti itu saat tubuh kami menyatu. Sesal tiada bertepi karena sudah menyia-nyiakan berlian hanya demi serpihan kaca, yang diam-diam menusuk juga melukai."Di mana kamu simpan BPKB itu, Reta?!" sentakku seraya menatap sinis waj
Membuka mata perlahan, mengerjap-ngerjap, menyesuaikan cahaya yang terasa begitu menyilaukan mata. Terus mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan bernuansa serba putih, dengan bau khas obat-obatan. Seulas senyum tergambar di bibir Bunda yang dipoles lipstik berwarna merah menyala, dengan mata menatap sendu wajah ini."Kamu sudah bangun, Tur?" tanya Bunda seraya mengusap lembut rambutku."Kenapa aku ada di rumah sakit, Bun?" Aku balik bertanya, menatap wanita yang telah melahirkanku tiga puluh tahun yang lalu dengan mimik bingung."Tadi Sultan dan Lani yang membawa kamu ke rumah sakit. Katanya kamu pingsan di pemakaman." Terang Bunda, mata bulat dengan bulu mata lentik tersebut tidak lepas dari wajahku."Luna mana, Bun. Tadi aku lihat dia sedang tidur di sana. Dia marah sama aku, Bun. Dia nggak mau maafin aku!" Menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari keberadaan Luna, siapa tahu dia ikut mengantar ke rumah sakit.Kosong. Hanya ada Bunda di ruangan ini yang menemani. Sepertinya dia benar-b
"Nanti juga pasti aku akan menikahi kamu, Ta. Kamu yang sabar. Tunggu saja tanggal mainnya!" Mencolek pipi tirusnya, mendaratkan ciuman lalu kembali melayang mengarungi lautan dosa bersama.Ponsel di atas nakas terus saja menjerit-jerit. Ada panggilan masuk, mengganggu aktivitas yang sedang aku lakukan bersama Reta. Aku mengabaikan panggilan itu karena pasti Luna yang menghubungi. Dia kan overprotektif. Kemanapun aku pergi, pasti selalu dicari-cari.Setelah selesai menyalurkan hasrat biologis kepada Reta dan mentransfer sejumlah uang kepadanya, gegas aku pulang karena hari sudah cukup malam. Aku tidak mau Luna curiga kalau aku memiliki wanita lain yang bisa memuaskanku diluaran. Bisa mengadu sama Papa dan semua fasilitas bisa dicabut oleh lelaki tua itu. Aku tidak mau. Reta pasti tidak akan mau lagi menjalin hubungan dengan diri ini, kalau aku tidak memiliki uang.Membuka pintu rumah, disambut oleh Luna dengan penampilan seksi, menggunakan lingerie merah muda serta dandanan cantik wa