Menggengam handle pintu, memutarnya perlahan dan ternyata pintu dikunci dari dalam. Suara-suara aneh itu makin terdengar nyaring membuat diri ini semakin penasaran dibuatnya. Kugerak-gerakkan gagang pintu dengan sekuat tenaga, hingga akhirnya suara riuh di dalam sana mereda.
"Lagi ngapain, Mas?" Berjingkat kaget ketika tiba-tiba Reta sudah berdiri di belakangku. "Tadi ada suara aneh di dalam. Seperti orang sedang bercinta. Tapi pintunya dikunci dari dalam!" jawabku sembari menelisik tubuh reta yang terlihat agak berantakan, juga keringat membasahi sekujur tubuhnya. "Mobil siapa di depan, Ta. Apa kamu menerima tamu orang asing ketika aku tidak ada?" Menatap menyelidik. "Te–temen, Mas. Dia datang bersama pacarnya ke sini. Mereka ada di dalam kamar. Mungkin tadi suara mereka berdua lagi gitu-gituan." Dia menyahut gelagapan. Seperti ada yang sedang dia sembunyikan dariku. "Kamu kenapa keringetan begitu. Memangnya AC kamar kita mati?" "Habis olah raga malam, Mas. Tadi nggak bisa tidur karena nggak ada kamu di sini!" Dia melingkarkan tangan di pinggang. Tapi, kenapa tubuh perempuan ini bau sekali rokok. Padahal setahuku di dalam rumah ini tidak ada yang merokok. Pun dengan diriku. Dia juga kenapa tiba-tiba rajin olahraga. Bukannya Reta itu begitu malas mengolah fisik, apalagi sudah tengah malam seperti ini. Ah, sudahlah. Tubuhku terlalu lelah untuk memikirkan hal tidak penting seperti itu. Menghempaskan bobot di atas kasur, membenamkan tubuh yang terasa menggigil ke dalam selimut. Rasa kantuk yang sudah tidak bisa aku tahan membuat diriku langsung terlelap, hingga mengabaikan Reta yang terus saja menggoda. *** Mentari pagi menerobos masuk melalui celah-celah tirai yang sedikit terbuka. Suara nyanyian burung terdengar nyaring, membangunkanku dari tidur lelap. Menggeser tangan ke samping, ternyata Reta sudah terlebih dahulu bangun. Tumben. Biasanya dia baru akan membuka mata jika jarum pendek jam sudah menunjuk ke angka sepuluh pagi. Pelan-pelan turun dari tempat tidur, mematikan air conditioner kemudian masuk ke dalam kamar mandi membasuh tubuh yang terasa kaku. Guyuran air hangat yang menimpa kulit membuatku sedikit tenang, sesaat bisa melupakan segala duka yang menelusup ke dalam relung sukma. Sial. Aku lupa membawa handuk. Tidak mungkinkan keluar dari toilet dengan keadaan seperti ini. Luna bagaimana, sih. Kenapa dia sampai lupa menyiapkan handuk di kamar mandi. "Luna...Lun. Mana handuknya?!" teriakku dari dalam kamar mandi seperti biasa. Hening. Kenapa Luna lama sekali? Dasar lamban! Mendengus kesal, berteriak sekali lagi dan dia tidak kunjung muncul. "Luna!" Kali ini lebih mengeraskan nada bicara. Pintu terkuak lebar. Sesosok wanita dengan dress mini berkacak pinggang di muka pintu, menatap nyalang ke arahku sambil mengomel. Kenapa malah Reta yang datang. Padahal, aku memanggil Luna. "Ada apa sih, Mas? Pagi-pagi sudah teriak-teriak manggilin Luna. Dia sudah mati!" sungutnya sembari menyilangkan tangan di dada. "Mau minta tolong ambil handuk, Ta. Mas tadi lupa bawa," jawabku lemas, kembali merasa ada yang sedang menyayat-nyayat hati ini. "Kan kamu punya kaki, punya tangan, tinggal jalan sebentar ke lemari, kenapa harus manggil-manggil orang yang sudah mati!" Dia terus saja marah-marah. Mungkin cemburu karena aku menyebut nama Luna di depannya. "Nanti lantainya basah, Ta. Lagian, biasakan setiap Mas mandi Luna selalu menyiapkan perlengkapan Mas, dari A sampai Z." "Terus saja sebut-sebut nama Luna!" Reta masih saja bersungut-sungut. Ia lalu beranjak pergi, mengambil handuk milikku kemudian melemparkannya begitu saja ke tubuh ini. Ya Tuhan. Luna tidak pernah berbuat seperti itu kepadaku. Dia selalu sopan, menghargaiku juga tidak pernah meninggikan nada bicara di depan suami. Dia selalu lemah lembut. Berbanding terbalik dengan Reta yang selalu marah-marah dan tidak pernah mau menyiapkan segala keperluanku. Membuka lemari perlahan, mengambil kemeja kerja juga celana panjang. "Sini, Mas biar aku bantu kancingkan baju sama pakaikan dasi." Luna selalu menghampiri dan membantuku tanpa aku minta, walaupun jujur aku sangat benci jika dia melakukan hal itu kepadaku. Tapi, kenapa sekarang aku jadi rindu? Tuhan. Jangan siksa aku dengan perasaan seperti ini. Aku tidak sanggup. Selesai berpakaian rapi, gegas diriku turun ke lantai bawah karena perut sudah terasa sangat lapar. Pasti Reta sudah menyiapkan makanan untukku. Dan ketika membuka tudung saji, hanya ada piring kosong yang teronggok di atas meja. Tidak ada makanan sedikit pun, apalagi teh hangat seperti yang biasanya Luna siapkan. "Reta, Sayang...," panggilku selembut mungkin. Reta yang masih terlihat kesal menghampiri dengan wajah masam. Dia lalu membanting bokong dengan kasar di kursi, menopang dagunya dengan telapak tangan sambil menggerutu. Harusnya aku yang menggerutu karena sudah sesiang ini tapi belum ada makanan yang terhidang di meja makan. "Kenapa tidak ada sarapan, sayang?" Aku bertanya dengan tatapan tidak lepas dari wajahnya. "Sarapan di kantor saja, Mas. Jam segini mana ada makanan lewat. Kalau nunggu delivery online juga suka lama." "Ya sudah. Besok-besok kalo Mas lagi main ke sini, jangan lupa masak buat, Mas. Biar Mas betah tinggal di sini." "Memangnya kamu mau pulang ke rumah kamu yang lama lagi? Kenapa tidak tinggal di sini saja. Kan Luna sudah nggak ada. Dia Sudah mati. Kenapa musti pulang ke rumah dia?" "Luna belum mati, Reta. Dia masih hidup. Dia hanya sedang tidur. Kalau kamu membencinya dan merasa tersaingi, kamu seharusnya bisa dong jadi seperti dia. Bisa masak, mau menyiapkan semua keperluan suami, bukan hanya merongrong uangnya saja!" Menggebrak meja, meninggikan nada suara beberapa oktaf hingga membuat mata wanita yang ada di hadapanku langsung terlihat berkaca-kaca. Kilat ketakutan tergambar jelas di wajah cantik Reta, membuat aku tidak tega. Menguyar rambut frustasi karena terus saja memikirkan Luna. Belum ikhlas kehilangan dia, juga selalu merasa kalau dia masih ada. Rasa ini benar-benar menyiksa. "Maaf, Reta. Mas tidak bermaksud membentak kamu. Mas hanya sedang frustasi dan sedih karena kehilangan Luna." Lirih aku berujar, meraup wajah mengusap air mata yang lolos begitu saja tanpa permisi. "Kamu berubah, Mas. Kamu nggak cinta lagi sama aku." Dia terisak sambil menunduk. "Sekali lagi Mas minta maaf. Mas tidak akan mengulanginya lagi." Menggengam erat jemari reta, mencium punggung tangannya penuh dengan penyesalan. "Oke. Aku nggak bakalan marah, asal Mas beliin aku mobil baru. Bosan pake mobil yang lama. Sudah nggak enak dipake. Mobil yang lama mau aku kasih ke temen. Kasihan dia nggak ada kendaraan." Aku mengambil napas berat. Setiap kali merajuk pasti ada saja yang dia minta. Berbeda dengan Luna, dia akan selalu meminta maaf walaupun sebenarnya akulah yang membuat kesalahan. Seperti langit dan bumi perbedaannya. Astaga... Kenapa baru sekarang aku merasakan perbedaan itu. Kenapa tidak dari dulu ketika Luna masih ada, supaya bisa memperbaiki diri dan menjaga keutuhan rumah tangga yang telah kami bina. "Gimana, Mas?" Dia melingkarkan tangan di pinggang. "Nanti aku pikir-pikir dulu. Soalnya perusahaan sedang pailit. Aku nggak bisa mengeluarkan uang begitu saja, karena pasti Papa akan curiga. Sekarang sudah tidak ada alasan lagi untuk menggunakan uang perusahaan dengan jumlah yang banyak. Kalau dulu kan masih ada Luna. Jadi, aku masih bisa memberi alasan Papa kalau dia menginginkan sesuatu," terangku panjang lebar. "Pokoknya aku mau mobil baru. Kalau kamu nggak beliin, aku bakalan pulang ke rumah orang tua aku!" Reta menghentakkan kaki di permukaan lantai, persis seperti bocah yang sedang merajuk. "Jangan merajuk seperti itu. Nanti juga Mas beliin." Mencium puncak kepalanya dan segera pamit ke kantor. Lagi, mataku memicing ketika melihat tanda merah di leher istri siriku. Jejak gigitan manusia yang tidak pernah aku lakukan di area itu, sebab lebih suka melakukannya di tempat yang tertutup. Tidak malu jika dilihat oleh orang. "Sudah siang, Mas. Ayo jalan. Nanti kalau terlambat masuk ke kantor, bisa dimarahi sama Papa mertua kamu." Dia mendorong tubuhku perlahan, menyuruhku segera berangkat untuk bekerja. Menyambar kunci, membuka pintu mobil lalu segera masuk ke dalam kendaraan roda empat tersebut dan menyalakan mesinya membawanya menjauh dari pekarangan rumah. Karena penasaran aku menepikan mobilku beberapa ratus meter dari istana tempat tinggalku bersama Reta, ingin tahu kenapa dia menginginkan aku cepat-cepat pergi. Sebuah mobil berwarna silver yang semalam terparkir kembali masuk ke halaman. Reta tampak menyambut sang pemilik mobil dengan ramah, mengandeng mesra laki-laki berperawakan kurus itu masuk ke dalam rumah. Lamat-lamat aku melihat dia mencium mesra pipi istriku, membuat dadaku terasa panas, bagai ada api yang sedang berkobar dan siap menghanguskan. Awas saja kalian berdua!Dari kejauhan, aku melihat Reta menutup rapat pintu rumah. Membuat api cemburu di hati kian menyala-nyala, ingin segera menghampiri juga memberi pelajaran kepada mereka berdua.Dengan emosi sudah meluap-luap berjalan mengendap masuk. Reta memang selalu ceroboh. Tidak pernah mengunci pintu garasi. Memutar knop pintu, berjalan mengendap masuk mencari mereka berdua di kamar tamu. Kosong. Dengan dada bergemuruh hebat menaiki tangga menuju kamar utama, mencoba membuka pintu tetapi dikunci dari dalam. Aku tidak mau mengetuk atau memanggil. Ingin memergoki apa yang sedang mereka lakukan, supaya bisa mengambil tindakan tegas kepada keduanya.Dengan dibantu satpam komplek aku mendobrak pintu kamar utama. Aku sengaja meminta scurity untuk membantu, karena tenaga ini tidak terlalu kuat. Mataku seketika memanas. Terlebih lagi hati yang seperti sedang dicacah-cacah, melihat adegan menjijikkan yang sedang mereka lakukan di tempat peraduan kami. Aku tidak menyangka kalau ternyata Reta sudah berb
"Fatur. Apa kamu baik-baik saja?" tanya Papa lagi."I–iya, Pa. Nanti aku cari dulu ya. Soalnya, aku nggak tahu di mana Luna menyimpan kalungnya," jawabku gelagapan."Sudahlah, Pa. Kita ngurusin masalah begituannya nanti saja. Kita ini masih dalam keadaan berkabung," sambung Mama membuat diri ini sedikit bernapas lega."Betul juga, Mas Atmojo. Sementara kita fokus dulu sama kesehatan cucu kita." Bunda ikut menimpali."Betul juga apa yang kalian ucapkan. Kita urus masalah peninggalan Luna nanti setelah tujuh harian dia." "Yasudah, sekarang kita ke rumah sakit dulu. Kasihan dedek bayi sendirian di sana." Mama dan Bunda berdiri, diikuti oleh Papa kemudian mereka segera pamit pulang."Mas, ini kunci rumahnya. Aku juga permisi pulang!" Lani menyodorkan kunci rumah dengan bandul bentuk hati, berukiran hurf L dan F. Ah, Luna agak sedikit berlebihan. Gantungan kunci saja sampai dia ukir inisial nama kami.Rumah terasa sunyi ketika semua anggota keluarga pergi membesuk putriku. Aku duduk se
"Kamu berani mengancam?" Mencengkram rahangnya sekuat tenaga, hingga dia meringis kesakitan."Kalau kamu berani mengadukan perbuatanku selama ini kepada papanya Luna, aku akan menjatuhkan talak tigaku kepada kamu, Reta!" Aku mengancam balik."Sakit, Mas!" pekiknya seraya menitikkan air mata.Aku melepaskan cengkraman kemudian mencari buku pemilik kendaraan bermotor itu di laci lemari juga meja rias. Kosong. Tidak menemukan apa-apa di dalam sana, hanya ada beberapa kotak kontrasepsi yang dia simpan. Satu lagi rahasia Reta terbongkar. Ternyata selama ini dia tidak hanya berbagi raga dengan pria yang kemarin sedang bersamanya, melainkan dengan banyak laki-laki. Terbukti dengan penemuan kontrasepsi di laci lemari, dan selama ini aku tidak pernah menggunakan benda seperti itu saat tubuh kami menyatu. Sesal tiada bertepi karena sudah menyia-nyiakan berlian hanya demi serpihan kaca, yang diam-diam menusuk juga melukai."Di mana kamu simpan BPKB itu, Reta?!" sentakku seraya menatap sinis waj
Membuka mata perlahan, mengerjap-ngerjap, menyesuaikan cahaya yang terasa begitu menyilaukan mata. Terus mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan bernuansa serba putih, dengan bau khas obat-obatan. Seulas senyum tergambar di bibir Bunda yang dipoles lipstik berwarna merah menyala, dengan mata menatap sendu wajah ini."Kamu sudah bangun, Tur?" tanya Bunda seraya mengusap lembut rambutku."Kenapa aku ada di rumah sakit, Bun?" Aku balik bertanya, menatap wanita yang telah melahirkanku tiga puluh tahun yang lalu dengan mimik bingung."Tadi Sultan dan Lani yang membawa kamu ke rumah sakit. Katanya kamu pingsan di pemakaman." Terang Bunda, mata bulat dengan bulu mata lentik tersebut tidak lepas dari wajahku."Luna mana, Bun. Tadi aku lihat dia sedang tidur di sana. Dia marah sama aku, Bun. Dia nggak mau maafin aku!" Menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari keberadaan Luna, siapa tahu dia ikut mengantar ke rumah sakit.Kosong. Hanya ada Bunda di ruangan ini yang menemani. Sepertinya dia benar-b
"Nanti juga pasti aku akan menikahi kamu, Ta. Kamu yang sabar. Tunggu saja tanggal mainnya!" Mencolek pipi tirusnya, mendaratkan ciuman lalu kembali melayang mengarungi lautan dosa bersama.Ponsel di atas nakas terus saja menjerit-jerit. Ada panggilan masuk, mengganggu aktivitas yang sedang aku lakukan bersama Reta. Aku mengabaikan panggilan itu karena pasti Luna yang menghubungi. Dia kan overprotektif. Kemanapun aku pergi, pasti selalu dicari-cari.Setelah selesai menyalurkan hasrat biologis kepada Reta dan mentransfer sejumlah uang kepadanya, gegas aku pulang karena hari sudah cukup malam. Aku tidak mau Luna curiga kalau aku memiliki wanita lain yang bisa memuaskanku diluaran. Bisa mengadu sama Papa dan semua fasilitas bisa dicabut oleh lelaki tua itu. Aku tidak mau. Reta pasti tidak akan mau lagi menjalin hubungan dengan diri ini, kalau aku tidak memiliki uang.Membuka pintu rumah, disambut oleh Luna dengan penampilan seksi, menggunakan lingerie merah muda serta dandanan cantik wa
"Mbak Suci. Tolong bawa Fatur keluar dari ruangan ini!" Titah Papa sambil menatap nanar ke arah tembok.Aku tahu dia sangat kecewa sekaligus murka. Aku akan terima hukuman ini, Papa."Baik, Mas Atmojo!" Tanpa mendebat Bunda langsung mendorong kursi rodaku keluar dari ruang NICU.Menoleh sekali lagi. Menatap peri kecilku yang belum jua membuka mata. Aku lihat bahu Papa bergerak naik turun. Sepertinya dia sedang menangis. 'Maafkan aku, Papa. Maaf karena sudah membuat Papa kecewa. Izinkan aku untuk menebus segala dosaku, dengan merawat serta membesarkan putriku.' Bergumam sendiri dalam hati, merasakan rasa bersalah yang selalu menyergap hati."Kamu yang sabar ya, Tur. Mungkin Papa mertua kamu sedang banyak pikiran. Makanya dia marah-marah seperti itu sama kamu." Dengan lembut Bunda mengusap bahuku.Ah, andai saja Bunda tahu kalau selama ini aku sudah jahat kepada menantunya. Kalau saja dia tahu kalau diriku telah menikahi Margareta, wanita yang paling Bunda tidak sukai di muka bumi ini.
"Maaf, Pak Ngadiman. Bapak tahu kan siapa saya? Saya ini menantunya Pak Atmojo. Saya manajer di perusahaan ini. Bapak jangan menghalangi saya masuk, atau nanti Bapak saya pecat!" Gertakku, akan tetapi tidak membuat lelaki berkulit gelap itu gentar. Dia terus saja menghalangi jalanku, bahkan menutup gerbang dan menguncinya dari dalam. Sial! Kenapa semuanya jadi seperti ini?"Sekali lagi saya minta maaf, Pak. Saya hanya menjalankan tugas dari Pak Bos. Kalau saya melanggar, saya takut dipecat." Pria berseragam serba hitam itu melenggang masuk dan kembali berjaga di pos satpam.Merogoh saku celana, mencoba menghubungi Papa ingin menuntut penjelasan darinya. Tersambung, tetapi tidak kunjung ada jawaban. Sepertinya Papa sengaja mengabaikan panggilanku.Dengan perasaan dongkol beranjak menjauh dari halaman kantor Papa, mencari ojek online berniat mengambil mobil yang dibawa Sultan untuk mengantar Lani. Takut dikuasai bocah itu jika lama-lama aku dibiarkan berada di rumah orang tuanya Luna.
Awas saja kalian. Aku akan membuat perhitungan kepada kalian semua. Aku pastikan, semua orang yang berani mengganggu hidupku juga mempermalukan aku akan menanggung akibatnya. Termasuk si Sultan yang sok tampan itu."Mari, silahkan masuk!" Ucap salah satu orang petugas sambil membukan pintu mobil untukku."Kalian pikir saya ini gila, hah?! Saya masih waras. Kenapa musti dibawa ke rumah sakit jiwa!" Sentakku seraya menepis tangan lelaki jangkung yang terus saja memegangi."Maaf, Pak. Saya hanya menuruti perintah Pak Atmojo."Lagi-lagi Papa biang keroknya.Mendengkus kesal, berjalan menjauhi mobil ambulance sambil menggerutu. Enak saja dibilang orang gila. Mereka mungkin yang gila. Gila harta. Sebab, semua yang aku miliki mereka ambil. Terlalu serakah Papa mertuaku memang.Lagi dan lagi, aku harus menelan pil kecewa karena perlakuan Papa. Tadi di kantor aku dipermalukan. Dicegat scurity dan tidak diperbolehkan masuk. Sekarang, ketik