Share

Tidak Sedang Bersandiwara

Aku menggengam erat kertas tersebut. Mengapa rasanya sesakit ini setelah mengetahui bahwa sebenarnya Luna tahu aku telah mengkhianati pernikahan kami?

Tapi. Kenapa dia selalu diam. Terbuat dari apa hatinya sehingga bisa kuat menghadapi kenyataan kalau sang suami telah mendua. Dia tidak marah ataupun menegur. Dia tetap membisu. Menikmati lukanya sendiri tanpa ada satu orang pun yang tahu.

Ting!

Melirik gawai, mendengar sebuah notifikasi pesan w******p masuk. Sepertinya dari Reta. Ada apa? Apa dia akan memintaku untuk pulang malam ini?

[Mas. Acting kamu tadi bagus banget. Aku suka.]

Aku tidak sedang bersandiwara, Reta. Tetapi benar-benar menangis karena merasa kehilangan Luna.

[Kamu pulang gak? Kalau nggak pulang transfer aku dua puluh juta ya. Mau jalan-jalan sama temen.]

Menghela napas panjang, membaca pesan kedua Reta. Dia memang selalu meminta uang dalam jumlah banyak, dan entah kemana uang yang selama ini aku berikan. Di kartu ATMnya tidak pernah ada saldo yang tersisa. Dia selalu menghabiskan uang untuk berfoya-foya, mentraktir teman juga membeli barang-barang tidak bermanfaat sebagai koleksi.

Berbeda dengan Luna yang selalu berhemat. Selalu merasa cukup dengan uang yang aku beri, meskipun tidak ada sepersepuluh dari uang yang selalu aku berikan kepada Reta. Aku hanya menjatah dia lima juta perbulan, sudah termasuk untuk membayar air, listrik, serta kebutuhan lainnya.

Namun, meski begitu Luna tidak pernah mengeluh. Dia selalu saja menghidangkan makanan enak dan semua yang ada tertangani dengan sempurna.

Ponsel dalam genggaman terus saja menjerit-jerit. Reta memanggil. Gegas menggeser tombol hijau, menjawab panggilannya sebelum dia merajuk.

"Mas, mana uangnya? Kok belum ditransfer? Aku tunggu sampai lima menit ya. Kalau dalam waktu lima menit belum ada transferan masuk, aku akan pulang ke rumah Mama dan nggak akan kembali lagi ke rumah kamu!" cerocosnya panjang lebar.

"Sabar, Ta. Sebentar lagi Mas transfer." Membuka aplikasi mobile banking, menekan nominal yang dia minta dan segera mentransfernya.

"Sudah masuk, Mas. Terima kasih. Love you..." Dia langsung memutuskan sambungan telepon secara sepihak. Kebiasaan.

Aku menyentak napas kasar, menghempaskan tubuh di atas kasur dan mencoba memejamkan mata.

Harum tubuh Luna masih menempel di bantal juga selimut. Aku menghirup dalam-dalam aroma wangi itu, berharap bisa bertemu dengan Luna walau hanya dalam mimpi.

Memutar tubuh ke kanan, menatap tempat dimana Luna selalu berbaring melepas penat setelah seharian sibuk mengurus rumah besar ini tanpa seorang asisten rumah tangga.

Dulu, ketika Luna masih hidup, aku selalu tidur menghadap tembok, memunggunginya dan hanya akan menghampiri jika ingin menyalurkan kebutuhan biologis saja.

Kini aku rindu. Ingin mendengar suara lembutnya yang dulu tidak pernah aku perdulikan. Kenapa harus mengunggu dia pergi dulu baru rasa ini muncul perlahan. Apa ini hukuman dari Tuhan, karena selalu mengabaikan amanah yang Dia titipkan?

Memejamkan mata, mengusap permukaan kasur, berharap saat membuka mata Luna ada di sisi dan ini semua hanya mimpi.

"Mas, Mas Fatur!" Terdengar seseorang memanggil namaku, begitu lembut dan mendayu suaranya.

Membuka mata perlahan, mengerjap-ngerjap menajamkan pandangan. Luna berdiri diambang pintu sambil tersenyum, mengenakan gamis hitam serta kerudung panjang menjuntai hingga menutupi pinggang.

"Luna. Kamu kembali?" Berjalan menghampiri, mencoba meraih tangannya akan tetapi dia beringsut menjauh.

Apa dia marah kepadaku?

"Mas Fatur. Astaghfirullah. Istighfar. Ini aku Lani. Bukan Kak Luna!" Dia berujar sedikit meninggikan nada bicara.

Aku mengucek mata, dan ternyata benar. Dia Lani adik iparku. Bukan Luna istri yang selalu aku sia-siakan.

"Yang sabar ya, Mas. Insya Allah Kak Luna sudah bahagia di alam sana. Mas Fatur harus ikhlas melepas kepergian Kak Luna, biar almarhumah tenang di sana."

Jelas saja dia sudah bahagia di sana. Di dunia dia selalu menderita, meneteskan air mata karena aku selalu menyakitinya.

"Ada apa, Lani. Kenapa malam-malam ke kamar Mas Fatur?" tanyaku sambil menatap wajah gadis berusia dua puluh tahun itu. Mata, bibir, serta hidungnya persis seperti sang kakak. Hanya penampilannya saja yang berbeda. Luna selalu berhijab modern, sedangkan Lani berdandan syar'i.

"Ada telepon dari rumah sakit. Tadi aku mencoba menghubungi nomer telepon Mas Fatur, tetapi nomer Mas Fatur tidak aktif. Mama sama Papa sudah ada di sana. Katanya dedek bayi kritis." terangnya panjang lebar.

Anakku kritis?

Ya Tuhan. Apa Engkau akan mengambil malaikat kecilku juga. Tolong beri aku kesempatan untuk menimangnya ya Allah. Aku belum sempat melihat dia, apalagi menggendong tubuh mungilnya. Karena setelah pemakaman Luna, aku langsung mengurung diri meratapi kepergian istriku yang begitu tiba-tiba.

"Ayo, Mas. Kita ke rumah sakit sekarang!"

"I–iya."

Mengambil kunci mobil, berjalan bersisian dengan Lani keluar rumah lalu mengunci pintu.

Deru mesin kendaraan roda empat membawa kami menjauh dari carport rumah pemberian mertuaku. Rasa khawatir terus saja menyelimuti hati, begitu takut kehilangan anakku.

Sesampainya di rumah sakit, aku berjalan setengah berlari menyusuri koridor rumah sakit, menuju ruang NICU tempat dimana anakku sedang dirawat.

Kata dokter putriku terlahir prematur, karena usia kandungan Luna baru memasuki bulan ke delapan dan dia mengalami pendarahan hebat. Dan menurut informasi yang aku dapat, Luna terpeleset di ruang tamu dan ditemukan oleh Mama dalam keadaan sudah tidak sadarkan diri.

Dokter segera melakukan tindakan operasi sectio caesarea untuk menyelamatkan nyawa sang bayi juga istriku. Namun, karena keadaan Luna sudah begitu lemah dia akhirnya harus menyerah dan pergi meninggalkan kami untuk selamanya.

Aku suami lalai, yang tidak pernah perduli dengan keadaan istri. Andai saja waktu itu menuruti permintaan dia untuk tidak meninggalkannya sendiri di rumah. Mungkin dia masih hidup dan anakku baik-baik saja.

"Kamu banyak-banyak berdoa, Fatur. Semoga saja putri kamu bisa melewati masa kritisnya." Mama berucap seraya mengusap lembut punggungku.

Aku terus saja menatap bidadari kecil yang sedang berbaring melawan sakit di dalam inkubator. Wajah mungilnya terlihat mirip sekali dengan Luna. Semoga saja nanti sifatnya juga mengikuti ibunya. Lemah lembut dan penuh kasih sayang.

"Tur. Terima kasih ya. Karena selama ini kamu sudah menjadi suami yang baik untuk putri Papa. Terima kasih kamu sudah membahagiakan Luna, hingga ajal menjemputnya. Papa bangga punya menantu seperti kamu. Luna beruntung punya suami seperti kamu. Baik, taat beribadah, lemah lembut, juga sangat memanjakan Luna. Luna sampai meneteskan air mata jika menceritakan kebaikan kamu, karena dia merasa terharu diperlakukan seperti itu oleh suaminya." Ucapan Papa bagai ribuan panah yang menghujam tepat di jantung. Membuatku hampir tidak bernapas, merasakan sesak karena semua yang dikatakan Luna hanyalah dusta.

Aku tidak sebaik itu. Aku hanya seorang laki-laki bre-ngse*, yang selalu menyakiti perasaan Luna juga tidak pernah menganggap dia ada.

"Omong-omong, cucu Papa mau dikasih nama siapa?"

Lagi. Aku hanya bisa menelan saliva yang terasa getir serta mengganjal di kerongkongan. Jangankan menyiapkan nama. Luna hamil saja aku tidak pernah perduli. Seperti apa kesehatannya, pola makannya, juga ngidamnya pun tidak pernah aku turuti.

"Kamu nggak usah mengada-ada. Bilang saja kamu mau memeras uang aku. Pake acara bilang ngidam segala. Kalau mau kamu beli sendiri. Kan tiap bulan selalu aku kasih jatah bulanan!" sungutku ketika itu, saat Luna minta dibelikan sepotong red velvet dengan alasan ngidam.

Andai saja aku tahu usianya tidak akan lama lagi. Jika saja aku tahu kalau dia akan pergi secepat ini. Tentu aku akan menuruti serta memperhatikan dia. Tidak akan mengkhianati pernikahan kami dengan menghadirkan orang ketiga.

Kini, semuanya telah terjadi. Luna sudah pergi dan tidak akan kembali ke dunia ini. Dia sudah bahagia berada di alam keabadian. Hidup damai bersama malaikat-malaikat di sana.

***

Jarum jam sudah menunjuk ke angka dua belas malam. Kedua mertuaku pamit pulang karena sudah mengantuk dan tidak diperbolehkan menginap di rumah sakit. Pun dengan Lani. Kini tinggal aku sendiri duduk terpekur di depan pintu kamar rawat inap putriku.

Merogoh saku celana, mencoba menghubungi Reta ingin memintanya menemaniku di rumah sakit, supaya tidak merasa sepi di sini. Tidak ada jawaban. Mungkin dia sudah tidur karena malam sudah larut.

Entah mengapa setelah menghubunginya hatiku terus saja dilanda gelisah. Jantung berdebar-debar, terus saja memikirkan dia.

Jangan-jangan, sesuatu yang buruk sedang menimpa dia.

Ya Tuhan. Engkau sudah mengambil Luna dari sisiku. Jangan ambil Reta juga karena aku sangat mencintai dia.

Dari pada terus gelisah, lebih baik aku mendatangi dia di rumah tempat tinggal kami. Mobil aku kemudikan dengan kecepatan tinggi, karena jalanan ibu kota terasa sepi juga lengang.

Sebuah mobil berwarna silver terparkir di depan rumah, membuatku penasaran siapa yang sedang bertamu tengah malam seperti ini.

Pelan-pelan kubuka pintu pagar yang kebetulan tidak dikunci. Berjalan masuk mengendap-endap seperti seorang pencuri. Untung saja membawa kunci cadangan sehingga bisa masuk tanpa harus mengetuk pintu. Sekalian ingin memberi kejutan kepada Reta, karena dia tidak tahu aku akan datang malam ini.

Kedua alisku bertaut ketika mendengar suara desahan aneh di dalam kamar tamu. Seperti ada orang sedang bermadu kasih, tetapi entah itu siapa. Sebab di rumah ini hanya ada Reta juga asisten rumah tangga saja.

Ya Tuhan. Apa Reta mengkhianatiku?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status