[Aku hanyalah manusia biasa yang tak pernah lepas dari-]
Ringtone hp Andra berbunyi pagi-pagi sekali. Andra melihat hpnya, terlihat nama 'ibu tersayang' sedang memanggil. Andra menjawab panggilan ibunya dengan segera."Assalamualaikum bu.""Wa'alaikumussalam Ndra. Lagi ngapain?""Baru mau mandi ini bu. Tumben ibu telepon pagi-pagi bu. Ada apa?""Ibu kangen sama cucu ibu. Ibu pengen kesana ya nanti sore. Jemput ibu di stasiun.""Apa ibu nggak capek nanti kalau kesini? Nunggu weekend aja ya, nanti Andra sekeluarga kesana.""Nggak ah, ibu pengen nginap di rumah kamu, pengen main sama cucu. Kalau nunggu hari sabtu atau minggu nanti nggak puas. Nanti anak-anak malah kecapekan, Fikri kan udah mulai sekolah SD.""Ya sudah, nanti kabarin aja ya bu, Andra bakal jemput ibu di stasiun.""Nah gitu dong. Ya sudah salam buat Rina ya.""Iya bu."Andra mencari Rina untuk memberitahukan soal kedatangan ibunya nanti sore."Mah," Rina menoleh, "Barusan ibu telepon katanya nanti sore mau ke rumah.""Ibu mau ke sini? Kok mendadak. Duh mana rumah berantakan banget lagi," Rina terlihat menghembuskan nafas lelah."Ibu kan nggak galak mah, kamu ngapain khawatir." Andra sedikit terkikik mendengar istrinya mengeluh. Sepertinya Rina sudah lupa dengan marahnya setelah tahu ibu akan datang."Ya memang nggak galak tapi ya nggak mungkin juga aku tahu ibu mau datang terus rumah nggak aku beresin." Rina jawab sambil cemberut lagi. "Duh, salah ngomong lagi," Andra membatin sambil tersenyum kecut."Ya sudah dibereskan saja sebisanya mah, sama masak yang enak ya," pinta Andra sambil tersenyum. "Emang biasanya masakanku nggak enak." Rina masih saja cemberut dan melanjutkan mencuci piring yang menggunung sejak kemarin."Memang mending diam saja aku kalau menghadapi Rina yang sedang bersungut. Ngomong apa saja serba salah, lebih baik aku mandi." Andra meninggalkan Rina yang masih mengomel sendirian.***Hujan masih mendominasi cuaca sehari-hari, seperti sore ini juga. Aku berkemas dan akan pulang sampai Yuni menghampiriku dan berkata, "Pak Andra. Emm, saya boleh nebeng lagi nggak pak?" Katanya sambil tersenyum manis."Waduh Yun maaf ya, saya mau jemput ibu saya di stasiun. Kayaknya nggak bisa barengan. Saya minta maaf ya." Terlihat wajahnya seperti kecewa dan membuatku jadi tidak enak hati. "Ya sudah pak, nggak papa kok, saya pesen taksi online aja deh."Kami pun berjalan beriringan keluar kantor dan berpisah di lobi. Aku menuju parkiran sedang dia menunggu taksi onlinenya. Satu jam kemudian aku sudah sampai di stasiun. Kulihat dikejauhan ibuku duduk di bangku tunggu."Ibu." Aku memanggilnya dan melambaikan tanganku. Beberapa bulan ini memang aku belum bisa mengunjungi ibuku. Sebenarnya kota tempatku lahir hanya berjarak dua jam dari tempat tinggalku. Tapi tentu saja aku tidak bisa terlalu sering ke sana karena kasihan anak-anak kalau keseringan dibawa perjalanan jauh.Aku mencium tangan ibu kemudian memeluknya. Ibuku tetap cantik diumurnya yang hampir enam puluh tahun. Aku pernah mengajak ibu untuk tinggal saja bersamaku atau dengan kakakku setelah ayah meninggal dua tahun yang lalu. Tapi ibu bilang ingin hidup tenang di rumahnya sendiri. Banyak kenangan kebersamaan ayah dan ibu di sana. Makam ayah juga ada di sana, dia ingin kalau sedang rindu bisa langsung berziarah ke sana.Aku dan kakakku pun hanya menurut saja dengan keinginan ibu. Bagi kami yang penting ibu sehat dan senang. Aku membawakan tas yang dibawa ibu dan membawanya ke mobilku. Ibu terlihat tidak sabar untuk bertemu Fikri dan Reza.Sesampainya di rumah, aku membunyikan klakson, agar orang rumah tahu aku sudah pulang. Anak-anak dan juga Rina keluar dari rumah dan menyambut kami."Nenek." Fikri berteriak sambil merentangkan tangan ingin memeluk neneknya. Ibuku tertawa dan membungkuk untuk memeluk Fikri, sedang Reza mengikuti kakaknya ikut memeluk neneknya. Aku hanya tertawa melihat mereka, sepertinya anak-anak juga kangen sama ibu. Rina tersenyum melihat keakraban ibu dan anak-anak. Dia terlihat sudah rapi dengan daster baru dan jilbab bergonya, wajahnya juga terlihat segar.Kadang aku cemburu kenapa dia lebih mementingkan orang lain kalau soal penampilan, padahal aku yang paling berhak melihatnya tampil cantik.Anak-anak sangat senang dan manja dengan neneknya. Mereka senang sekali dengan oleh-oleh yang dibawakan ibu. Bahkan sampai makanpun keduanya minta disuapi neneknya. Ibu terlihat senang sekali bertemu cucu-cucunya. Tinggal sendirian di rumah pastilah kesepian.Kami bersyukur ada saudara di kiri kanan rumah, jadi aku dan kakakku tidak terlalu khawatir karena ibu kukuh ingin tetap tinggal di sana. Tetangga juga dekat dengan ibu, jadi aku bisa titip agar mereka sering melihat ibu. Takutnya ibu sakit dan tidak ada yang tahu.Rina juga senang dengan kedatangan ibu. Dia ikut menimpali obrolan anak-anak dan ibu. Walau tidak terlalu dekat tapi mereka akur. Ibu tidak pernah membeda-bedakan menantunya apalagi marah-marah karena kesalahan kecil. Siapa juga yang tidak senang dengan mertua seperti ibu.Aku baru memperhatikan, rumah sudah rapi, tidak ada baju yang belum dilipat, lantai juga sudah kinclong. Mainan anak-anak hanya ada satu dua yang berceceran. Apa ku bilang, selama ini dia bukannya tidak sempat atau tidak bisa tapi memang tidak mau mengerjakan pekerjaan rumah. Alasan anak-anak dan capek cuma sekedar alasan, dia terlalu banyak main hp.Setelah istirahat sebentar Rina mengajak kami semua untuk makan malam. Dia sudah masak beberapa lauk yang ibu suka. Ada ayam kecap, tahu dan tempe goreng, sambal bawang, cah kangkung, tumis jamur tiram, belum lagi sayur untuk Reza dan Fikri yang tidak pedas. Sibuk sekali pasti dia hari ini. Aku tersenyum melihat hasil masakan Rina dan mulai menikmatinya."Masakan Rina nggak kalah enak kan bu sama masakan ibu." Aku memuji Rina di depan ibu supaya marahnya padaku hilang. Modus sekali."Iya dong, mantu ibu gitu loh." Kami semua tertawa mendengar ibu berkata seperti itu dengan logat anak jaman sekarang.Rasanya menyenangkan sekali bisa berkumpul seperti ini. Melihat ibu di sini aku juga lebih tenang, paling tidak aku benar-benar melihat kalau ibu sehat dan baik-baik saja.***Hujan sudah berhenti saat pagi datang. Matahari mulai terlihat membuat pagi ini lumayan hangat. Pagi-pagi Rina sudah di dapur dengan segala kesibukkannya. Terlihat ibu juga membantunya mengiris bahan masakan. Mesin cuci sudah menyala. Walaupun belum mandi tapi Rina sudah menyisir rambutnya dan mengikatnya dengan rapi, tidak awut-awutan seperti biasanya. Ibu bisa merubahnya dalam semalam, sedang aku suaminya berkali-kali menegur tidak diperhatikan.Aku mandi lalu membantu Fikri bersiap. Pakaianku belum disetrika lagi. Akupun mengambilnya dan menuju ke depan untuk menyetrika. "Kamu mau ngapain Ndra?" Tanya ibu saat melihatku keluar kamar sambil menenteng pakaian. "Mau nyetrika bu."Rina tiba-tiba datang ke depan dan mengambil pakaianku, "Sini biar aku aja yang setrika pah." Padahal biasanya juga aku setrika sendiri.Dia menyetrika dengan cekatan. Sepuluh menit pakaianku siap, lalu dia menyerahkannya padaku. Dia kembali ke dapur untuk menyelesaikan pekerjaannya. Kulihat dia sambil menggoreng juga mengurus cuciannya di mesin cuci. Biasanya dia mencuci setelah kami semua berangkat.Aku menggelengkan kepalaku melihat kelakuannya. Tentu saja dia tak ingin dicap menantu pemalas oleh ibu, makanya tiba-tiba jadi rajin begitu. Mumpung Rina lagi rajin mending aku nikmati saja. Walaupun hanya di depan ibu aku cukup menikmati perubahan sikap Rina. Beda lagi saat di kamar, sungutnya kembali keluar.Saat pamit berangkat kerja, aku menyalami ibu, lalu Rina menyalamiku. "Loh kok nggak dicium istrimu Ndra? Perasaan dulu kamu kalo berangkat kerja, cium kening Rina," Ibuku bertanya seperti bocah lugu. "Kan ada ibu malu lah," aku beralasan. "Perasaan dulu biasa aja walaupun ibu nginap di sini." Aku mati kutu. Tanpa lama aku mencium kening Rina dengan cepat lalu pergi mengucap salam. Tidak ingin Rina semakin marah karena mengambil kesempatan menciumnya, padahal dia masih marah.***Sebagai orang tua tentu saja bu Aisyah tahu kalau anak dan istrinya sedang kurang akur. Mumpung dia ada di sini semoga bisa membatu mereka. Masalah kecil kalau dibiarkan terus bisa saja menjadi masalah besar. Seperti luka kalau tidak diobati bisa infeksi, sudah menyakitkan, lukanya juga lama sembuhnya.Semoga apapun masalahnya mereka tetap bisa mempertahankan kapal yang mereka bawa berlayar. Jangan sampai kapal itu karam hanya karena lubang kecil. Mereka harus benar-benar tahu kemana kapal itu akan menuju, dan bagaimana menghadapi badai, ombak, ataupun kerusakan mesin."Akan aku pastikan mereka selamat sampai tujuan," bu Aisyah membatin sambil melihat Rina yang sedang tertawa karena melihat tingkah Reza.BersambungHari-hari ku jalani seperti biasa. Kedatangan ibu membawa berkah pada perubahan Rina. Hampir-hampir aku tidak melihatnya menggenggam hp saat di rumah kecuali sebentar. Saat malam pun dia tidak tidur terlalu larut karena takut bangun kesiangan.Rina juga sepertinya lama-lama capek marah padaku. Mungkin karena ibu juga memberikan satu atau dua nasehat rumah tangga untuk kami, menceritakan rumah tangga beliau dulu dengan almarhum ayah yang bisa awet sampai empat puluh tahun. Lima hari sudah ibu menginap, siang nanti rencananya ibu akan pulang naik kereta. Aku menawarkan ingin mengantarnya pakai mobil tapi ibu menolak. Katanya naik kereta sekarang nyaman dan lebih cepat sampai, naik mobil harus macet-macetan apalagi hari weekend. Kami dari pagi sudah bersiap mau jalan-jalan dulu sebentar dan membawa ibu makan di luar sebelum mengantarnya ke stasiun. Setelah sarapan kami langsung berangkat ke sebuah tempat wisata baru di kota. Banyak permainan anak-anak dan spot foto yang menarik. Setela
Setelah terbangun dari tidur soreku, aku keluar kamar dan mendapati Rina sedang tiduran menonton drakor sambil menangis. Drama perselingkuhan suami dengan perempuan yang lebih muda apa iya begitu menyedihkan. Bukannya biasanya ibu-ibu geregetan kalau nonton film genre begitu.Aku menuju ke dapur untuk mengambil minum. Sudah sore begini Rina belum masak. "Nonton orang berantem kok nangis sih." Aku duduk di depan Rina dan berkomentar. Rina hanya melihatku sekilas dan lanjut nonton. "Mamah marah sama papah?" Tidak ada jawaban. "Dek Rina? Jangan begini terus dong. Kalau ada masalah dibicarakan, jangan aku didiamkan begini."Rina bangun dari tiduran dan duduk melihatku dengan sengit. "Yuni itu yang mas maksud rekan kerja cantik ya? Sampai nganterin ke rumahnya segala." Tepat. Itu yang bikin dia marah. "Kan tadi papah udah bilang waktu itu hujan deras. Papah cuma ngasih tebengan aja, kebetulan rumah Yuni searah sama rumah kita. Jadi kan sekalian jalan." "Terus kenapa nggak cerita sama aku
Aku kecewa dengan Rina yang semakin hari justru semakin menjadi. Aku pikir kemarin dia kelelahan, ternyata setelahnya dia justru semakin keterlaluan. Awalnya dia bilang capek karena selama beberapa hari ibu di rumah dia tidak bisa istirahat. Tapi ternyata kebiasaannya bermalas-malasan kembali lagi.Benar juga, bagaimana aku bisa berharap dia berubah hanya dalam semalam. “Padahal dia begitu takut aku berselingkuh hanya karena aku mengantarkan Yuni pulang.” Kuhela nafas panjang merebahkan diriku di samping Rina yang sedang meninabobokan Reza.Aku melihat ke langit-langit kamarku, teringat kejadian siang tadi. Aku mendengar Yuni dan Sari yang sedang mengobrol di pantry saat istirahat siang. Sari sedang menenangkan Yuni yang sepertinya sedang sedih, hanya sekilas aku mendengar karena tidak enak berdiri terlalu lama di dekat mereka.“Mas Arya keterlaluan Sar, hari minggu kemarin aku dan Kia bertemu dengannya di mall. Kia langsung berlari ke arahnya dan memanggilnya ayah, tapi bisa-bisanya
Setelah mendengar perkataan Andra soal ayahnya Kia langsung menangis. Andra merasa bersalah karena membuat anak kecil itu kembali mengingat kejadian kemarin. Dia pun mengelus kepala Kia dan memeluknya.“Iya, iya maafin om Andra ya.” Tangisan Kia menarik perhatian pengunjung. Beberapa orang seperti memandang tidak suka karena merasa terganggu, sebagian lain seperti penasaran kenapa Kia menangis keras.Andra meminta maaf lewat isyarat kepada pengunjung yang lain yang merasa terganggu. Kami berusaha mengalihkan perhatiannya agar dia merasa terhibur. Fikri yang melihat Kia menangis juga sepertinya merasa kasihan, dia berbagi video kartun kesayangannya yang ada di hpku. Setelahnya Kia lumayan tenang.Kia awalnya hanya melihat saja tapi sudah mulai terlihat senyumannya kembali saat melihat karakter kuning yang lucu. Mereka tertawa bersama, walaupun masih ada sisa air mata yang menggenang di mata Kia. Beberapa kali aku merasa Kia melihat ke arahku saat aku mengobrol dengan Yuni.Saat Kia mel
Tidak ada yang salah dengan sebuah keinginan. Asal keinginan itu tidak merugikan orang lain. Menginginkan kebahagiaan seperti yang orang lain miliki tentu saja boleh, tapi bukan dengan merebut sumber kebahagiaan orang itu.***Yuni tengah bersiap untuk berangkat ke kantor. Dia terlihat sedang mencoba beberapa kemeja. Setelah beberapa kali dia mencoba, kemeja putih dan celana panjang hitam dia pilih. Kemeja yang sangat pas di badannya. Dia sengaja membuka satu kancing bagian atasnya, membuat dadanya yang putih dan mulus terlihat.Dia juga berdandan lebih lama dari biasanya. Dia mencoba make-up korean look yang membuat wajahnya terlihat lebih muda. Sempurna. Dia puas dengan hasil pulasannya. Setelah beberapa kali belajar dari youtube akhirnya dia bisa mendapatkan hasil make-up yang dia inginkan. Rambut sepinggangnya yang lurus dia biarkan terurai.Yuni keluar kamar dan pergi ke ruang makan. Di sana ibunya sudah menyiapkan sarapan untuknya. Kia juga sudah duduk dengan segelas susu coklat
Mobil Andra berhenti di depan rumah Yuni. “Mau mampir dulu pak?” Yuni menawarkan. “Nggak usah Yun, saya langsung jalan pulang saja ya.” Yuni mengangguk dan tersenyum. Dia mengucapkan terima kasih lalu turun. Dia berlari menuju teras rumahnya.“Om Andlaaa.” Kia sudah di teras dan memanggil Andra. Kia melambaikan tangannya pada Andra sambil tersenyum lebar.“Om Andla sini main.” Kia melambaikan tangan meminta Andra untuk masuk ke rumahnya. Andra hanya tersenyum dan melambaikan tangannya. Tapi Kia merengek pada Yuni, “Mah om Andla suluh masuk, Kia mau main sama om Andla.” Yuni berusaha menjelaskan kalau Andra harus segera pulang.Andra yang melihat Kia hampir menangis akhirnya tidak tega dan memutuskan memarkirkan mobilnya. Dia turun dan berlari masuk ke dalam teras rumah Yuni. “Yey, sini om, masuk ke lumah Kia. Mainan Kia banyak.” Kia menarik tangan Andra memintanya masuk.Yuni mengulas senyum melihatnya. Kia pintar sekali. Yuni mengikuti keduanya memasuki rumah. “Sini om Andla, lihat
Andra benar-benar kekenyangan. Rina akan curiga kalau Andra hanya makan sedikit. Selama ini kalau Rina masak cumi saus padang sudah pasti dia akan tambah nasi sampai dua kali. Andra sampai susah bernapas dan hampir muntah. Ini seperti karma untuknya karena berbohong kepada Rina.Andra hanya bisa duduk di sofa berusaha tidak terlalu banyak bergerak karena perutnya sakit. Sedang Rina seperti biasa tiduran memainkan hpnya. Padahal cucian bersih menumpuk di sebelahnya. Jangankan disetrika, dilipat saja belum. Sedang anak-anak mereka sudah sibuk sendiri dengan tontonan televisi.Andra tidak ingin melakukan apapun lagi, dia memutuskan masuk ke kamarnya. Andra masuk ke kamarnya dan mengambil hpnya, dia teringat pesan dari Yuni yang belum dibalasnya. Ada satu pesan belum terbaca dari Yuni.[Pak Andra marah ya?][Nggak kok Yun, maaf baru balas pesanmu. Makasih juga makanannya, masakan ibu kamu enak sekali.] Centang dua abu-abu pertanda pesan sudah terkirim.Triiing[Kirain bapak marah. Oh iya
Andra duduk di mejanya. Mulai memeriksa berkas yang kemarin belum dia selesaikan. Yuni mendekat membawa kotak makannya. “Pak Andra.” Yuni mengangkat kotak makannya dan menyerahkannya pada Andra. “Soto ayam kesukaan bapak.”Andra menerimanya. “Dari aromanya kayaknya enak Yun. Makasih ya Yun, sebenarnya nggak perlu repot-repot sih. Tapi udah dibawain ya saya terima,” Andra tertawa. “Saya simpan buat makan siang ya. Saya sudah sarapan.” Yuni mengangguk, “Nanti saya bantu panaskan pak.” Yuni menyelipkan rambutnya ke belakang telinganya dan tersenyum malu.Andra mengangguk dan menyimpan kotak makan itu di pinggir mejanya. Ada beberapa karyawan yang berbisik-bisik saat melihat Yuni memberikan makanan untuk Andra.Saat jam makan siang, Yuni dan Andra berjalan berdua ke pantry. Yuni membantu Andra memanaskan kuah soto buatan ibunya.“Masak apa mbak Yuni. Eh ada pak Andra juga.” Pak Roni masuk dan melihat Yuni ada di depan kompor.“Manasin bekal pak Roni.” Yuni menjawab.“Kalau pak Andra ngapai