"Hai, Mas." Juwita menyapa sang suami dari sambungan telepon. Dia sedang berkutat di dapur untuk menyiapkan sarapan Jevano dan dirinya. Dia meletakkan gawai di atas bar dalam dapur, agak jauh dari kompor.
"Hai, Bae. Lagi ngapain?"
"Masak, Jae. Kamu posisi di mana?"
"Hotel Delta Surabaya. Maaf tadi malam aku enggak kabari kamu."
Juwita tersenyum. "Kamu tahu, kemarin aku sendirian di rumah dan enggak dapat kabar sama sekali dari suami ataupun anak. Enggak tahu, ya, Jae, rasanya tuh kayak ... hmm, aku bukan yang terpenting gitu."
Jamal menelan ludah. Ini gawat. Posisinya sedang gawat sekarang. "Maaf, Juwita. Kemarin ...."
Jevano dan teman-temannya sedang di kantin, menikmati makanan yang telah mereka pesan. Dia duduk di sebelah Haikal, sedangkan Arina dan Rani ada di hadapan mereka."Syahid mana, sih? Kenapa dia belom telepon coba?" Rani sibuk dengan gawainya, melupakan sejenak chicken katsu yang biasanya menggoda iman dan taqwa. Dia menggulir layar gawainya dan menekan-nekan beberapa ikon."Emang dia janji mau telepon kamu?" tanya Arina yang melongok ke gawai Rani.Gadis mungil itu mengangguk. "Iya. Ih, padahal dia katanya mau ke lapangan sepak bola di sana. Epret, cuma ngomong doang.""Terus kalau dia ke lapangan bola di sana, lo mau ngapain? Inget, di sini sama sana beda waktunya banyak. Mungkin dia masih ngorok." Haikal menusuk s
Arina menyeret Jevano ke sebuah ruangan di pojok lorong yang jarang dilewati oleh orang. Jevano hanya menurut saja dan membiarkan badan berototnya dibawa oleh Arina ke tempat tersebut.Gadis itu membuka pintu dan memasukkan Jevano dan dirinya ke sana. Jevano melihat ke sekeliling. Ruangan tersebut masih mempunyai meja dan kursi. Kursinya dibalik di atas meja. Udaranya pengap dan banyak debu yang bertebaran di atas sana."Hatchiing!" Jevano bersin. Dia mengangkat bajunya bagian depan untuk menutupi hidung dan mulutnya. "Ngapain ke sini?"Arina menghadap Jevano. Dia sedikit mendongak. "Aku pengin jelasin sesuatu ke kamu, Jev, masalah aku dan Alvaro.""Kenapa?" Suara Jevano terdengar sumbang setelah bersin dan tertutup
Juwita membayar semua makanan yang mereka pesan."Banyak banget, Bun, makanannya." Jevano melihat kertas tagihan yang memanjang itu, tidak percaya.Juwita hanya tersenyum kepada anaknya. Dia mengambil kembali kartu debit yang tadi dia serahkan kepada kasir. "Pasti habis, kok. Bunda yakin bakalan ada yang habisin.""Emang aku bisa habisin, sih. Tapi, enggak dalam sekejap juga." Jevano menimbang-nimbang, apakah enam macam makanan yang dipesan oleh bundanya bisa muat dalam perutnya sekaligus.Juwita mengelus kepala anaknya. "Udah. Kita tinggal tunggu aja di meja sana." Dia membawa Jevano ke meja yang telah dia pesan tadi sebelum berangkat menjemput anaknya. Mereka duduk di kursi empuk itu.
Susah memang kalau Jevano sudah ngambek.Setelah menghabiskan makanan yang telah dipesan, Jamal sekeluarga melanjutkan acara mereka dengan jalan-jalan. Baiklah, mungkin tidak terlihat sedang terjadi sesuatu di antara mereka bertiga, akan tetapi jika dilihat lagi dari dekat ... sang anak sedari tadi hanya diam dan mengikuti kedua orang tuanya ke mana saja."Sini, loh, Jev." Jamal menarik Jevano agar sejajar dengan dirinya dan Juwita. Pasalnya, Jevano malah seperti malas melangkah dan sengaja membuat dirinya berjalan di belakang, sedikit terlihat tertinggal."Ngapain?" tanya Jevano ogah-ogahan, begitu juga langkah kakinya. Bahunya menjadi sandaran tangan sang ayah."Ya, biar kelihatan kompak." Jamal gemas melihat kela
Gedung mewah itu sedang dipenuhi oleh tamu undangan. Mereka memenuhi ruangan dengan jas dan gaun malah. Penerangan dan dekorasinya terlihat sangat elegan. Sangat pas dengan tema acara yang sedang digelar di sana, acara perayaan keberhasilan produk.Jamal datang beserta Juwita dan Jevano. Mereka memakai baju yang senada, rancangan Juwita sendiri. Tampilan mereka terlihat sangat segar dengan warna hitam legam segelap langit malam ini. Mereka disambut dengan sapaan yang sangat hangat oleh para tamu yang sudah hadir terlebih dahulu. Bagaimana pun, di acara ini, Jamal adalah pemeran utamanya."Jamal!" Tuan Anggari melebarkan tangannya dan menyambut sang menantu dengan senyuman yang sangat lebar.Jamal mendekati mertuanya dan menerima pelukan yang sangat hangat dari pria itu.
Jamal benar-benar menjadi bintang malam ini. Dia sangat sibuk dengan para pejabat dan petinggi perusahaan. Senyuman manis dengan lesung pipi yang selalu menghiasi wajah membuatnya semakin terlihat tampan di bawah penerangan yang mewah. Tampilan dan auranya semakin terlihat mahal."Tadi, Anda sempat menyebut anak Anda dalam pidato. Siapa namanya? Jevano?" Salah satu dari para tamu undangan. Jamal mengetahui namanya bernama Anwar, salah satu dari kolega bisnis yang ikut andil dalam proyek ini.Jamal mengangguk. "Iya, Jevano Kalindra.""Bolehkah saya berkenalan dengan dia? Saya dengar dia adalah murid terbaik di Delta Pelita."Jamal tersenyum bangga. "Ah, itu. Alhamdulillah dia masuk ke sana dengan nilai ya
Jevano masih terdiam saat Syahid selesai menjelaskan tentang keadaan umum yang dihadapi oleh anak-anak yang seperti mereka. Napasnya terdengar berat. Ternyata dunia yang dia masuki tidak sesimpel yang dia pikirkan. Tapi kenapa ayahnya terlihat sangat santai dan seperti tidak ada kesusahan sama sekali, kecuali lebih sibuk kerja. Ah, mungkin ayahnya juga sudah terbiasa dengan dunia bisnis dan kantoran, mengingat sang ayah juga dulu pekerja kantoran."Kenapa ayahku enggak pernah cerita ke aku tentang masalah kayak gini, ya? Padahal, Ayah selalu mengingatkan aku kalau ada sesuatu penting dalam kehidupan kita. Maksudku, Ayah selalu mengajariku hal-hal yang perlu diperhatikan lebih. Apa Ayah juga enggak tahu tentang dunia yang kayak gini, ya?"Syahid memandang Jevano yang terlihat sangat tertekan itu. Dia tersenyum, lucu juga
Para tamu undangan berangsur pulang. Ruangan acara digelar pun mulai lenggang. Hanya tertinggal para panitia penanggung jawab acara dan karyawan perusahaan ANG Group sendiri. Tentu saja keluarga Anggari masih lengkap di sini.Arjuna menepuk pundak Jamal dan memeluk kakaknya itu dari belakang. "Kakak," sapanya masih penuh dengan tenaga meskipun malam sudah mulai larut.Jamal menahan berat badan Arjuna dan menoleh sedikit ke belakang. Dia berdehem."Kakak mau ikutan sama yang lain enggak?" tanya Arjuna. Dia menunjuk ke karyawan yang sudah berjajar di salah satu sudut ruangan. Mereka melambai ke Jamal.Jamal tersenyum simpul. Dia menepuk tangan Arjuna dan menggeleng. "Kalian aja berangkat. Aku harus pulang bersam