Jevano menggerutu saat mobil Haikal berhenti tepat di depannya. Dia membuka pintu dan masuk serta merebahkan punggungnya dengan kasar ke kursi penumpang belakang, bersebelahan dengan anak Pak Jo itu. "Lo lama banget, sih. Sampai kering gue tunggu."
Haikal yang merasa sudah memenuhi keinginan Jevano dengan tepat pun memandang temannya dengan tatapan protes. "Masih untung, ya, lo gue jemput. Masih mending gue tadi enggak pakai berendam dulu. Udah dijemput, masih aja ngomel. Gue turunin lagi lo."
Jevano hanya berdecak. Dia tidak membalas perkataan Haikal lagi. Sedang tidak mood dia.
"Lagian, ngapain lo berangkat sendiri? Sopir lo mana?"
Jevano diam. Dia menoleh ke arah lain.
Kendaraan berlalu lalang di jalan raya Sidoarjo yang cukup padat di hari libur ini. Gemerlap lampu jalan dan kerlap-kerlip lampu dari kios pedagang membuat pemandangan di pusat kota itu semakin meriah. Entah ini sudah berapa lama Jevano tidak keluar malam untuk sekedar melihat dunia sekitar daerahnya tinggal. Bahkan dia juga lupa kapan terakhir kali dia melihat monumen Jayandaru di alun-alun kota Sidoarjo ini.Lampu merah arah Surabaya membuat kendaraan pengguna jalan berhenti. Termasuk kendaraan yang sedang digunakan oleh Jevano ini. Persimpangan yang ada di depan sangat lebar. Seperti membuka luas arah pandang mereka."Jalan di sana, yok," ajaknya yang langsung mendapatkan tolehan dari teman-temannya yang lain. Tangannya membeku, menyisakan telunjuk yang masih mengarah ke alun-alun kota. Dia memandang satu per satu temannya
"Yang pulang malem ... sampai lupa kalau punya rumah." Juwita menyambut anaknya.Jevano yang sadar bahwa dirinya benar-benar telat pulang ... sangat berharap di rumahnya sedang tidak ada satu orang pun. Namun, semuanya pupus saat pintu gerbang itu dibuka. Dia memejamkan mata. Dia tidak berani balik badan dan masih memegangi pintu mobil Syahid yang masih terbuka."Mampus kamu, Jevano." Itu Rani yang duduk tepat di sebelah pintu yang sedang dipegangi oleh Jevano. Kaca jendela pintu itu terbuka."Sssttt." Jevano mau menenangkan diri untuk menghadapi bundanya. Dia menarik napas dalam. Perlahan, dia berbalik. "Hehehe. Bunda."Juwita bersedekap. Dia memandang anaknya dari atas sampai bawah. "Dari mana aja kamu?"
"Hai, Mas." Juwita menyapa sang suami dari sambungan telepon. Dia sedang berkutat di dapur untuk menyiapkan sarapan Jevano dan dirinya. Dia meletakkan gawai di atas bar dalam dapur, agak jauh dari kompor."Hai, Bae. Lagi ngapain?""Masak, Jae. Kamu posisi di mana?""Hotel Delta Surabaya. Maaf tadi malam aku enggak kabari kamu."Juwita tersenyum. "Kamu tahu, kemarin aku sendirian di rumah dan enggak dapat kabar sama sekali dari suami ataupun anak. Enggak tahu, ya, Jae, rasanya tuh kayak ... hmm, aku bukan yang terpenting gitu."Jamal menelan ludah. Ini gawat. Posisinya sedang gawat sekarang. "Maaf, Juwita. Kemarin ...."
Jevano dan teman-temannya sedang di kantin, menikmati makanan yang telah mereka pesan. Dia duduk di sebelah Haikal, sedangkan Arina dan Rani ada di hadapan mereka."Syahid mana, sih? Kenapa dia belom telepon coba?" Rani sibuk dengan gawainya, melupakan sejenak chicken katsu yang biasanya menggoda iman dan taqwa. Dia menggulir layar gawainya dan menekan-nekan beberapa ikon."Emang dia janji mau telepon kamu?" tanya Arina yang melongok ke gawai Rani.Gadis mungil itu mengangguk. "Iya. Ih, padahal dia katanya mau ke lapangan sepak bola di sana. Epret, cuma ngomong doang.""Terus kalau dia ke lapangan bola di sana, lo mau ngapain? Inget, di sini sama sana beda waktunya banyak. Mungkin dia masih ngorok." Haikal menusuk s
Arina menyeret Jevano ke sebuah ruangan di pojok lorong yang jarang dilewati oleh orang. Jevano hanya menurut saja dan membiarkan badan berototnya dibawa oleh Arina ke tempat tersebut.Gadis itu membuka pintu dan memasukkan Jevano dan dirinya ke sana. Jevano melihat ke sekeliling. Ruangan tersebut masih mempunyai meja dan kursi. Kursinya dibalik di atas meja. Udaranya pengap dan banyak debu yang bertebaran di atas sana."Hatchiing!" Jevano bersin. Dia mengangkat bajunya bagian depan untuk menutupi hidung dan mulutnya. "Ngapain ke sini?"Arina menghadap Jevano. Dia sedikit mendongak. "Aku pengin jelasin sesuatu ke kamu, Jev, masalah aku dan Alvaro.""Kenapa?" Suara Jevano terdengar sumbang setelah bersin dan tertutup
Juwita membayar semua makanan yang mereka pesan."Banyak banget, Bun, makanannya." Jevano melihat kertas tagihan yang memanjang itu, tidak percaya.Juwita hanya tersenyum kepada anaknya. Dia mengambil kembali kartu debit yang tadi dia serahkan kepada kasir. "Pasti habis, kok. Bunda yakin bakalan ada yang habisin.""Emang aku bisa habisin, sih. Tapi, enggak dalam sekejap juga." Jevano menimbang-nimbang, apakah enam macam makanan yang dipesan oleh bundanya bisa muat dalam perutnya sekaligus.Juwita mengelus kepala anaknya. "Udah. Kita tinggal tunggu aja di meja sana." Dia membawa Jevano ke meja yang telah dia pesan tadi sebelum berangkat menjemput anaknya. Mereka duduk di kursi empuk itu.
Susah memang kalau Jevano sudah ngambek.Setelah menghabiskan makanan yang telah dipesan, Jamal sekeluarga melanjutkan acara mereka dengan jalan-jalan. Baiklah, mungkin tidak terlihat sedang terjadi sesuatu di antara mereka bertiga, akan tetapi jika dilihat lagi dari dekat ... sang anak sedari tadi hanya diam dan mengikuti kedua orang tuanya ke mana saja."Sini, loh, Jev." Jamal menarik Jevano agar sejajar dengan dirinya dan Juwita. Pasalnya, Jevano malah seperti malas melangkah dan sengaja membuat dirinya berjalan di belakang, sedikit terlihat tertinggal."Ngapain?" tanya Jevano ogah-ogahan, begitu juga langkah kakinya. Bahunya menjadi sandaran tangan sang ayah."Ya, biar kelihatan kompak." Jamal gemas melihat kela
Gedung mewah itu sedang dipenuhi oleh tamu undangan. Mereka memenuhi ruangan dengan jas dan gaun malah. Penerangan dan dekorasinya terlihat sangat elegan. Sangat pas dengan tema acara yang sedang digelar di sana, acara perayaan keberhasilan produk.Jamal datang beserta Juwita dan Jevano. Mereka memakai baju yang senada, rancangan Juwita sendiri. Tampilan mereka terlihat sangat segar dengan warna hitam legam segelap langit malam ini. Mereka disambut dengan sapaan yang sangat hangat oleh para tamu yang sudah hadir terlebih dahulu. Bagaimana pun, di acara ini, Jamal adalah pemeran utamanya."Jamal!" Tuan Anggari melebarkan tangannya dan menyambut sang menantu dengan senyuman yang sangat lebar.Jamal mendekati mertuanya dan menerima pelukan yang sangat hangat dari pria itu.