Suara bel rumah berbunyi.
Jevano yang sedang mencari gawainya untuk menelepon sang ayah pun terhentikan. Gawai Juwita sedang diisi ulang baterainya, jadi mau tidak mau dia harus mencari gawainya yang dia sendiri lupa menaruhnya di mana.
"Jevano! Turun, Sayang! Ada temen-temen kamu ini, loh." Teriakan Juwita membuat Jevano memejamkan matanya. Gagal sudah dia rencananya mau berbicara dengan sang ayah dengan tentram bersama sang bunda. Teman-temannya itu pasti akan merusuh. Apalagi kalau Haikal ikutan.
Maka, dengan ogah-ogahan, Jevano yang tadinya mencari gawai di kamarnya terpaksa turun. Dari tangga, dia sudah bisa melihat ada empat anak manusia yang sangat dia kenal. Mereka semua menoleh ke arahnya, lebih ke arah tangannya yang digips dan menggantung itu.
Teman-teman Jevano undur diri saat adzan maghrib berkumandang. Mereka berpamitan kepada Jevano karena Juwita masih menerima telepon dari manager-nya. Jevano mengambil tasnya dan membawa benda tersebut ke kamarnya. Hatinya bimbang. Ternyata bersekolah di tempat elit lebih menyusahkan dari pada yang dia pikirkan. Kalau begini, mending dia bertahan saja di sekolah umum. Ah, tapi sepertinya dia malah tidak bersyukur kalau mengeluhkan hal ini.Jevano merebahkan tubuhnya di atas kasur. Tak ada yang bisa dia lakukan sekarang. Mau belajar juga masih malas. Mau bermain game juga tangan yang bisa dia gunakan hanya satu. Jika dia menggunakan jemari dan menggerakkannya, dia bisa merasakan sakit di pergelangan tangan. Hanya satu saja yang bisa dia lakukan, mendusel sang bunda. Tapi, dia langsung ingat kalau bundanya sedang sibuk. Astaga, bosan sekali.
Hari ini Jevano kembali bersekolah lagi. Masalah dia jadi bolos sekolah atau tidak, tentu saja dia bolos sekolah. Dia diajak Juwita ke butik dan berlanjut berjalan-jalan. Ayahnya juga pulang dua hari setelah kejadian tangannya terkilir itu. Mereka menghabiskan waktu dengan baik dan Jevano merasa menjadi anak yang paling disayangi di dunia."Hai, Jev!""Jevano!""Weh, bocah!""Udah masuk, Jev?"Kalian pasti tahu siapa yang menyapanya seperti itu. Jevano langsung dihampiri oleh keempat temannya dan diuyel. Rani memeluk Jevano dari belakang dan malah minta digendong punggung. "Kangen," ucapnya manja."Baru em
Tak ada yang berani bicara di kelas itu. Tatapan kedua lelaki yang pamornya membahana seantero sekolah meskipun masih kelas sepuluh itu tak ada yang berani memutus. Bahkan seorang anggota OSIS yang disuruh oleh ketua OSIS dan guru BK untuk menemani Alvaro meminta maaf kepada Jevano pun kicep."Gue ke sini mau minta maaf atas kejadian kemarin." Alvaro berucap dengan jelas dan tanpa gengsi sama sekali.Jevano hanya diam dan mengangguk.Alvaro menoleh ke belakang, ke anggota OSIS yang datang ke kelas ini bersamanya. "Udah, kan? Lo udah lihat gue minta maaf ke dia." Lelaki itu pun kembali menatap Jevano dengan tajam. "Bahkan gue enggak tahu kenapa gue harus meminta maaf atas kejadian seminggu kemarin. Like ... lo sendiri juga tahu kalau itu salah lo yang kesandung dan, apa s
Jamal memarkir mobilnya di tempat khusus, di basement. Tak ada sambutan dari siapa pun jika dia melewati jalur ini. Berbeda lagi kalau dia diantar Arjuna atau dijemput oleh orang kantor dan turun di lobi. Para body guard pasti akan siap menjaga dan para manager, staf, dan karyawan lainnya juga akan menyambutnya dengan sambutan yang menurutnya ... agak berlebihan.Ayolah, dia baru menyelesaikan satu misi dan baru menunjukkan satu gebrakan di perusahaan mertuanya tapi sudah terlalu banyak sanjungan dan reward yang dia dapatkan. Dia merasa belum bekerja dengan sungguh-sungguh tapi yang dia genggam sekarang semakin besar saja."Kak!" sapa Arjuna yang juga baru keluar dari mobilnya. Dia menlambaikan tangannya.Jamal menoleh dan tersenyum kepada pria itu. Dia sengaja berhenti
"Tadi siapa, Jev?" tanya Jamal saat berjalan bersama anaknya ke mobil."Temen." Jevano membuka pintu mobilnya dan masuk duluan. Dia agak tidak minat membahas yang tadi."Temen? Namanya?" Jamal duduk di jok kemudi dan memakai sabuk pengamannya."Tumben Ayah kepo."Jamal menoleh ke arah anaknya. Dia meneliti wajah bocah tersebut dan mengangguk. Sepertinya pemuda yang dia lihat tadi bukan murni teman Jevano. Wajah anaknya itu masam. Tidak seperti biasanya kalau ditanya tentang temannya yang lain."Ya, mau tahu aja. Nanti kalau Ayah enggak tanya tentang sekolah, ngambek. Bilang Ayah enggak ada waktu buat ngurus kamu. Bilang Ayah makin sibuk dan enggak memperhatikan
Jevano dan Rani baru bisa pulang setelah mengantarkan buku tugas ke ruang guru, membantu ketua kelasnya. Ada dua buku pelajaran yang harus dikumpulkan. Pasti sangat berat sekali kalau hanya satu orang yang membawanya."Kalian dari mana?" tanya Arina saat mendengar pintu ruangan khusus mereka terbuka dan menampakkan dua sosok teman yang baru saja datang.Rani mengembangkan senyumannya, memperlihatkan gigi-giginya yang rapi itu. "Ke ruang guru. Aku sama Jevano habis cari muka.""Itu kamu aja, ya, Ran. Aku ikhlas bantu." Jevano menyenggol gadis itu."Mulai lagi enggak asyiknya." Haikal berkomentar. Dia rebahan di atas sofa. "Ar, lo pulang bareng gue atau?"Arina m
"Loh, Jevano? Masih di sini?""Arina?" Juwita berucap kaget."Kalian saling kenal?" Lukman juga ikutan kaget."Hai, Tante Juwi." Arina melambaikan tangannya dan mendekati wanita itu. Dia memeluknya."Sehat, sayang?" Juwita mengecup kening Arina. "Yang lainnya juga sudah dijemput?"Arina mengangguk. "Tinggal aku duluan. Tadi abis ketemu kakaknya Haikal.""Tunggu. Tunggu. Kamu teman Jevano, Rin?" tanya Lukman masih tak percaya.Arina mengangguk polos dan beralih ke sebelah omnya. Dia memeluk omnya dan dipeluk balik. "Om Lukman kapan dateng? Kenapa engga
Lukman berjalan menuju ke ruang ganti di kamarnya yang luas itu. Dia masih mengenakan bathrobe setelah membersihkan diri. Kini, dia tampak kebingungan untuk memilih baju untuk dirinya sendiri. Paling tidak dia harus memberikan kesan yang lebih baik di depan Tuan dan Nyonya Anggari.Dia menghela napas setelah mengambil satu pasang tuksedo yang sedari tadi sebenarnya sudah menyita perhatiannya. Tuksedo biru tua pemberian Juwita saat ulang tahunnya ke dua puluh tujuh. Tidak terasa, sudah tiga tahun yang lalu. Semoga saja masih muat.Lukman sangat ingat bagaimana ambisi Juwita saat mau menghadiahkan tuksedo ini kepadanya. Wanita itu sampai membayar pembantunya di rumah untuk mendapatkan ukuran badannya karena, tentu saja penjahit baju formalnya sangat menjaga privasi para kliennya dengan baik. Dia tertawa sendiri kalau meng