Juwita memarkirkan mobilnya di depan butik seperti biasanya. Baru saja sambungan teleponnya dengan sang suami terputus. Dia menyandarkan punggungnya sedikit kasar ke jok. Perasaan mengganjal ini, kembali lagi menyapanya. Helaan napasnya terdengar kasar. Dia menutup mata dengan erat, berusaha mengusir pikiran yang selalu mengganggunya tentang wanita yang bernama Aliyah itu.
Besok. Besok mungkin akan menjadi sebuah jawaban untuk dirinya. Ya, semoga saja janji mereka terpenuhi. Semoga saja resah dalam hatinya cepat terjawab.
Wanita itu membuka pintu dan keluar dari kendaraan. Dia menyapa salah satu pegawainya yang sedang menyapu teras. "Rajin sekali, Mbak Nita." Ramah, itulah Juwita.
"Hehehe. Iya, Bu. Ini lagi enggak ada kerja
Juwita baru saja selesai bertemu klien dan pulang tepat pukul lima sore. Dia memasukkan mobil dan tak lupa menutup kembali gerbang rumahnya. Akan tetapi, suara mesin dan klakson mobil di luar sana membuatnya mengurungkan niat. Dia menilik ke luar gerbang.Senyuman wanita itu merekah saat melihat siapa yang ada di mobil itu. Dia membuka gerbang itu lagi dan menunggu pengemudi mobil hitam itu selesai memarkir kendaraannya. Baru dia menutup gerbang dengan benar."Baru pulang juga, huh?" sapa Jamal sambil mendekati sang istri yang setia berdiri di teras, menunggunya untuk masuk rumah bersama.Juwita mengangguk. Bahunya dirangkul oleh Jamal dengan begitu santainya. Dia melirik ke arah sang suami. Sejak kapan Jamal seluwes ini dengannya dalam masalah sentuhan. Biasanya pria it
Jamal dan Juwita masih damai memejamkan mata berdua sambil berpelukan saat seseorang masuk ke dalam rumah mereka."Kok enggak dikunci?" batin orang itu. Berarti, semalaman juga rumah ini tidak aman dari orang asing. Astaga, bagaimana bisa.Dia memasuki ruang tengah dan melihat ada kepala yang sedang tergeletak di atas sofa. Perlahan dia mendekat untuk mengecek. Oh, ternyata Tuan dan Nyonya muda sedang tidur. Dia pun melanjutkan langkahnya menuju dapur untuk menata kiriman makanan dari Nyonya Anggari.Sebentar. Apa? Tuan dan Nyonya muda? Dia pun kembali ke ruang tengah setelah meletakkan bawaannya di atas meja makan. Dia memastikan bahwa yang dia lihat memang benar mereka berdua.Baiklah, dia malah bengong setelah me
Jam menunjukkan pukul sembilan pagi menuju siang. Baik Jamal maupun Juwita baru saja menyelesaikan acara bebersih badan pagi yang tertunda dari tadi malam. Tujuan utama mereka sekarang adalah ruang makan. Perut mereka sama-sama perlu diisi. Keroncongan sekali rasanya setelah menunda sarapan meskipun sudah menggantikannya dengan pelukan."Hai cewek," sapa Jamal sedikit berbisik di telinga Juwita. Dia memepet istrinya yang sedang menyeduh teh chamomile. Tangannya melingkar di perut wanita itu.Juwita tersentak. Untung saja dia sudah meletakkan teko yang berisikan air panas itu. Napasnya naik turun. Dia mencubit kecil punggung tangan Jamal. "Aku bisa jantungan kalau kamu kayak gini terus, Mas." Dia merasakan persentuhan kulit mereka saat Jamal mendaratkan dagu di perpotongan lehernya.
"Kenapa, Sayang?" tanya Jamal. Dia melepas alas kakinya sebelum masuk ke teras."Enggak papa." Juwita mengikuti gerak Jamal. Dia melepaskan sepatu hak tingginya."Pusing?""Enggak, kok, Mas. Enggak papa."Jamal mengangguk saja. Dia mengulurkan tangannya untuk menjadi tumpuan istrinya. Mereka bergandengan. "Assalamu'alaikum!" Dia mengetuk pintu utama rumah Mbak Lia."Waalaikumussalam!" Terdengar suara wanita menjawab salam dari dalam. Kemudian pintu itu terbuka. "Ya Allah, Ya Rahman! Masih inget rumah sini ternyata!" Wanita itu, Mbak Lia, memasang wajah semringah meskipun sapaannya tadi seperti orang sedang melabrak.
"Namanya Bunga, Pa. Dia adalah pacar Jamal."Saat itu, Jamal baru berumur sembilan belas tahun, awal menjadi mahasiswa baru di kampusnya. Dia memperkenalkan gadis yang dia sukai sejak sekolah menengah kepada orang tuanya. Kisah cinta mereka penuh dengan lika-liku. Jamal yang terkenal pendiam dan dingin bisa ditaklukan oleh gadis bernama Bunga ini."Oh, jadi ini gadis yang bisa membuat kamu turun dalam meraih prestasi?" tanya sang ayah dengan nada penuh sindiran. Wajahnya sungguh tidak bersahabat. Bahkan dia memandang rendah ke arah Bunga."Ayah, kenapa berkata begitu?" Jamal tidak enak dengan kekasihnya yang tertunduk dalam di sebelahnya. Dia menggenggam tangan kekasihnya dengan erat untuk menguatkan."Kamu pikir ke
Juwita berusaha menahan tangisnya namun tak bisa. Air matanya bercucuran. Dia menutup mulutnya sendiri dengan tangan agar. Isakannya terdengar sangat pilu."Ja-jadi ... Jevano itu ...." Dia bahkan tidak sanggup menyimpulkan semua yang diceritakan oleh Mbak Lia. Kepalanya menggeleng, mencoba untuk menyangkal apa yang terlanjur terjadi."Iya. Jevano memang anak yang dihasilkan di luar pernikahan. Jamal harus menanggung hidup pas-pasan selama ini karena keluar dari keluarganya. Mbak Lia harap kamu bisa memahami apa yang Mbak ceritakan ke kamu, ya. Mbak sudah bersyukur banget kamu mau menerima Jamal. Mbak berharap kamu juga bisa menerima sisi gelapnya yang dulu ini." Mbak Lia memeluk Juwita. Dia sengaja mengajak Juwita ke kamar anaknya untuk berbicara tentang ini."Ya ampun,
"Semuanya sudah berlalu, kan? Semuanya sudah terlanjur, kan?" lanjut Juwita setelah ada jeda keheningan beberapa saat. Dia melepaskan genggaman tangan Jamal di tangannya. Dia menarik napas dalam-dalam."Lalu, kenapa kamu menangis?" Ini akan menjadi pertanyaan yang sungguh disesali oleh Jamal."Kenapa aku menangis, Mas? Jevano! Aku enggak bisa bayangkan bagaimana dia menjadi korban semua ini. Hidupnya seharusnya bisa lebih dari tercukupi kalau Mas enggak seceroboh itu. A-aku ... aku cuma kasihan sama Jevano, Mas." Juwita kembali menelungkupkan wajahnya ke tangan. Isakannya sangat kuat.Jamal juga tahu itu. Bahkan dia menjadikannya alasan untuk membesarkan Jevano dengan baik dan benar."Kalau kamu mau meminta maaf, Ma
"Tumben banget jemputnya berdua. Kerjaan Ayah udah kelar?" Jevano melepas tasnya dan meletakkannya di samping. Dia duduk di bangku belakang. Dia tidak menyadari, bahkan tidak memedulikan suasana di antara kedua orang tuanya yang terasa lebih sunyi dari biasanya."Belum, tapi lumayan, lah, teringankan berkat lembur kemarin. Ayah dan Bunda habis ke rumah Budhe Lia," jawab Jamal sambil memiringkan badannya untuk melihat sang anak.Mata Jevano melebar. "Ke Budhe Lia? Enggak ngajak aku, Ayah?" Wajahnya berubah. Dia cemberut dengan lengkungan bibir yang ujungnya ke bawah. "Tega banget enggak tunggu aku pulang dulu. Padahal aku udah lama pengin ke rumah Budhe Lia.""Mbak dan Mas di pondok, Jev. Kamu ke sana nanti juga ujungnya bakalan melamun doang." Jamal mulai menyalakan mesi