Lima murid baru itu berdiri mengelilingi salah satu meja kantin kelas sepuluh. Mereka menatap tak percaya ke berbagai hidangan yang tertata rapi di sana. Macam makanannya memang tidak aneh-aneh. Ada nasi goreng seafood, nugget, sosis, rica daging dan buah-buahan yang telah dipotong rapi di wadah."Ini kantin sekolah atau restoran, sih?" Haikal menyiku lengan Jevano. "Lo gak salah dapet bekal beginian dari orang tua?""Gue juga enggak tahu," jawab Jevano singkat."Tapi kenapa kamu panggil kita dah?" Rani bersendekap. Masalahnya, dia tidak kenal dengan dua orang yang ada di hadapannya saat ini."Karena kalian yang aku kenal. Kalian juga udah bantu aku, jadi ... ya, beginilah." Jevano mengatakan apa adanya.Rani menghela napas dalam. "Ya, udah. Terlanjur bareng juga. Aku Maharani. Panggil aja Rani. Kita belum kenalan, kan?" Supel sekali gadis mungil satu ini."Aku Arina." Gadis dengan jepit rambut di sebelah Haikal itu menyuguhkan senyum ramahnya."Haikal.""Syahid.""Jevano.""Kamu engg
Juwita menghela napas dalam dan mengeluarkannya. Dia sedang menikmati seduhan teh chamomile sambil melihat ke halaman belakang rumah yang asri. Di luar sana sedang hujan. Hawa dingin yang dibawa angin sepoi di awal hujan menerpa wajahnya dari jendela yang sengaja tidak dia tutup.Tagannya sibuk mencoret-coret kertas dengan pena, mencoba untuk menggambar sketsa model baju yang baru. Dia juga mencatata beberapa hal penting seperti warna, bahan, dan detail model yang ingin dia cantumkan untuk rancangan bajunya. Sesekali dia menajamkan pendengaran. Mungkin saja Jevano keluar kamar. Akan tetapi, sampai jam enam sore, Jevano masih tetap berada di dalam kamarnya."Saatnya makan malam," batin Juwita sambil beranjak dari tempatnya. Dia menaiki tangga untuk ke kamar anaknya. Tarikan napas itu mengawali ketukan tangan di daun pintu."Jevano, makan malam, yuk."Pintu itu langsung terbuka, menampakkan Jevano yang memakai kaos dan baju rumah sambil membawa pena. "Iya, sebentar. Tinggal lima soal ya
Pagi ini, setelah mengantarkan Jevano ke sekolah, Juwita bergegas untuk ke tempat kerjanya untuk memantau pekerjaan para karyawannya. Dia juga melihat-lihat folder rancangan baju yang ada di lemari arsip dan menyelipkan sketsa yang dia buat kemarin. Dia mengambil dua sketsa yang lebih lama ditaruh di sana dan mulai mencari bahan untuk membuatnya di gudang kain belakang butik. Dia dibantu oleh karyawannya sehingga pekerjaannya itu cepat selesai."Ini nanti kasih ke timnya Nia dan Juda, ya. Bilang ke mereka kalau ini akan jadi proyek mereka bulan depan. Kalau mereka bisa menyelesaikan semuanya sebelum deadline, bisa aja ini diajukan untuk menjadi style baju salah satu brand." Juwita menyerahkan kertas sketsanya kepada karyawannya yang mengurus gudang kain di butiknya. "Ah, bilang juga kalau mereka ada rekomendasi gaya atau bahan kain yang lain, bisa menyampaikan ke saya.""Baik, Bu." Juwita tersenyum dan menepuk pundak karyawannya itu. Dia keluar dari gudang dan menuju ke ruangannya. D
"Heh, Hellen. Jangan ngadi-ngadi, ya." Juwita meletakkan sendok es krim sangking kagetnya dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh Hellen. "Gue enggak ada rasa sama sekali sama Mas Jamal. Kita berdua sepakat buat jalani ini sesuai dengan perjanjian. Kita saling bantu aja. Bahkan Mas Jamal buat aku kayak saudara laki-laki."Hellen memutar bola matanya. "Sekarang lo ngomong kayak gitu, Kak. Enggak tahu lagi besok-besok."Wanita itu mencebik. "Yang gue tahu sekarang, ya, itu. Gue sama Mas Jamal berusaha sebaik mungkin buat terus saling mendukung. Btw, buat tekad dan minat gue untuk masak, itu bukan karena gue ada rasa sama Mas Jamal, ya. Gue cuma enggak mau aja Jevano kecewa karena ternyata pernikahan kita hanya karena mau saling membantu." Juwita ingin menekankan sekali lagi kepada Hellen bahwa dia tidak punya rasa apa-apa dengan Jamal."Iya. Iya." Agaknya Hellen mulai jengah. "Karena lo enggak mau setengah-setengah, kan, menjalani peran. Apalagi perjanjian lo sama Pak Jamal enggak boleh
Seperti yang telah direncanakan kemarin, Juwita mengajak Jevano untuk berbelanja bahan makanan. Lebih lagi wanita itu ingin belajar memasak. Anggap saja seperti dia harus mempunyai amunisi sebelum berperang."Ganti baju dulu atau langsung ke hypermart, Sayang?" tanya Juwita memberikan opsi. Mungkin saja Jevano tidak nyaman jika masih memakai seragamnya untuk jalan-jalan bersamanya."Langsung aja. Sekali jalan." Seperti biasa. Datar, singkat, padat, dan jelas.Juwita mengangguk dan langsung mengarahkan kemudinya ke tempat tujuan. Hatinya sudah sedikit longgar setelah sesi curhat hingga sama-sama menangis dengam Hellen tadi. Kalau diingat lagi, lucu juga mereka berdua. Setelah nangis, mereka tersenyum lagi dan terus-terusan memuji kue dan es krim Apaja. Bahkan mereka memesan es krim lagi dengan rasa yang berbeda. Sepertinya momen tadi lebih pantas kalau disebut dengan pelampiasan stres.Dari tempatnya, Jevano melirik bundanya agak lama, mengamati. Ada yang berbeda di wajah sang bunda, h
Jamal melipat bibirnya dan berdehem ringan. Berusaha biasa saja. Dia tidak memedulikan tatapan curiga dari Arjuna. Bahkan pria itu mulai mengajak bicara asistennya tentang pekerjaan lagi.Arjuna tidak mau kalah. Dia tetap berdiri tegak dan malah bersendekap. "Pak Jamal ini beneran sayang sama Mbak Juwita enggak, sih?"Jamal menoleh. "Ngapain Anda panggil mbak? Anda saja lebih berumur daripada istri saya."Arjuna melengkungkan garis bibirnya. "Memangnya kenapa? Saya sudah terbiasa memanggil anak Tuan Anggari dengan sebutan seperti itu. Anda tidak suka?"Jamal menatap pria yang berdiri di sampingnya itu dengan datar. "Maksud Anda?"Arjuna malah mengedikkan bahu dan membungkuk lagi. Dia mulai mengecek pekerjaan Jamal. "Anda terlihat belum mengenal Mbak Juwita, Boss. Saya jadi curiga kenapa Anda bisa menikah dengan Mbak Juwita."Jamal tidak menanggapi. Dia lebih memilih diam dan memperhatikan Arjuna yang memainkan scroll tetikus miliknya."Anda pakai guna-guna, ya, Boss," tebak Arjuna tib
Jevano turun saat merasakan perutnya yang mulai melilit. Langkahnya sangat santai dan tidak terdengar pergerakannya. Saat turun tangga, dia bisa melihat sang bunda yang masih sibuk di dapur. Dahinya mengernyit. Apa yang sedang dilakukan bundanya?"Hai, Jev. Belajarnya selesai?" Dengan senyum lebar, Juwita yang sedang bersemangat itu bertanya saat menyadari ada Jevano di tangga. Dia berusaha untukmenyelipkan anak rambutnya yang mencuat-cuat. Dia yakin penampilannya sudah bukan seperti desainer handal di butik. Dia seperti anak bocah yang sangat berantakan kalau di dapur."Belum." Pemuda itu melangkah ke ruang makan. Dia agak menjaga jarak supaya tidak menganggu bundanya. Juwita menghentikan gerakannya dan menatap anaknya yang berdiri di balik bar dapur luar. "Kamu laper?" tanyanya lagi. Senyumannya terulas di bibir. Selalu begitu apalagi untuk anaknya ini. Jevano hanya diam. Pandangannya mengedar ke seluruh penjuru dapur. Belanjaan tadi memang sudah tidak ada satu pun yang tampak. Ak
Jevano langsung berbalik badan dan menggigit martabak yang ada di tangannya. Dia menggeleng-geleng tak karuan, berusaha menghapus pemandangan yang baru saja tertangkap oleh matanya. Namun sia-sia saja. Keburu masuk ke otak. Apa-apaan tadi ayahnya? Mengambil kesempatan dalam kesempitan. Yakin setelah ini dia pasti akan jadi kacang. Mana sekarang dia sudah sendiri di ruang tengah. Menyedihkan sekali. Dia pun menatap martabak yang ada di pangkuannya. Apa dia jatuh cinta dengan makanan saja, ya?"Enggak. Enggak. Percuma gue berusaha bangun otot kalau gue gak kontrol makan." Dia perang batin sendiri. Ya, karena batin ayah dan bundanya pasti sedang berperang sendiri di dapur sana.Jamal segera menggeser tubuhnya saat tahu Jevano sudah memalingkan diri. "Maaf sekali lagi, Juwita." Dia berbisik sambil melepaskan tangannya yang tadi menyentuh tangan Juwita.Juwita hanay terdiam dan masih memproses apa yang sedang terjadi. Kemudian dia mengangguk maklum. "Usaha biar Jevano enggak curiga, kan? E