"Kamu pesen apa?" tanyaku ketika Haris masih sibuk dengan ponsel yang saat ini di genggamannya, yang entah sedang apa."Apa aja yang kamu pesen, aku mau. Intinya samakan saja, dan gak usah nanya lagi," sahut Haris begitu jutek, mata amat Pokja pada layar ponsel di sertai jarinya yang begitu lincah bergoyang menyentuh layar."Ya sudah deh kalau terserah aku, berarti kamu ngikut ya." Akhirnya aku memesan makanan yang aku suka, perut ini telah berbunyi-bunyi juga, sudah tidak tahan ingin segera di isi dengan beberapa makanan enak."Sayang mau aku suapin?" tanyaku pada Haris, "Aaaaa," Tanganku mulai mengulur pada mulut Haris.Ketika Haris membuka mulut, sendok yang ku ulurkan itu, ku tarik kembali. Niat hati hanya ingin bercanda agar Haris tidak terlalu jutek padaku.Brak!Namun, bukannya Haris tertawa dengan canda yang ku lakukan, tapi bahkan pria itu terlihat emosi sampai tangannya menggebrak meja, hingga semau mata pengunjung berpusat pada meja yang aku dan Haris tempati."Kamu jangan
Haris tergesa keluar, berlalu mengendarai mobilnya itu, ia lupa dengan janjinya bahwa akan mengantarkan aku sampai depan rumah dan nanti akan bertemu juga dengan Emak.Kalau seandainya nanti Emak tanya kemana pacarku? Lalu aku harus bilang apa? … Masa iya ku bilang telah pergi meninggalkanku duluan. Lelaki macam apa seperti itu yang meninggalkan wanitanya di tempat.Untung bayar makanan sudah tadi lebih dulu jadi sekarang aku bisa terbebas.Mungkin sekarang lebih baik aku pulang, waktu juga sudah memasuki malam. Padahal Emak berpesan beberapa kali agar aku cepat pulang sebelum magrib.Kalau begini keadaannya, mau gimana lagi, sekarang telah terlanjur hancur. Kalaupun di marahin Emak hanya bisa pasrah.Ku langkahkan kaki yang terasa lemas ini keluar dari restoran yang amat mewah dan amal. Wajahku begitu muram dengan kekecewaan yang melanda di hari ini. Tadinya aku berharap hari ini akan menjadi hari yang tidak akan pernah bisa ku lupakan dengan kebahagian, namun nyatanya adalah hari yan
"Mak aku pulang," sahutku, ketika aku telah sampai di ambang pintu."Diandra kamu jam segini baru pulang! Emak 'kan sudah bilang kalau kamu harus pulang sebelum magrib. Tapi ini, kamu pulang malah sesudah magrib," gerutu Mak Jamilah menyambutku sambil berkacak pinggang.Ini pasti akan terjadi sebab aku sudah telah dengan yang dijanjikan ya, kalau aku harus pulang sebelum magrib."Terus mana pacar kamu itu?" tanya Mak Jamilah sambil celingukan.Ternyata yang dilihat sesuai harapan Emak, pria yang berada di belakangku adalah Jali. "Loh kok ini Nak Jali sih," siapanya ramah, "Kenapa gak bilang dari tadi kalau kamu sama Jali. Jadi Emak gak usah berdebat dulu," ketusnya padaku."Mari Nak Jali masuk, Emak sudah menyiapkan makanan yang enak-enak buat Nak Jali," papar Emak."Emak ngajak cuma Jali doang, terus aku tidak diajak gitu?!" "Kamu gak usah diem saja disitu!" "Ih Emak apaan sih, pilih kasih banget." ketusku sambil berlalu pada meja makan.Melihat makanan yang sudah Emak masak rasan
"Pak bolehkah saya ikut kerja disini?" tanya Jali tatkala ia menghampiri pria yang saat ini sedang memakai helm Oren dan rompi serba Oren yang membalut tubuhnya.Sepertinya bapak-bapak tersebut adalah mandor bangunan."Mau kerja?!" Dilihatnya penampilan Jali dengan saksama dari ujung kaki sampai ujung rambut."Yakin kamu bisa kerja?" tanyanya sambil telapak tangan memegang dagu, nampaknya pak mandor itu tak percaya kalau pria yang memintanya untuk kerja bisa bekerja kuli bangunan."Saya serba-serbi bisa kok Pak, jangankan kuli bangunan, dagang gorengan juga saya bisa kok."Benarkah? Mumpung saya sedang baik dan sedang membutuhkan orang untuk kenek jadi silahkan kamu bisa langsung kerja," ungkap Pak Mandor sambil berlalu pergi karena ada panggilan mendadak.Jali Pun menghembuskan nafas lega, akhirnya ia diterima juga kerja, walaupun hanya sebagai kuli bangunan. Jadi dia urungkan lagi niatnya untuk kembali pulang ke rumah mewahnya itu."Hey kamu, sini," seru bapak-bapak sambil melambaik
"Cilok, Cilok," seru demi seru untuk menarik pelanggan sering kali ku teriakan, oleh karena itu tenggorokanku terasa kering dan mulut ini rasanya haus.Tanganku mengulur Aqua botol yang tersimpan di gerobak cilok, sebenarnya merinding sekali aku berhenti di tepi jalan yang sangat sepi ini. Namun rasa dahaga di tenggorokanku sudah tidak tak tertahan lagi.Ku teguk air yang tersisa setengah botol lagi. Alhamdulillah tak hentinya aku bersyukur kepada yang Sang Pencipta. Semoga setiap hari aku dan Emak di beri kesehatan agar aku bisa membantunya mencari uang.Ku tutup botol Aqua yang telah ku teguk itu lalu ku buang pada semak-semak yang tak jauh di sisiku."Tolooooooong…. Tolong saya."Sepertinya telingaku sedang rusak, wajahku celingukan untuk mencari arah suara barusan, namun tak ada satu orang pun yang terlihat."Apa jangan-jangan…" Pikiranku melayang jauh ke arah mistis dengan suasana jalan yang sepi dan juga akan masuk magrib. Seketika bulu kuduk ini kembali meremang."Masa iya sih
"Diandra di ruangan mana Jali?" tanya Bu Janita di sela Isak tangisnya.Kini aku dan Bu Janita telah sampai di mana Jali dibrawat."Mari Tante, ikuti saya," kataku sambil melangkahkan kaki menuju ruangan Jali diiringi dengan Bu Janita yang mengikuti dari belakang."Disitu Tante ruangan Jali," tunjukku pada ruangan yang pintunya telah tertutup. "Tolong antarkan saya Dian," pinta Bu Janita meminta agar aku bisa mengantarkannya ke dalam ruangan anak yang amat disayangi nya itu.Bu Janita mulai memutar knop pintu dengan tangannya, wajahnya begitu sendu disertai pelipis mata yang ku lihat membengkak, sebab Sugan sejak tadi Bu Janita terus menangis.Saat Bu Janita membuka daun pintu, tubuhnya bergetar hebat hebat menyaksikan Sang Anak yang terbaring lemah tak sadarkan diri di atas bed, dengan beberapa Kabel infusan yang mengelilingi tubuhnya. Langkahnya begitu lesu, tangisnya kembali luruh tatkala Bu Janita mencermati dengan saksama luka lebam di wajah dan sekujur tubuhnya.Ia menggeleng k
"Dian Hari ini Emak gak bisa kerja. Lo mau 'kan gantiin Emak kerja di rumah Nyonya Janita?" tanya Emak ketika aku masih berbaring di ranjang empukku. Walaupun kasur ini murah meriah menang dari lontre limaratusan tapi ini adalah kenang-kenangan yang indah.Terlihat wanita paruh baya yang mengurusku selama ini meringis kesakitan sembari memegang pinggangnya.Aku bangkit dari ranjang, dan menguap terlebih dulu seraya meluruskan sendi-sendiku."Apa Mak kerja? Emak 'kan tau kalau Dian dagang cilok, kemarin Dian sudah beli bahan-bahan.""Bahan-bahan 'kan Lo bisa simpan dulu sampai lusa, Emak gak tau kenapa pas bangun tidur, pinggang sakit banget.""Mak juga 'kan bisa libur dulu beberapa hari sampai sembuh tuh pinggang," ujarku."Kalau Emak libur, kasihan Bu Janita, apalagi sekarang Jali sedang kena musibah. Pasti Bu Janita kerepotan sekali. Emak jadi gak enak kalau sekarang Lo gak gantiin Emak kerja… Bu Janita 'kan baik banget sama kita," papar Emak memaksa.Terpaksa deh aku harus mau, "Iy
Akhirnya Bu Janita berhasil membujuk Jalan Untuk pulang kembali kerumah yang mewah ini. Tanganku mendorong kursi roda yang diduduki Jali untuk masuk kedalam kamarnya."Dian, Tante boleh minta tolong sama kamu?" tanya Bu Janita."Minta tolong apa Tante?""Tante 'kan ada meeting mendadak di kantor, jadi hari ini Tante bener-bener gak boleh bolos. Kamu bisa 'kan bantu Tante untuk mengurus Jali sampe Tante pulang lagi?" Bu Janita penuh permohonan.Aku mengerucutkan dahi sambil terheran. Sebab aku seorang diri harus mengurus Jali."Gimana Dian? Dian, mau gak? Kalau soal bayaran nanti Tante bayar mahal kamu deh?" tanya Bu Janita memaksa.Di gazi langsung, boleh juga sih. Tapi akankah aku sanggup mengurus pria angkuh itu? Kayaknya di coba dulu boleh lah."Kalau gitu baik deh Tante, Tante jangan khawatir. Biar aku jaga sampai Tante pulang," kataku terpaksa setuju.Bu Janita tersenyum seketika, "Kalau begitu saya pergi kerja duluan. Nanti siang kamu beri dia makan, terserah kamu mau caranya ba