Hari sabtu tiba, sejak pagi aku sudah bersiap untuk pulang ke Sukabumi. Rasanya rindu ini sudah tidak tertahan lagi pada Hamdi dan Nindy.Mereka yang biasanya dua puluh empat jam bersamaku, sudah satu minggu lebih tinggal di kampung bersama keluargaku.Aku pulang naik bis sendirian. Setelah sebelumnya, Aa Hadi bersikeras mengantarku pulang kampung, tapi kutolak tawarannya dengan halus."Anak-anak Aa lebih butuh Papinya. Walaupun mereka diam, Jani yakin, mereka merindukan kebersamaan. Jangan buat mereka semakin merasa kehilangan peran orangtuanya, A!Meski mereka memilih tinggal bersama neneknya, Jani yakin, mereka juga kangen Papinya. Jangan egois, kasihan anak-anak, kasihan juga Teh Lina ...." Aku mencoba memberi pengertian pada Aa Hadi, yang menurutku belakangan sikapnya berubah menjadi kekanak-kanakan.Dia pun akhirnya menurut. Aa Hadi hanya mengantarkan aku sampai ke terminal saja.Sampai di kampung, aku dikejutkan dengan kehadiran Mas Pras di rumah, yang sedang menggendong Hamdi.
"Ini bukan permintaan Papi, Tan!" tepis Ranti, seolah dia tahu apa yang sedang aku pikirkan. "Jangan bahas itu dulu ya. Tante tahu, kalian pasti capek. Udah makan belum?" "Belum. Tapi Papi udah pesen kok. Tadi sengaja nunggu Tante Jani, biar makan bareng-bareng ...," kata Dini dengan manisnya. Aku pun bergegas masuk ke dalam kontrakan untuk berganti baju dan meletakan barang-barang yang dibawa dari kampung, bersama Dini dan Ranti. Tak sampai lima belas menit, dua kotak pizza dan ayam goreng kaepci, pesanan Aa Hadi datang untuk menemani kami makan malam hari ini. Perasaanku berdebar tidak karuan. Makan bersama dengan mereka, seperti sedang latihan menjadi keluarga bahagia. Eh! Duh, andai saja Nindy, Hamdi, dan Rasyid ada disini juga, pasti akan menambah suasana ceria di tempat ini. Rasa lelahku setelah perjalanan jauh, hilang seketika melihat Ranti dan Dini. Dari wajah mereka, aku bisa mengobati kerinduan terhadap Teh Lina. "Ranti nggak kuliah? Dini juga nggak sekolah ...?" "Pa
"Maaf Mi .... " Hanya itu yang bisa keluar dari mulutku. Kuajak Mia untuk duduk sebentar, meminjam bangku Mpok Lela, tukang nasi uduk yang bersebelahan dengan tukang sayur."Padahal, Mia udah yakin, kalau dia jodoh Mia yang tertunda ...." Mia berkata lirih dengan pandangan kosong ke depan.Tapi apa tadi? Jodoh yang tertunda? Lucu juga ungkapan Mia!Aku jadi semakin merasa bersalah sama dia. "Kamu cantik dan baik Mia ... aku yakin, kamu bisa mendapatkan lelaki terbaik pilihan kamu."Aku mencoba menyemangati Mia. Tapi dia malah semakin tertunduk lesu."Dulu, aku pernah menikah Jani ... tapi mantan suami meninggalkan begitu aja, setelah aku divonis enggak bisa memiliki anak."Aku terhenyak. Semakin bingung mau menanggapi Mia bagaimana."Mia pikir, Aa Hadi dikirim sama Allah buat jadi imamnya Mia. Selain berumur, dia 'kan sudah punya banyak anak. Mia yakin, dia tidak mempermasalahkan Mia yang nggak bisa punya keturunan ...," tambahnya lagi.Seketika aku merasa berdosa pada Mia. Dibalik
Aku bergegas menuju ke dalam pabrik. Di sana, sebagian karyawan sedang berkumpul dan tengah berbisik-bisik. Aku pun mencoba bertanya pada Sita yang baru saja keluar dari kerumunan.Kabar yang kudengar darinya, membuatku terkejut bukan main. Bang Danu dipecat karena ketahuan mencuri tas yang diselundupkan melalui gudang ekspor.Banyak yang menduga, Bang Danu hanya disuruh oleh orang dalam. Karena itu, dia hanya diberhentikan dan kasusnya tidak sampai dilaporkan ke pihak yang berwajib.Mendengar hal itu, aku langsung kepikiran sama Rini. Bagaimana perasaan Rini saat ini? Apalagi, Rini baru saja melahirkan.Selain itu, usia Bang Danu tidak lagi muda. Jika dia diberhentikan sebagai seorang pencuri, sudah pasti tidak akan mendapat uang pesangon. Itu artinya, pengabdiannya selama ini sia-sia akibat kekhilafan semata.Mencari kerja di pabrik serupa, sudah pasti sulit diterima. Selain umurnya tidak lagi muda, Bang Danu pasti sudah masuk daftar hitam. Aku pun berencana menemui Rini sepulang k
Karena kasihan sama bubur, akhirnya kuceritakan tentang Rini yang sempat salah paham, sampai mengirimkan pesan yang menyakitkan hati."Kenapa nggak cerita? Kebiasaan kamu itu, nyimpen masalah sendiri!" kesal Aa Hadi."Waktu itu mau cerita, tapi 'kan Mia keburu dateng!""Tahu begitu mah, nggak usah dikasih uang!""Ish, kalau ngasih yang ikhlas atuh, A!""Tapi 'kan, dia udah bikin hati kamu sakit?""Kalau mikirnya begitu mah, Aa juga pernah 'kan nyakitin Jani?"Mendengar ucapanku, raut wajah Aa Hadi berubah."Iya deh, Aa nyerah. Jangan bahas masa lalu lagi!"Hmm ... Tuh kan, kalau disentil aja nggak mau!Belum sempat kami menghabiskan bubur, ponsel Aa Hadi berdering."Ada apa, Ran?" "....""Iya, Papi sama Tante Jani pulang.""Kenapa?" tanyaku penasaran, saat Aa Hadi sudah memutuskan sambungan telepon."Ada mantan suami kamu di kontrakan," jelasnya dengan nada ketus.Mas Pras?Mau apa dia ke kontrakan?***"Mana Papanya Hamdi?" tanyaku pada Ranti, begitu sampai di gerbang kontrakan."Ny
"Nindy sakit Teh, badannya panas nggak turun-turun, jadi Ibu bawa ke rumah sakit!" terang Ibu yang panik di ujung telepon.Baru saja tubuhku hendak diistirahatkan sejenak, kabar dari Ibu memaksaku melupakan segalanya. Pikiranku sekarang tertuju pada Nindy. Apalagi saat terakhir kali video call, dia menangis.Ibu mengatakan, kalau hasil lab, Nindy dinyatakan terkena DBD.Jam di ponsel sudah menunjukan pukul sembilan malam. Bagaimana aku bisa pulang ke kampung di jam segini?Kucoba menghubungi Mas Pras, siapa tahu dia belum terlalu jauh. Sayangnya, Mas Pras tidak menjawab panggilanku. Mungkin karena dia sedang mengendarai sepeda motor.Meski awalnya ragu, mau 'tak mau, lagi-lagi aku harus meminta bantuan Aa Hadi. Karena saat ini, memang hanya dia yang bisa ku andalkan.Tidak butuh waktu lama. Setelah aku menyampaikan padanya, Aa Hadi siap mengantarku ke kampung bersama Ranti dan Dini ikut serta.Perjalanan Jakarta - Sukabumi memakan waktu sekitar tiga jam. Walau kantuk mendera, aku tida
Tapi ucapan Bapak memang benar, siapa lagi yang bisa aku andalkan saat ini?Aa Hadi adalah satu-satunya orang yang bisa menerima aku dan keluargaku, lalu kurang apalagi?Terus bertahan hidup sendiri karena gengsi, sebagai seorang janda, apa aku bisa?Karena selama ini saja aku masih terus bergantung padanya."Bapak nggak mau maksa Teteh, tapi coba dipikirin lagi ya, Teh. Jangan keras kepala, apalagi gengsi."Bapak menyelesaikan percakapan kami dan berlalu meninggalkan aku yang larut dalam pelukan Ibu."Bener kata Bapak Teh, coba dipikirin lagi!" kata Ibu menambahkan.Setelah menyeka airmata, aku keluar dari kamar Ibu dan masuk ke dalam kamarku untuk menemui Hamdi. Tapi saat pintu kamar dibuka, aku disuguhkan pemandangan yang mengharukan. Di sana, Ranti, Dini, Hamdi dan Anjeli sedang berkumpul. Bahkan mereka sampai menambah kasur di bawah supaya muat tidur berbarengan.Pemandangan seperti ini kembali membuatku bimbang. Keluargaku, juga anak-anak Aa Hadi, seakan tidak ada tembok pemisa
Benar juga, ke mana Aa Hadi???Segera ku ambil ponsel dan menghubunginya, namun tidak aktif. Aku masih berpikir positif, mungkin saja dia masih ada keperluan lain, tapi setelah menunggu lama, Aa Hadi tak kunjung datang. Karena penasaran dan perasaanku juga mulai tidak enak, aku mencoba menelepon Ranti. Siapa tahu, papinya menghubungi dia.Benar saja, dari Ranti, aku tahu kalau mereka sekarang dalam perjalanan ke Subang. Mereka mendapat kabar, kalau Rasyid ditangkap polisi karena mengkonsumsi barang haram.Ranti juga menyampaikan maaf dari papinya yang langsung pergi tanpa mengabariku lebih dulu. Katanya, dia panik dan tidak bisa berpikir, bahkan untuk sekedar menghubungiku.Tubuhku lemas seketika mendengar penjelasan Ranti. Belum habis rasa bersalahku terhadap Nindy, kini muncul masalah baru yang membuatku menyesal.Apalagi Rasyid adalah anak yang sangat baik dan pendiam.Aku jadi penasaran, masalah apa yang dialami Rasyid, sampai akhirnya anak sebaik dia bisa melewati batas?Apa kar