*Aniki : Panggilan untuk Kakak laki-laki/orang yang dianggap sebagai kakak laki-laki
“Kau mau kemana?” Kyoko bertanya pada Ayu yang bangun, dan terlihat akan meninggalkan kamar. Kyoko tertidur sejak sore akibat mabuk, karenanya menjelang tengah malam justru sedikit sadar.“Ke onsen. Apa kau mau ikut ?” tanya Ayu.“Oh, tidak. Kepalaku masih sakit.” Kyoko menggerutu, lalu berguling kembali di atas futon.“Hati-hati saat membaca tanda,” kata Kyoko.“Tanda apa?” Ayu yang sudah menggeser pintu kamar sampai terbuka, berbalik.Tapi Kyoko sudah kembali tertidur. Deru nafasnya terdengar tenang sama seperti dua yang lain. Mereka menempati kamar itu berempat—bersama Misa dan salah satu temannya dari design. Mereka tertidur nyenyak, tentu saja dengan aroma sake yang menyengat.Hampir semua orang yang mengikuti acara hanami dan makan malam, tidak akan lepas dari sake. Ayu juga sama, tapi ia tidak minum terlalu banyak. Kepalanya saat ini terasa cukup ringan, tapi tidak sampai mabuk yang sangat parah.Ayu memandang mereka bertiga yang tertidur tanpa bentuk dan tersenyum. Ia bisa mem
Ayu mengikat rambutnya dengan sangat erat, untuk mengurangi sakit kepala. Ayu tidak merasa telah meminum banyak sake, tapi mungkin memang ia harus mengurangi jumlah konsumsi.Keadaannya tidak jauh berbeda dengan Kyoko dan yang lain—yang sedang mengeluh sakit kepala, tapi tentu masih dengan terpaksa menyiapkan diri untuk perlombaan hari ini. Melihat wajah semua orang yang hadir di lapangan ini, Ayu yakin mereka akan memilih pulang jika ditawarkan.Tapi penawaran itu tidak mungkin datang. Acara akan tetap berjalan. Untung saja udara musim semi masih cukup sejuk, tidak terlalu gerah meski semua orang berkumpul di satu tempat.Semua orang yang mengikuti hanami kemarin, kini memenuhi stadion kecil milik sekolah yang ada di dekat hotel. Sekolah itu libur—hari minggu, dan lapangannya bisa dipakai dengan bebas untuk acara sehari itu.“Ayo.” Ayu menarik tangan Kyoko yang mengeluh ke arah lapangan. Mereka akan memulai perlombaan.Jenis perlombaan yang dilakukan hari ini, kurang lebih sama denga
“Maaf, bagaimana?”Mori kebingungan mengartikan kalimat Sato, begitu juga Ayu.Sato tertawa. “Maksudku, aku tidak ingin tim dari Shingi Fusaya kalah, dan kau diperlukan di lapangan. Jangan mengecewakanku.”Sato meralat kalimatnya sendiri, sambil menunjuk ke arah lapangan. Dia masih mengatakan semuanya itu dengan senyuman. Tapi entah kenapa Ayu merasa senyum itu berbahaya. Sato sepertinya tipe orang yang akan memecat pegawainya dengan senyum manis.Mori mungkin juga merasakan hal yang sama, karena itu akhirnya melepaskan tangan Ayu dan berbalik kembali ke lapangan. Wajahnya masih penuh tanya, tapi kekuasaannya belum sampai pada taraf untuk melawan Sato.“Anda tidak perlu mengantar…”Sato mengibaskan tangan, memotong kalimat Ayu.“Tidak perlu sungkan seperti itu. Aku mengantarmu ke tenda, karena aku tidak mengikuti lomba apapun hari ini. Jadi tugasku adalah memastikan kalian semua selamat, sehat, dan… tidak ada yang dipecat.” Sato menambahkan yang terakhir dengan senyum misterius.Ayu y
“Yang kurang dari Mori itu sebenarnya apa? Dia cukup lumayan—tunggu, di atas lumayan malah. Wajahnya cukup tampan, dia pintar, dan terus terang saja karirnya akan memiliki masa depan cemerlang di Shingi Fusaya. Tidak ada yang salah darinya,” kata Kyoko, sambil menyedot minumannya. Mereka duduk di salah satu halaman cafe yang ada di seberang gedung kantor. Menghabiskan waktu istirahat. Kyoko mungkin brutal, tapi tidak mungkin berani membahas tentang Mori secara terang-terangan seperti itu di kantor. “Kalau menurutmu dia sempurna, kenapa tidak kau saja yang mau mengambilnya ?” tanya Ayu, setengah jengkel. “Dia tidak tertarik padaku— dan syukurlah. Aku tidak tertarik pada pria tiga dimensi.” Kyoko mengangkat bahu. Ayu mendengus, tidak kaget mendengar kejujuran Kyoko. Setelah mengenal lebih jauh, Ayu kini tahu jika Kyoko adalah otaku*. Dia lebih menyukai tokoh manga dan anime daripada manusia sungguhan, karena itu dia ketus saat berhadapan dengan orang sungguhan. Dan seleranya pada pri
“Aku sudah memilih yang paling cantik. Seharusnya kau puas dengan pilihanku.”Ryu mencoba terdengar bersemangat dan ceria saat Hide menghubunginya. Itu untuk mengurangi kejengkelan Hide.“Ini saatnya kau berharap benar-benar menjadi kucing jadi nyawamu ada sembilan,” kata Hide.“Jangan begitu. Ini hanya percobaan.” Ryu mengeluh.Hide tentu saja kembali mengabaikan kiriman file yang berisi data wanita yang sekiranya pantas untuk menjadi istrinya—kiriman dari ayahnya.Maka Ryu yang akhirnya mencoba untuk memilih dan dan membuat janji. Jika sampai sekali lagi Masaki tahu Hide tidak melakukan perintahnya, maka mungkin bukan hanya Hide yang akan mendapat masalah, tapi juga dirinya. Ryu melakukan kerepotan itu untuk kedamaian hidupnya juga. Dia yang ‘memaksa’ Hide meluangkan waktu siang itu untuk menemui wanita—pilihan Ryu.Hide tentu saja sangat tidak setuju, tapi Hide baru mengetahui jadwal itu beberapa jam lalu. Inoue dengan sengaja memberitahu jadwal makan siang ini, saat dirinya sampai
“Tidak bisa. Maaf, Endo-san. Saya sedikit sibuk besok. Salah satu keluarga saya akan berkunjung ke Tokyo dan saya harus menemaninya.”Ayu mengarang kebohongan di tempat, nyaris tanpa berkedip maupun ragu. Ini karena ia benar-benar panik. Siapa yang mengira Endo masih akan mencarinya setelah acara hanami itu? Masih dengan rasa percaya diri yang sama, Endo tiba-tiba menghampirinya dan mengajaknya keluar. Itu terlalu berani.Ayu tadi sedang dalam perjalanan menuju ruangannya yang biasa setelah dari HRD untuk menyerahkan berkas cuti, tapi kemudian bertemu dengan Endo dan pria itu meminta waktu bicara empat mata. Dan isi pembicaraannya berupa ide buruk.Ayu tidak merasa memberi lampu hijau apapun pada Endo untuk ia bisa mendekat. Ayu benar-benar tidak menduga Endo mengira dirinya menikmati obrolan mereka saat di Osaka. Seingat Ayu, dirinya membalas obrolan Endo dengan setengah hati. Sinyalnya seharusnya jelas.“Benarkah? Sayang sekali. Bagaimana dengan hari minggu?” Endo tidak mudah menyera
Dan bukan hanya berantakan. Melihat cara berjalannya yang tidak lurus, serta matanya yang merah, Ayu menduga Kaito mabuk. Hanya masih kuat untuk berdiri dan mengenali dirinya.“Siapa lagi ini?” Kyoko bertanya dengan heran.Dia belum pernah melihat maupun bertemu Kaito, sekilas pun tidak, karena Kaito dulu biasanya menunggu Ayu di stasiun yang ada di dekat rumah Hide. Baru kali ini Kaito menunggunya di stasiun yang ada di dekat Shingi Fusaya. Ayu pernah membawanya kesini sekali, jadi Kaito masih mengingatnya.“Dia mencarimu bukan?” Kyoko kembali bertanya, karena Ayu hanya diam memandang pria yang kini terhuyung menghampirinya.“Tidak usah pedulikan. Dia hanya orang tidak penting.” Ayu meraih tangan Kyoko dan berjalan cepat. Tidak ingin berhenti untuk Kaito. Tapi pria itu masih cukup gesit. Melihat Ayu berjalan cepat, ia berlari dan menghadangnya. Ayu sampai nyaris menabraknya.“Ayumi, aku mohon. Kau harus mendengarku dulu.” Kaito memohon dengan wajah memelas.“Kyoko, apa kau percaya pad
“Setan apa?” Kyoko ikut berbisik kebingungan, tapi saat melihat Kaede yang nyaris berlari menghampiri Ayu, Kyoko dengan mudah paham. Wajah Kaede tampak menyeramkan.Satu hal disadari oleh Ayu sekarang saat memandangnya, Kaede kecil. Ayu tahu dirinya tidak termasuk golongan orang yang tinggi. Kyoko saja lebih tinggi darinya, dan ternyata Kaede lebih pendek darinya. Ayu tidak mengerti kenapa dulu begitu takut padanya. Tapi tentu sekarang tidak lagi. Tidak ada yang perlu ditakutkan. Ia tidak perlu bersikap hormat pada Kaede maupun menjaga perasaannya. Bukan kewajibannya lagi.“Dasar wanita jalang!” Kaede memaki dengan tangan terayun.“Hei!” Untung saja Kyoko waspada dan menangkap tangan itu sebelum mencapai pipi Ayu. Tapi Ayu sendiri juga tidak diam seperti dulu, dia menjauh untuk menghindar.“Apa itu? Kau ingin menyakiti orang di depan umum?” Kyoko marah, sambil menurunkan tangan Kaede dan memberinya sedikit dorongan. Tidak peduli berapa usia Kaede, dia kasar menurutnya,“Aku hanya ingi