“Tidak bisa. Maaf, Endo-san. Saya sedikit sibuk besok. Salah satu keluarga saya akan berkunjung ke Tokyo dan saya harus menemaninya.”Ayu mengarang kebohongan di tempat, nyaris tanpa berkedip maupun ragu. Ini karena ia benar-benar panik. Siapa yang mengira Endo masih akan mencarinya setelah acara hanami itu? Masih dengan rasa percaya diri yang sama, Endo tiba-tiba menghampirinya dan mengajaknya keluar. Itu terlalu berani.Ayu tadi sedang dalam perjalanan menuju ruangannya yang biasa setelah dari HRD untuk menyerahkan berkas cuti, tapi kemudian bertemu dengan Endo dan pria itu meminta waktu bicara empat mata. Dan isi pembicaraannya berupa ide buruk.Ayu tidak merasa memberi lampu hijau apapun pada Endo untuk ia bisa mendekat. Ayu benar-benar tidak menduga Endo mengira dirinya menikmati obrolan mereka saat di Osaka. Seingat Ayu, dirinya membalas obrolan Endo dengan setengah hati. Sinyalnya seharusnya jelas.“Benarkah? Sayang sekali. Bagaimana dengan hari minggu?” Endo tidak mudah menyera
Dan bukan hanya berantakan. Melihat cara berjalannya yang tidak lurus, serta matanya yang merah, Ayu menduga Kaito mabuk. Hanya masih kuat untuk berdiri dan mengenali dirinya.“Siapa lagi ini?” Kyoko bertanya dengan heran.Dia belum pernah melihat maupun bertemu Kaito, sekilas pun tidak, karena Kaito dulu biasanya menunggu Ayu di stasiun yang ada di dekat rumah Hide. Baru kali ini Kaito menunggunya di stasiun yang ada di dekat Shingi Fusaya. Ayu pernah membawanya kesini sekali, jadi Kaito masih mengingatnya.“Dia mencarimu bukan?” Kyoko kembali bertanya, karena Ayu hanya diam memandang pria yang kini terhuyung menghampirinya.“Tidak usah pedulikan. Dia hanya orang tidak penting.” Ayu meraih tangan Kyoko dan berjalan cepat. Tidak ingin berhenti untuk Kaito. Tapi pria itu masih cukup gesit. Melihat Ayu berjalan cepat, ia berlari dan menghadangnya. Ayu sampai nyaris menabraknya.“Ayumi, aku mohon. Kau harus mendengarku dulu.” Kaito memohon dengan wajah memelas.“Kyoko, apa kau percaya pad
“Setan apa?” Kyoko ikut berbisik kebingungan, tapi saat melihat Kaede yang nyaris berlari menghampiri Ayu, Kyoko dengan mudah paham. Wajah Kaede tampak menyeramkan.Satu hal disadari oleh Ayu sekarang saat memandangnya, Kaede kecil. Ayu tahu dirinya tidak termasuk golongan orang yang tinggi. Kyoko saja lebih tinggi darinya, dan ternyata Kaede lebih pendek darinya. Ayu tidak mengerti kenapa dulu begitu takut padanya. Tapi tentu sekarang tidak lagi. Tidak ada yang perlu ditakutkan. Ia tidak perlu bersikap hormat pada Kaede maupun menjaga perasaannya. Bukan kewajibannya lagi.“Dasar wanita jalang!” Kaede memaki dengan tangan terayun.“Hei!” Untung saja Kyoko waspada dan menangkap tangan itu sebelum mencapai pipi Ayu. Tapi Ayu sendiri juga tidak diam seperti dulu, dia menjauh untuk menghindar.“Apa itu? Kau ingin menyakiti orang di depan umum?” Kyoko marah, sambil menurunkan tangan Kaede dan memberinya sedikit dorongan. Tidak peduli berapa usia Kaede, dia kasar menurutnya,“Aku hanya ingi
“Jalang itu menunjukkan wajah aslinya sekarang. Aku lega dia tidak lagi menjadi penghuni rumah ini.”Kaede masih melanjutkan omelannya sepanjang perjalanan ke rumah. Meski Karin dan Kaito sama sekali tidak menanggapi, ia masih terus tetap mengomel mencela Ayu.“Kau bawa ke kamar.” Kaede menyuruh sopir yang memapah Kaito ke dalam.Sopir itu mengangguk dan membawa Kaito masuk ke kamar. Kaito tadi tertidur di mobil, setelah tadi mengamuk saat dibawa ke klinik untuk merawat lukanya—yang ternyata tidak dalam, dan kini sudah tenang. Kaito hanya memandang sedikit bingung ke arah sekitar. Pengaruh alkohol mulai menghilang dari otaknya.“Kau seharusnya tidak usah ikut tadi. Akhirnya kau malah harus mendengar ucapan kasar dari wanita itu! Menjijikkan.” Kaede mengelus bahu Karin.“Kau tak perlu mendengarkannya. Sudah jelas Kaito tidak mungkin pergi mencarinya. Aku yakin dia merayu Kaito untuk datang padanya. Tidak tahu malu!” Kaede sama sekali tidak mendengar maupun ingin mempercayai penjelasan
“Kita harus bertemu.”“Kau siapa?” Hide mengernyit karena tidak mengenali suara maupun nomor yang menghubunginya itu. Hide jarang menyimpan nomor siapapun di ponselnya, karena malas. Itu termasuk tugas Inoue.“Astaga! Sakura. Aku tunanganmu!” Seruan kesal terdengar dari ujung lain.“Oh, ya. Aku ingat.” Hide akhirnya bisa mencocokkan wajah dan suara.“Syukurlah. Itu luar biasa,” sindir Sakura.“Dari mana kau mendapatkan nomorku?” Hide tidak ingat mereka bertukar nomor saat bertemu kemarin. Pertemuan mereka terlalu singkat dan padat.“Tentu saja dari data omiai yang diberikan orang tuaku, dan seharusnya milikku juga ada padamu!” Sakura terdengar gemas.“Oh, begitu rupanya.” Hide tidak mungkin tahu karena tidak pernah melihat data apapun dari Sakura—kecuali data keburukannya yang diberikan oleh Inoue kemarin.“Kau benar-benar tidak peduli padaku ya?” Sakura terdengar geli.“Tentu. Dan bukankah memang harusnya seperti itu?” Hide membalas santai.“Memang. Aku juga tidak peduli padamu, tapi
“Terima kasih.” Ayu mengucapkan terima kasih pada sopir taksi yang membantunya membawa Kyoko turun, lalu melambai padanya saat pergi.Ayu bersyukur mereka mendapat sopir taksi yang ramah, jadi tidak kesulitan membawa Kyoko turun.“Eh?” Ayu baru berbalik untuk membantunya, tapi ternyata Kyoko sudah berjalan terseok masuk. Apartemen Kyoko berada di lantai dasar, jadi masih mudah baginya untuk masuk.“Kau baik-baik saja?” tanya Ayu.“Ya, pulang saja.” Kyoko menyahut sambil menutup pintu. Ayu bisa membayangkan apa yang akan dilakukannya. Kyoko akan menghempaskan diri di ranjang, dan tidur sampai besok pagi. Seperti biasa, Ayu akan membawa sup untuknya besok, untuk mengurangi sakit kepalanya.Setelah memastikan Kyoko aman, Ayu kemudian menyebrang, menuju apartemennya sendiri.Dengan hati-hati menghindari beberapa kubangan dan juga tanah lembek di halaman depan gedung apartemennya. Hujan yang turun siang tadi, meninggalkan banyak sisa air di halaman yang tidak rata.Ayu lalu menaiki tangga
Jeritan Ayu terhenti, dan memandang dengan takjub saat Hide menyambar leher Endo, mendorongnya ke belakang dengan satu tangan. Dalam kerumitan itu, Hide masih sempat menangkap tubuh Ayu yang nyaris terjatuh karena hilang keseimbangan. “Hide…” Ayu ingin bicara, ingin bertanya, tapi semua tertelan kelegaan. Air mata Ayu menetes tanpa disadarinya, sementara terus memandang Hide dengan tidak percaya. “Apa…” Pertanyaan Hide terhenti, saat melihat pipi Ayu yang memar dan pakaiannya yang robek. Tidak perlu bertanya apa yang terjadi. Bibir Hide menipis menahan emosi, sambil perlahan berdiri lebih tegak. “Kau bisa berdiri?” tanya Hide. Ayu mengangguk, dan menghapus air matanya. Tanpa perlu disuruh, Ayu bergeser ke belakang punggung Hide yang kini menghadap Endo. Pria itu sedang berdiri, sambil menggosok lehernya. Dorongan tangan Hide membuat lehernya terasa terhantam oleh besi. “Kau jangan ikut campur! Ini urusanku dengan…Hkk!” Endo tidak bisa menyelesaikan kalimat, karena Hide sudah ke
“Ini.”Ryu menyerahkan katana yang dibawanya sejak tadi, pada Hide yang baru saja turun dari mobil.“Nanti. Aku ingin bicara dulu.”Ryu mengangguk dan berjalan mengikutinya masuk ke dalam salah satu gedung kosong yang ada di pinggiran Tokyo itu. Gedung itu milik Shingi Fusaya tentunya. Gedung tua bekas pabrik yang telah kosong lima tahun lebih itu, akan dirobohkan bulan depan.“Siapa dia? Apa punya keluarga?” tanya Hide, saat Ryu sudah menjajari langkahnya.“Kouki Endo belum menikah. Anak kedua dari tiga bersaudara. Semua laki-laki. Kedua orang tuanya masih hidup tapi tinggal di Aomori. Mereka sangat jarang berhubungan. Tapi mereka orang biasa.” Ryu menyebut poin informasi yang ingin diketahui Hide.“Bagus. Mereka masih punya anak lain yang menggantikannya.”Nada datar Hide membuat Ryu merinding. Dia sudah berteman lama dengan Hide, tapi jelas masih tidak terbiasa dengan Hide mode berburu seperti ini.Mereka terus melangkah ke dalam, dan akhirnya Ryu yang ada di depan, karena dia yang