"Zaf— Shine mengusap telinganya, takut salah dengar. "Apa tadi, Tan?" Tante Julie yang duduk di sampingnya memberikan isyarat dengan tangan menyuruhnya mendekat hingga membuatnya langsung merapat dan bersiap untuk mendengarkan bisikannya. "ZAFIER ITU TERLAHIR KEMBAR!" "Demi Tuhan!" Shine langsung mundur seraya mengusap telinganya. "Tante gak perlu pakai teriak kayak gitu dong. Shine kaget." "Salah kau sendiri. Sudah dua kali Tante kasih tahu masih aja gak percaya." Shine cengengesan. "Shine tetap gak percaya ah, Tan." Tante Julie jelas mendelik, Shine langsung berkilah. "Satu Zafier di muka bumi aja sudah lebih dari merepotkan dan membuat orang kesal apalagi ada dua." Shine menggeleng kencang. "Jangan lakukan ini padaku Tan." "Seharusnya Tante marah ya, anak Tante dijelek-jelekin modelan gini tapi karena memang itu kenyataannya ya gak bisa dibantah." Tante Julie memotong steak daging di piringnya sementara steak milik Shine sudah ludes duluan karena lapar. Tante Julie tadi meny
"Papi tahu kalau kami berdua menyukai matahari yang sama." Zaf memejamkan mata, merasakan semilir angin membelai wajahnya, tangannya menggenggam erat tangan Shine. "Victoria." "Max yang selalu lebih unggul di matanya sementara aku pembawa masalah tapi Victoria menyukaiku bukan Max." "Jadi dua saudara merebutkan satu matahari?" "Max mundur, merelakan Victoria untukku—" Zaf membuka matanya, menatap pusara kakak kembarnya. Maximus Miller Gaster Forze. "Tapi dia menyanggupi ketika Papi menjodohkannya dengan Victoria untuk kepentingan bisnisnya. Mereka bertunangan saat masih berumur sangat muda." "Dan kau marah?" "Aku mendiamkannya lalu menghajarnya tanpa ampun." Ingatannya kembali ke masa lalu. "Sampai kecelakaan itu terjadi. Sean penyebabnya hingga Max meninggal tapi Victora selamat. Aku tahu dia menyesal juga malu dengan tingkah kakaknya. Dia tertekan dan itu sebabnya dia bunuh diri meninggalkanku sendirian dengan penyesalan." Zaf membawa genggaman tangan Shine ke bibirnya. "Max be
Mobil BMW hitam mengkilat berhenti tepat di depan lobbi perusahaan. Tidak berselang lama, pintu dibuka oleh sang supir, lelaki rupawan mengenakan setelan jas lengkap keluar dari sana, berdiri sesaat memandangi bangunan perusahaan miliknya yang sudah dua tahun dia tinggalkan seraya melepas kaca mata hitamnya. Kedatangannya tentu saja membuat para karyawan yang kebetulan melihat langsung kalang kabut, meski keluarnya dia dari CIA sudah diketahui publik tapi berita itu belum benar-benar dikonfirmasi sampai dia muncul sendiri tanpa pemberitahuan, sehingga tidak mendapatkan upacara penyambutan selayaknya. Meski memang seperti itulah yang diinginkan Zafier Gaster. "Selamat pagi Pak Zafier." Semua karyawan yang kebetulan berada di lobbi menyambut saat Zafier melangkah masuk meski tanpa karangan bunga. Berhenti sesaat memperhatikan karyawannya dan balas menyapa. "Selamat pagi juga. Terima kasih banyak." "Maaf Pak—" Adelia, sang resepsionis maju dengan kepala menunduk. "Kami tidak menyamb
Menjadi publik figure itu gak jauh dari yang namanya gosip. Begitu kata Azalea yang sudah kenyang dengan hal-hal semacam itu. Katanya, hadapi saja dengan senyuman. Kalau Shine sih berharap bisa kasih mereka bogeman mentah satu-satu, terlebih saat gosipnya gak bermutu, seperti gosipnya saat ini. Andai saja judul gosipnya lebih mendekati kenyataan ya gak apa-apa tapi yang ini malah menimbulkan fitnah."Seharusnya judul artikelnya gak seperti itu," ucapnya seraya menikmati es krim di gelas kelima yang dia habiskan. Tidak terima dengan pemberitaan miring yang ada di luaran sana. "Bikin kesal deh lihatnya.""Memang seharusnya kamu gak terlibat dengan playboy high class itu. Lihat sendiri gimana jadinya sekarang." Sasha yang duduk di sampingnya mendengus. "Mereka pikir kamu itu wanita simpanannya, wanita hiburannya yang sama seperti wanita-wanita yang lainnya. Kebetulan aja kamu model baru jadinya makin dibesar-besarkan."Shine mengaduk-aduk es krim digelasnya, duduk bersila di ruang tamu
"Apa berita itu benar?""Menurutmu?""Mungkin kau yang menjebak Shine. Pamornya jatuh gara-gara kau sekarang.""Hei, itu penghinaan."Williem menoleh ke Zaf yang berdiri di sampingnya, di dalam lift yang menbawa mereka turun setelah menyelesaikan meeting mereka seharian ini. Williem tetap tidak berubah, bawahannya yang lebih berani membalas semua ucapannya tapi juga lelaki yang bisa dipercaya."Aku masih ingat dengan jelas bagaimana garangnya Shine saat berhadapan denganmu. Jadi melihat situasi kalian saat ini,hmm—" Williem mengelus dagunya yang ditumbuhi bulu-bulu halus. "Mungkin ada unsur ancaman dan juga pemaksaan di sini.""Hei, dia sudah jinak sekarang," Zaf tersenyum songong. "Apa tidak terbalik? Mungkin saja kau yang dijinakkan Shine."Zaf mendengus, memasukkan kedua tangan disaku celananya. "Jangan lupa berikan padaku semua berkas tentang tender besar Fretas Corp sebelum kita menemuinya nanti. Aku harus mempelajarinya lebih teliti."Williem menyimpitkan mata. "Apa kau mencoba
"Terima kasih jalan-jalannya." Shine berdiri di depan pintu apartemennya, melepas topi yang tadi dipakainya. Arsen mengangguk, mencubit pipinya dan saling melempar senyuman. "Dari tadi aku menahan diri untuk tidak menanyakan hubunganmu dengan Zafier." Nada suaranya berubah lebih posesif. "Aku harap semua pemberitaan di luar itu tidak benar. Aku percaya Shine Aurora tidak sebodoh itu untuk mempercayakan hidupnya di tangan lelaki seperti Zafier yang lebih banyak bertingkah brengsek." Shine terdiam, mengamati ekspresi Arsen yang tidak seperti biasanya. "Kalau itu benar, memangnya kenapa?" Gantian Arsen yang terdiam, maju selangkah mengikis jarak dan memegang lengannya dengan kedua tangan. "Jangan bodoh Shine." Shine menatap balik Arsen. "Aku tidak bodoh." Arsen tertawa sarkas, menggelengkan kepala dan kembali menatap Shine yang diam dengan kening berkerut. "Tidak bodoh? Orang-orang di luar sana menganggapmu wanita murahan karena bersama Zafier. Kamu menganggap semuanya ini bukan ma
Dulu, Shine pernah bermimpi bisa memiliki hubungan dengan Arsen lebih dari sahabat. Menjadi sepasang kekasih, menggandengnya kebanyak tempat, menyeretnya ke kondangan, mengajaknya berkencan, berciuman mesra dan melakukan banyak hal berdua. Namun, semua itu tidak pernah terjadi. Arsen memang ada saat dia membutuhkan dan ada sebagai sahabat yang baik tapi Shine menganggap kalau Arsen mencintai kakak kembarnya jadi saat Arsen mengatakan, kenapa dia tidak pernah melihatnya, itu salah besar.Pertanyaan yang perlu dilontarkan hanyalah, kenapa dia baru mengakui hal sepenting itu padanya sekarang?Demi Tuhan, kenapa saat ini, sekarang, disaat dia— "Ahh, bagaimana ini?" Shine mondar mandir di dalam apartemennya seraya menggigit ujung kukunya, nampak frustasi dan bingung. "Bagaimana reaksi Zaf kalau dia—"TIN..TIN..TIN..TINShine terdiam saat mendengar seseorang memasukkan kode pintu apartemennya, mendelik ketika pintu mengayun terbuka lalu muncul sosok lelaki berhoodie hitam di sana membuat
"Kenapa kau gelisah?" Zaf menyimpitkan mata. Shine mencoba melepas cekalannya tapi laki-laki itu malah menarik pinggangnya merapat. "Katakan apa yang kau sembunyikan?" "Astaga, memangnya aku menyembunyikan apa?" Zaf diam, memperhatikan Shine yang balas menatapnya tapi tahu kalau wanita itu meresahkan sesuatu. "Arsen." Zaf hanya mengatakan nama itu tapi Shine langsung melotot maksimal. Zaf meremas pinggangnya membuat Shine menggigit bibir bawahnya. "Seharusnya kau memberitahuku bukan?" Tatapannya mengintimidasi. "Kalian berdua tadi—" "Oke-oke." Shine menyela. "Aku tidak bermaksud menyembunyikannya. Aku—" Shine diam sesaat, seperti sedang merangkai kata di kepalanya. "Aku hanya mencari waktu yang tepat untuk mengatakannya. Ini diluar kendali. Aku juga tidak menyangka. Aku tidak tahu kenapa itu bisa terjadi. Mungkin, Arsen hanya ingin aku tahu kalau ternyata selama ini dia mencintaiku karena aku pikir dia mencintai kakakku—" Zaf menaikkan alisnya. "Aku juga kaget saat dia menciumk