“Benar-benar pria yang selama ini aku dambakan. Aku harus bisa mendapatkannya.”Sepasang mata dengan bulu mata lentik mengintip dari balikjendela dengan senyum genit. Kedua bibir seksinya dikulum setiap kali melihat dada berbulu lebat turun sang pria turun naik mengambil napas.“Selamat siang, Suster. Maaf, pasien hanya menginginkan perawatan oleh nakes pria saja,” tegur seorang petugas jaga di depan ruang perawatan.“Kok bisa gitu? Kebetulan ruangan ini giliran saya untuk melakukan pemeriksaan,” jelas suster dengan nada bicara setengah berteriak.“Pasien dalam pengawasan psikiater dan demi kestabilan emosinya,” jelas pria berseragam cokelat ini.“Yaudah kalo gitu. Saya periksa pasien lain. Permisi.”“Silakan, Suster. Selamat siang,” balas sang petugas yang ditanggapi oleh suster tersebut dengan ekspresi tak mengenakkan.Wanita berseragam putih tersebut melangkah ke kantin rumah sakit lalu bertemu seorang pria. Mereka berbincang serius, sampai akhirnya ada seorang suster menghampiri w
Sementara itu, tak jauh dari kantin ada sepasang mata berbulu lentik sedang mengawasi mereka dengan senyum sinis.“Ganteng juga dokter muda itu. Astuti, kamu harus fokus ke Pak Wardoyo. Setelah misi berhasil, terserah kamu,” ucap lirih sosok berbaju putih berbulu mata lentik sembari menutup kedua mata dengan telapak tangan.Sempat terjadi pergulatan, antara hati dengan tubuh. Secara di dalam tubuh Suster Astuti berdiam roh lain. Kaki bersepatu pantofel memaksa pergi ke arah ruang perawatan Pak Wardoyo. Sesampai di ruang perawatan, Suster Astuti mendekati salah satu petugas.“Selamat siang, Pak. Maaf, pasien sudah ditemani psikiater?”“Selamat siang, Sus. Psikiater belum ada. Pengacara pasien punya rekomen sendiri.”“Yaudah kalo, gitu. Saya hanya merasa kasian dengan kasus yang dialami pasien. Permisi, Pak.”“Silakan, Sus.”Setelah Suster Astuti melangkah pergi, kedua petugas saling melempar senyum. Mereka sudah dapat info mengenai wanita tersebut dari suster yang lain. Dari arah berla
Tubuh Mustafa terkulai lemas dan hanya tetesan air matamenyembul dari kedua pelupuk mata merahnya.“Bapak, bunuh aku saja!” teriaknya terdengar putus asa.Baru kali ini jin ini merasakan patah hati karena memang baru dengan Dinda—wanita bangsa manusia—yang mampu membuatnya mabuk kepayang.Sesaat setelah mandi dan berpakaian rapi, pasangan pengantin baru bergantian ambil wudu lalu segera berangkat ke masjid untuk salat berjamaah. Kedua insan berjalan beriringan sembari melempar senyum. Ada sepasang mata berbulu lentik sedang mengawasi gerak-gerik mereka.“Tuan, bisa mendengarku?” tanya di mata berbulu lentik yang tak lain adalah Suster Astutik.Wanita ini masih menunggu jawaban dari Mustafa sembari berdiri dari balik pohon mangga yang terletak di pertengahan antara rumah utama dengan masjid.“Tuan Mustafa? Saya harus gimana?”Pertanyaan lewat telepati ini akhirnya dapat balasan dari pangeran jin.“Kamu ke sini ada yang tau gak?” tanya Mustafa dari dalam botol sembari berusaha menajamka
Pak Wardoyo yang emosi, akhirnya napasnya menjadi tersengal-sengal. Suster Astutik tak menghiraukannya. Tampak alat bantu pernapasan sang pria tak stabil, tanda kondisi tubuhnya dalam keadaan darurat. Tangan Pak Wardoyo menggapai tombol darurat. Sedangkan Wanita berseragam putih ini, segera berlalu keluar ruangan dengan sikap tak bersalah.“Ampuh juga teh racikanku. Saatnya memberitahu Tuan Mustafa dan menagih hadiah,” ucap lirih wanita ini sembari berlalu meninggalkan dua petugas jaga yang tertidur pulas di depan pintu ruang perawatan.Hanya beberapa menit saja setelah kepergian sang suster, datang beberapa langkah kaki berlari ke arah ruang perawatan. Mereka yang datang terdiri dari seorang koas dan tiga suster merasa keheranan dengan keadaan para penjaga.Salah satu dari mereka mengoleskan cairan aroma terapi di ujung hidung kedua petugas jaga. Tak lama kemudian, para petugas terbangun dan tentu saja mereka terkejut dengan kondisi mereka yang tertidur. Dari dalam ruang perawatan te
Selama mereka bertugas hampir dua tahun, tak ada yang ganjil dengan suster senior tersebut. Mereka pun sering mengunjungi rumah suster yang betah melajang, meski usia telah berkepala tiga.“Bisa jadi cuma halusinasi kita. Coba aku telepon,” ucap suster bertubuh tinggi, yang kemudian mengambil ponsel dari saku baju.Nomor telah terhubung, tetapi tak ada yang menjawab panggilan telepon. Suster ini pun mengirim pesan menanyakan keberadaan Suster Astutik dan pesan berhasil terkirim.“Gimana?” tanya suster agak gemuk dan ditanggapi gelengan kepala oleh temannya.Oleh karena tak ada yang bisa dikerjakan dalam ruangan tersebut, kedua suster keluar menuju kantor untuk membuat laporan.“Nanti saat pulang, kita mampir rumahnya,” cetus suster bertubuh agak gemuk.“Oke. Sekalian pembuktian halusinasi atau bukan.”“Betul.”Keduanya pun tersenyum sembari menapaki lorong.•••¤•°•¤•••¤•°•¤•••“Ini rumah siapa?”“Wah, Suster Astutik udah bangun. Selamat datang di dunia kami,” jelas sepupu Mustafa semb
“Insyaallah Suster Astutik bisa kita panggil pulang,” jawab Pak Kiai dengan senyum ramah.Pria bersorban ini punya cara jitu untuk membuat jin wanita mau menyerahkan Suster Astutik tanpa syarat.“Alhamdulillah kalo begitu, Kiai,” jawab dokter senior di rumah sakit tersebut.Tampak Pak Kiai mengeluarkan ponsel dari dalam saku baju koko. Beberapa menit, pria berusia separo abad ini menelepon salah satu nomor kontak. Ia seketika tersenyum lebar, saat mengakhiri pembicaraan. Ponsel dimasukkan kembali ke saku baju lalu Pak Kiai menatap ke arah Pak Dokter.“Insyaallah segera bisa teratasi dan saya minta bantuan kepada tenaga kesehatan yang sedang tak bertugas untuk sudi membaca doa bersama demi keselamatan Suster Astutik dan juga Pak Wardoyo. Oleh karena beliau berdua ini adalah perantara untuk mendapatkan target utama,” jelas Pak Kiai kemudian.“Ada target utama, Kiai?” tanya Pak Dokter sembari geleng-geleng kepala.“Ya, ada. Yang kasian itu Pak Wardoyo. Udah berapa kali jadi korban. Coba
Sementara itu di tempat ruangan jin wanita, Pak Kiai sedang meminta baik-baik kepada sepupu Mustafa untuk mengembalikan Suster Astutik ke dunia manusia.“Saya minta izin Tuan Mustafa dulu, Kiai,” jawab jin wanita ini.“Gak usah izin. Kamu tau ini?” tanya Pak Kiai sembari memperlihatkan permata berwarna hijau.“Jangan Pak Kiai! Ampuuun ....”“Kamu pilih mengembalikan Suster Astutik atau tuanmu?” tanya Pak Kiai dengan nada tegas.Pilihan yang diberikan oleh Pak Kiai membuat jin wanita kebingungan. Ia sedang bersiap-siap berkomunikasi dengan sang tuan, tetapi terburu tubuhnya telah dikunci pria berjenggot beruban ini.“Kamu menang tak bisa diberi pilihan. Bukannya memilih, justru kamu lebih suka mengorbankan diri,” kata Pak Kiai sembari mengucapkan doa yang segera membakar tubuh jin wanita.Suster Astutik yang melihat kejadian di depan mata, seketika histeris dan pingsan. Pak Kiai dengan meminta kepada Allah, akhirnya berhasil meniup tubuh sang suster hingga terbang melewati batas keraja
Belum juga Ustaz Hamdan membalas ucapan koas, secara mengejutkan terdengar suara kesakitan Pak Wardoyo. Para tenaga kesehatan segeramengecek alat yang terpasang di tubuh pasien. Mereka terkejut, tiba-tiba alat vital Pak Wardoyo menegang lalu membesar.“Aauduuuuh ...!”Pasien pria berumur lebih dari setengah abad tersebut berteriak kesakitan. Kedua tangan dan kaki yang terpasang gips menggapai hingga tak tentu arah. Ekspresi pria tersebut layaknya orang sekarat.Ustaz Hamdan segera memejamkan mata sambil bertasbih. Tak lama kemudian, Pak Kiai datang bersama Pak Dokter. Pria bersorban ini segera mendekati ke arah ranjang Pak Wardoyo tepat bersebelahan dengan sang putra.Kemudian pria ini memegang ujung jempol sang pasien dan mulai melafazkan doa. Tak ketinggalan, Pak Dokter dengan yang lain ikut khusyuk berdoa mengelilingi ranjang pasien.“Audzubillahiminasyaitonirojim ... Bismillahirrahmanirrahim....”“Astaghfirullah hal adzim ... Astaghfirullah hal adzim ...Astaghfirullah hal adzim.”