“Kalo gitu, mending Mas Gito berbicara dengan polisi soal ini. Agar cepat terungkap penyebab kematiannya,” kata Bu Lastri sambil mulai meneteskan buliran bening dari kedua sudut mata.“Innalillahi wa’ innalillaihi raji’un, meski saya tak ingin mempercayainya dan berharap ini adalah salah mayat hanya karena kesamaan nama semata,” ucap Gito dengan raut muka sedih.Akhirnya, Bu Lastri mengajak Gito untuk berbicara dengan para polisi demi menjelaskan tentang kejadian sebenarnya. Mereka akhirnya telah duduk berhadapan dengan kedua polisi tersebut. Gito menyatakan kalau tak tahu jika Bu Dokter dalam pencarian selama seminggu.Pria muda ini menceritakan semua kejadian semalam kepada dua polisi tersebut. Polisi meminta kesediaan Bu Lastri dan Gito untuk datang ke kantor sebagai saksi dalam kasus meninggalnya Bu Dokter. Bu Lastri bersedia ikut bersama mobil polisi, sedangkan Gito akan datang setelah selesai urusan dari Pak Kiai.Kedua polisi pamit dengan mengajak Bu Lastri ikut serta dan Gito
“Emang kamu gak ngerasain bau segar ini?” tanya Bu Teti masih dengan menghidu sambil mendongak, seakan-akan ingin menghabiskan udara segar sebanyak-banyaknya.Gito hanya menggelengkan kepala dan tersenyum. Pria muda ini mendekati Bu Teti dengan menggandeng tangan Dinda lalu memperlihatkan cincin yang melingkar di jari manis calon istrinya.“Alhamdulillah. Kalian udah mengikat diri, nih?” tanya Bu Teti sambil memperhatikan raut wajah keduanya.Dinda hanya tersipu malu mendengar pertanyaan dari calon mertuanya. Gito lalu menggenggamkan jemari Dinda ke sang ibu.“Bu, tolong titip dia, ya. Hanya restu Ibu yang kami minta,” ucap Gito sembari menunduk.Bu Teti dan Dinda tak bisa menahan haru mendengar ucapan Gito. Mereka menitikkan air mata. Wanita separuh baya ini menepuk-nepuk tangan Dinda lalu mencium kening wanita muda dan juga putranya.“Ibu berdoa untuk kebaikan kalian. Semoga Allah melancarkan segala urusan kalian.”“Aamiin,” ucap sejoli bersamaan dan tanpa sadar Gito merangkul Dinda
Namun, sepi tak berpenghuni. Bu Lastri sendirian. Wanita ini semakin cemas dan ketakutan. Dia hanya ingat satu nama.“Dindaaaa ...!”Bu Lastri hanya cemas akan keselamatan Dinda. Putri asuhnya yang selalu diselimuti kabut misteri. Feelingnya kuat bahwa kejadian ini adalah fatamorgana semata imbas dari misteri tersebut.“Astaghfirullah hal azhim ... audzubillah himinas syaiton nirojim!”Bu Lastri berteriak sekuat tenaga. Dia harus segera kembali ke kehidupan normal. Wanita ini berlari mengelilingi semua ruangan panti asuhan. Kemudian, wanita separuh baya tersebut dengan berurai air mata keluar menuju halaman depan. Kakinya tersandung di tangga teras.Bu Lastri dengan berjalan tertatih-tatih sambil meringis menahan sakit memaksakan diri menuju halaman belakang. Sepi. Pendengarannya lebih fokus dan tetap tak ada suara apa pun. Semua makhluk menghilang. Wanita separuh baya ini sendirian.“Ya Allah! Apa yang terjadiii? Pada ke mana semua?”Wanita ini semakin terisak-isak, memandang sekelil
“Aku adalah malaikat pelindungmu dari kau bayi. Dan aku mengingin kau jadi permaisuri,” jawab sosok tersebut.Dinda tak mampu melihat sosoknya, tapi bisa merasakan bibir dan tubuhnya disentuh oleh sosok tanpa wujud tersebut.“Hentikan! Pergilah!” teriak Dinda yang seketika membangunkan santriwati di kamar sebelah.Santriwati yang mendengar jeritan tersebut mengucek-kucek kedua mata yang masih lengket. Dengan baca bismillah, dia memakai jilbab lalu bangkit dari ranjang. Santriwati ini menekan saklar untuk menyalakan lampu. Tampak jam di dinding menunjukkan 12 malam. Dia membuka pintu lalu berjalan menghampiri kamar Dinda. ‘Tok tok tok!’“Mbak Dinda ...!”Santriwati tersebut berkali-kali mengetuk pintu dan memanggil nama penghuni kamar. Namun, Dinda tak menyahut maupun membuka pintu. Bahkan, jeritan Dinda semakin kencang, hingga penghuni kamar yang lain ikut terbangun.Mereka berbondong-bondong mendatangi kamar Dinda. Dua orang santriwati berinisiatif memanggil ibu pengasuh mereka. Beb
Mereka pun berpisah jalan, rombongan Pak Kiai menuju masjid, sedangkan Ibu Asrama kembali ke belakang langsung menuju musala.••°••°•°••Sehabis Salat ZuhurTerjadi hal mengejutkan dari di halaman masjid. Meja yang dipakai oleh Pak Kiai untuk meletakkan kantung plastik berisi sabun, tiba-tiba terbakar. Asap pembakaran tersebut beraroma wangi kasturi lalu dalam sekejap berbau anyir darah dan busuk bangkai. Bau tak sedap tersebut menguar memenuhi seluruh halaman ponpes bahkan sampai ke belakang, di tempat asrama putri. Pak Kiai segera meminta salah satu santri menyampaikan imbauan ke seluruh penghuni ponpes untuk segera memakai masker.Salah seorang pengurus ponpes segera memberikan masker ke pengasuh asrama. Dalam hitungan menit, seluruh penghuni ponpes telah memakai masker. Pak Kiai segera mengirim pesan ke Ibu Asrama memintanya untuk melakukan rukiah bagi Dinda.Akhirnya para penghuni asrama putri seketika berkumpul di musala. Bu Asrama bersama pengurus yang lain telah bersiap un
“Dari pengasuh baru itu, Kiai. Katanya disuruh Kiai,” ucap pengasuh ini kembali dengan tubuh bergetar.Wanita ini tahu pasti ada sesuatu yang salah. Dia pun segera melangkah masuk lalu meminta botol minuman yang dipegang Dinda. Kemudian dia segera kembali dan memberikan botol tersebut kepada Pak Kiai.Pria ini memegang botol dengan sangat erat lalu memasukkan tasbih dan segera menutupnya. Mulut Pak Kiai tampak komat-kamit baca doa. Tampak telapak tangannya mengelus tutup botol beberapa saat lalu membuka kembali.“Bu, tolong ajak yang lain baca ayat Kursi, termasuk Mbak Dinda. Cukup kita berempat saja,” pinta Pak Kiai sesaat kemudian.“Tanpa pengasuh baru, Kiai?” tanya pengasuh ini dalam hati sudah mulai mengerti arah pembicaraan pria berjenggot putih di hadapannya.“Kita liat, apa yang akan terjadi dengannya,” jawab Pak Kiai dengan kedua mata menatap botol.Pengasuh ini pun segera tanggap lalu berpamitan untuk bergabung dengan yang lain. Wanita tersebut menyampaikan permintaan Kiai da
Pak Kiai melihat wanita setengah umur tersebut telah siuman dan bersiap naik bentor. Pria bersorban ini tersenyum lalu berkata lirih,”Semoga tak dirasuki jin lagi.”Pak Kiai segera memasuki ruangan masjid dan kedua mata awas kepada salah satu santri yang terlihat asing baginya. Pria berjenggot ini segera membetulkan letak sorban lalu perlahan berjalan ke depan.Kegiatan mengaji bersama telah usai. Kini pengikut pengajian telah mulai beranjak satu persatu keluar dari masjid. Namun, santri yang asing bagi Pak Kiai dari awal masuk masjid, masih tampak tenang duduk di pojok ruangan.Pria muda yang terlihat istimewa di mata Pak Kiai ini mengikuti semua gerak-gerik pria bersorban tersebut. Bahkan saat mengaji pun, suara merdunya mendayu di telinga Pak Kiai.Sepertinya santri baru datang hari ini. Dari kemarin belum pernah kudengar suara merdunya,” batin Pak Kiai yang masih melihat pria muda tersebut dengan ekor mata.Sampai langkah kaki Pak Kiai beranjak keluar dari masjid pun, pria muda be
Pak Kiai tersenyum mendengar obrolan keduanya lalu melafazkan ayat Kursi dan seketika hawa mistis berangsur menghilang.“Hanya sekadar mampir lewat saja. Bismillah kita mulai pembahasan berikutnya,” ajak Pak Kiai kemudian demi menenangkan hati keduanya.Akhirnya, pembicaraan selesai dengan kesepakatan bahwa besok lusa Pak Arman akan datang kembali dengan berkas yang sudah ditandatangani oleh Bu Teti. Sang tamu lalu berpamitan kepada Bu Teti dan juga Pak Kiai. Tak lupa Pak Arman berpesan agar Dinda dan Bu Lastri ikut bertanda tangan di berkas.Pak Kiai yang sempat heran dengan permintaan sang tamu lalu bertanya,”Bukankah setelah ini Mbak Dinda diperistri Mas Gito. Kenapa bukan calon suami yang bertanda tangan?”“Saya hanya menyampaikan pesan dari Pak Brahim saja, Pak. Mohon dipahami,” jelas pria jangkung berkumis tipis sembari mengatupkan kedua tangan di depan dada.Pak Arman pun beranjak pergi setelah menjelaskan hal tersebut. Mobil sang tamu telah menghilang di belokan jalan, tetapi P