Bugh ... bugh ... bugh! Secepat kilat, Fitriana meraih seikat kangkung dan memukuli tubuh Yuli dengan sayuran tersebut. Aku yang berpikir hendak melakukannya, tapi adik iparku yang mengeksekusinya. "Astaghfirullah ...." Aku memekik. Kaget dengan apa yang dilakukan oleh Fitriana. Segera kutahan tangan gadis itu agar berhenti memukuli wanita bernama Yuli itu. Bagaimana bisa Fitriana sekalap itu, hingga kangkung yang tadinya penuh daun, rontok menyisakan batang dan beberapa helai daun saja. Semua orang berhenti dengan aktifitas memilih belanjaan dan fokus dengan Fitriana dan Yuli."Sudah, Ana," ucapku sambil tetap menahan tangan gadis itu. "Kesal aku Mbak, gak bisa banget jaga mulut," seru Fitriana dengan nada marah. "Jangan pernah mengejek Mbak Alya," sambungnya masih dengan nada jengkel. Hatiku bahagia mendengar ucapannya, tapi juga khawatir dengan kejadian barusan. "Bulek, itu kangkungnya yang rusak dihitung sekalian ya. Cepat," pintaku pada pemilik toko. Aku harus segera memb
"Jangan lakukan itu, kasian Fitriana. Apa Kakak begitu peduli dengan wanita bernama Yuli itu, hingga memberikan banyak hukuman pada kami?" Aku bertanya tanpa melepas pelukanku."Kak ...." Aku merengek saat tubuh tegap dalam pelukanku tidak merespon ucapkanku. Hanya helaan nafas yang aku dengar, apa dia benar-benar marah karena ini berurusan dengan wanita itu padahal dia bilang kemarin kalau dia hanya mencintai istrinya, yaitu aku. Lalu kenapa Kak Harun sekarang peduli pada wanita itu. Lelaki dalam pelukanku itu lantas meraih tangan dan mengurai pelukannya. Pelan ditariknya tanganku dan diajak ke dalam kamar. Mungkin dia tidak ingin obrolan kami didengar oleh adiknya. "Ini bukan tentang wanita itu, ini bukan tentang Yuli. Tapi tentang Fitriana, adikku. Dia selalu dimanja karena anak bungsu, aku tidak mau dia makin diluar kendali. Apalagi kamu ikutan membelanya, Yang," tutur Kak Harun begitu kami sudah berada di kamar berdua. Pria yang sudah menjadi suamiku itu berdiri tepat di hada
Mataku menatap ke arah sosok yang sedang tertidur pulas di sampingku. Aku masih belum bisa tidur meskipun Kak Harun sudah terlelap sejak tadi. Aku malah memikirkan semua yang terjadi tadi. Pantas saja Kak Harun tidak suka kami meladeni Yuli, urusannya jadi panjang. Ibunya ikut campur, ditambah lagi Yuli suka mengadu. Udah kayak anak kecil saja. Tadi pagi ibunya sampai datang dan ngatain Fitriana kurang ajar karena berani mukulin Yuli di tukang sayur. Padahal udah saling memaafkan juga sebelum pulang. Sang ibu mengungkit kejadian di masa lalu, tentang pembatalan pernikahan. Wanita seusia emak itu mengatakan jika keluarga ini belum terima dengan itu makanya mencari perkara dengan keluarga dia. Ish, padahal anaknya yang ganjen sering datang ke sini. Apa dia tidak tahu hal itu. Sampai-sampai Emak harus turun tangan untuk minta maaf, emak dibilang gak bisa didik anaknya. Harusnya dia berkaca pada dirinya sendiri. Mengesalkan sekali. Ternyata selain nekat wanita itu juga suka mengadu sep
"Tapi kenapa, Mbak? Nggak boleh kah?" Aku memotong ucapannya. "Di rumahku nggak senyaman di rumah Emak, Dek," terang Mbak Zainab. Pandangannya kembali menatap hamparan pasir putih. Seperti menyimpan sesuatu, entah apa. Apa memang segitu keberatannya menampung orang lain di rumahnya. Kenapa? "Aku selalu nyaman jika ada Kak Harun bersamaku, hehe." Aku menjawabnya sambil tertawa. Aku mengatakan yang sebenarnya, di manapun berada, jika ada suamiku aku akan nyaman dan aku akan mengajak serta Kak Harun bersamaku menginap di rumah Kakak."Aku ingin merasakan menginap di mana saja, boleh ya, Mbak," pintaku memohon. "Bilang dulu sama, Harun, ya." Akhirnya Mbak Zainab seperti mengijinkan diriku. "Siap." Kami kembali diam, tengelam menikmati indahnya ciptaan ilahi. Menatap laut yang tak berujung, membuat mata dan hati seakan tentram. Aku ingin mengenal Mbak Zainab lebih dekat, akan jauh lebih baik jika aku bisa membuatnya berubah. Berubah menjadi wanita yang lebih baik dari sekarang. Mau
Suara pisau beradu dengan talenan mendominasi di dapur ini. Aku saat ini sudah berada di rumah Mbak Zainab, pada akhirnya Kak Harun mau membawaku menginap di rumah Mas Bayu setelah aku bujuk dan aku kasih tahu niatku. Siang tadi saat Mas Bayu pulang dari keliling, aku melihat sayuran yang tersisa dan meminta Mbak Zainab untuk membuat bakwan sayuran. Mas Bayu sudah mulai bekerja sejak hari ke lima lebaran, banyak ibu-ibu yang sudah memintanya untuk berjualan kembali. Malah katanya banyak yang memesan cangkang ketupat.Aku dengan semangat empat lima menyiangi sayuran dan kemudian memotongnya kecil-kecil, sedangkan Mbak Zainab menyiapkan bumbu halus. Kami sibuk dengan pekerjaan masing-masing tanpa banyak bicara. Tadi pagi, begitu sampai di rumah ini, aku langsung disambut dengan baik oleh Mbak Zainab. Terlihat jelas jika kakak iparku itu tidak ingin membuatku tidak nyaman berada di rumahnya. Rumah mungil dengan dua kamar menjadi hunian Mbak Zainab dan keluarganya. Aku dan Kak Harun ak
"Kenapa, Dek!" Mbak Zainab bergegas menghampiriku yang menjerit kesakitan. Tak lama kemudian menyusul Kak Harun dan Mas Bayu masuk ke dapur. "Ada apa?" Keduanya kompak mengajukan pertanyaan yang sama. "Kecipratan minyak panas," aku meringis menahan rasa panas yang lumayan di punggung tangan kiriku.Sambil bercanda dan saking semangatnya membalik bakwan tersebut, tak sengaja minyak panas itu menciprat cukup banyak dan mengenai tangan kiriku. "Ya ampun, kok bisa sih," ucap Kak Harun sambil memegang pergelangan tanganku. Pria itu lantas membawaku ke kamar mandi dan menyiram bekas minyak panas tersebut dengan air mengalir. Rasa dingin langsung menjalar di punggung tanganku, menggantikan rasa panas yang mendominasi tadi. "Masih panas?" Tanya Kak Harun sembari meniup punggung tanganku. Wajahnya terlihat khawatir. "Masih, tiup lagi," rengekku manja. Padahal rasanya sudah tidak sepanas dan sesakit tadi, hanya saja aku senang melihatnya meniup dan melihat wajahnya yang khawatir itu. "
"Mbak Alya mau jualan, Mbak? tanya Fitriana tida percaya. " Mau jualan apa?" Sambungannya dengan penasaran. "Bukan buat aku sih, tapi buat dagangan Mbak Zainab.""Memangnya Mbak Zainab mau jualan apa? Kok dia gak bilang sendiri ke aku.""Keripik-keripik gitu, makanan kering. Itu loh keripik yang dari umbi warna hitam. Mungkin Mbak Zainab sungkan sama kamu, jadi aku saja yang mewakilinya."Fitriana menganggukkan kepalanya, memahami arah pembicaraanku. Gadis itu nampak diam dan berpikir. "Boleh juga tuh, tambahin keripik yang lain juga boleh, Mbak. Di sini tuh suka laku yang keripik tempe dibikin tipis banget itu dan digoreng kering, jadi tahan lama. Terus keripik pisang, daun bayam, belut ...."Fitriana menyebutkan semua jenis makanan yang bisa diolah menjadi makanan kering ala-ala jenis makanan oleh-oleh. "Nanti dikasih label, terus dijual online. Kalau banyak peminat, kita bisa bikin usaha sendiri dengan merek sendiri. Kan keren," sambungnya dengan antusias. Sepertinya anak ini m
Rasanya, menetap di kampung ini tidak mungkin. Kami tetap harus kembali ke kota Jakarta. Pulang sesekali ke kampung, atau biasa disebut dengan pulang kampung adalah moment yang seru. Aku dan Kak Harun akan menikmatinya saja seperti ini. Menikmati kebersamaan dengan mereka -semua keluarga di sini- sesekali saja, aku pernah dengar istilah saudara itu jika jauh bau bunga tapi dekat bau kotoran. Keseruan yang tercipta di antara kami, salah satu faktor pendukungnya adalah jarak yang memisahkan dan rasa kerinduan. Ah iya, masalah Mbak Dewi, wanita yang pernah curhat padaku malam itu juga sudah dapat solusi. Banyak orang yang memiliki nasib sama, banyak yang mau berbagi tips dan trik menghadapi datangnya bulan suci Ramadhan tanpa rasa was-was. Mbak Dewi sangat terharu dengan semua masukan dari nitizen yang rata-rata adalah wanita. Terimakasih semuanya ( ini beneran yaa, hehehe) "Bagaimana kalau kita bikin sesi curhat juga, Mbak?" Usul Fitriana saat melihat Mbak Dewi begitu senang dengan k