Afifah masuk ke warung milik orang tua Laily dengan kesal dan tanpa salam, kemudian gadis itu membanting tas punggungnya begitu saja di samping meja lesehan.Afifah tentu saja berani melakukan hal tersebut karena di tempat itu hanya ada Laily seorang, jika saja ada kedua orang tuanya ataupun pelanggan, tentu Afifah tidak akan berani melakukannya.Orang tua Laily berjualan mie ayam dan bakso di sebuah lapak pinggir jalan. Sebenarnya jarak warung dan kampusnya cukup jauh, tapi karena rasa kesalnya pada Mayang, membuatnya jauh-jauh datang ke tempat itu. Mendatangi sahabatnya, Laily. Warung ini adalah sebuah bangunan yang cukup luas, menyatu dengan rumah orang tua Laily. Gerobak dagangan berada di teras, sedangkan orang-orang yang makan akan masuk ke bagian dalam bangunan. Para pelanggan akan makan dengan posisi lesehan. Halaman bangunan tersebut cukup luas dengan beberapa pohon mangga di depannya, pepohonan yang rindang itu membuat suasana lebih sejuk. Selain itu halamannya juga digun
"Kalau bukan Kakak, lalu siapa, Kak?" Mayang mengulang perkataan Syahid yang terpotong. "Bukan siapa-siapa." "Kak!" Seru Mayang, masih berusaha meminta penjelasan. Bagaimanapun juga, tentu saja dia penasaran dengan seseorang di balik perkataan teman kampusnya itu. Kalau bukan dia siapa, Mayang jadi memikirkan semua teman laki-laki yang mungkin dekat dengan Syahid. Apa ada salah satu diantara mereka. Kenapa tidak bicara langsung saja padanya, kenapa harus lewat perantara. "Aku datang ke sini hendak menawarkan bantuan, bukan untuk memberikan penjelasan. Mau gak aku antar, daripada jalan kaki. Udah dua hari ini kamu terlihat jalan kaki, kalian marahan?""Bukan urusan Kakak.""Okelah, bukan urusanku. Jadi mau nggak aku antar. Kamu sok-sokan menolak aku antar tapi malah pacaran.""Aku bilang, aku gak pacaran, Kak.""Lalu apa namanya kalau kamu suka sama seseorang dan berinteraksi dengannya.""Kami hanya berteman.""Okelah, teman. Teman tapi mesra.""Sana pergi kalau mau bikin aku tamba
"Mayang sudah punya pacar. Sudahlah, Mas! Tak perlu mengejar, menunggu ataupun mengharapkan dia," seru Syahid seraya menghempaskan bobot tubuhnya ke atas kursi ruang tamu. Rasa kesal mendominasi hatinya sepulang dari mengantarkan Mayang tadi. Syahid merasa usahanya akan sia-sia karena gadis itu mengatakan kalau dia sudah mengagumi seseorang. "Darimana kamu tahu?" tanya sang Kakak penasaran. Laki-laki yang di panggil Mas itu adalah Kakak laki-laki Syahid. "Dia yang mengatakan sendiri kalau sedang mengagumi seseorang.""Kagum belum tentu pacaran, Syahid.""Lalu namanya apa!" Seru Syahid dengan kesal. Entah kenapa Kakaknya ini bisa tertarik dengan wanita seperti Mayang, hanya karena terpesona pada pandangan pertama. Kagum dengan pemikiran dan kedewasaannya. Sampai-sampai dia harus jadi tumbal, bertanya tentang kesiapan Mayang untuk menikah. Dan sekarang dia dianggap mengejar-ngejar wanita keras kepala itu. "Kalau kamu suka sama dia, datangi langsung saja bapaknya, Mas. Jangan kayak
Tepat saat Mayang membuka pintu kosan, terlihat olehnya laki-laki sedang duduk di atas motor, seolah menunggu dirinya. Waktu sudah beranjak malam. Tadi saat hendak keluar kamar, dan melihat jam yang ada di ponselnya menunjukkan angka 20.30, tergolong malam untuk ukuran kota kecil seperti kotanya ini. "Kakak nungguin Afifah?" tanya Mayang, begitu jarak mereka sudah cukup dekat.Bukan tanpa sebab Mayang bertanya begitu. Syahid sendiri mengatakan kalau dia tidak tertarik pada Mayang. Pria itu bertanya tentang kesiapan Mayang menikah saat di kantin dulu, karena disuruh seseorang. Kemudian tadi siang dia melihat pemuda itu berbicara dengan Afifah, tentu saja membuat Mayang berpikir kalau Syahid mungkin saja mencari temannya, Afifah."Naiklah aku akan mengantarmu ketemu dengan Afifah, tunjukkan jalannya," sahut Syahid tanpa mau menjawab pertanyaan Mayang."Dari mana kakak tahu aku akan bertemu dengan Afifah.""Sudah naik saja tidak perlu banyak bertanya aku akan mengantarmu daripada kamu n
"Dialah permata yang dicari...." Afifah bersenandung, menyanyikan lagu nasyid yang digemari oleh Mayang.Mayang mendengus kesal merasa dikerjai oleh sahabatnya. Bibirnya cemberut, matanya mendelik pada Afifah. "Sudahlah, toh kamu tidak mau dengan laki-laki itu, kan. Untuk apa kamu mengenalnya," celetuk Laily."Penasaran saja, Ly," sahut Mayang dengan wajah masih cemberut."Kalau pengen tahu, bilang saja sama Kak Syahid, suruh pria itu menampakkan diri. Kenapa kamu tidak coba bertemu dengannya saja, siapa tahu suka," sela Afifah. "Aku belum siap menikah, kan dia menanyakan kesiapan pernikahan. Aku tidak mau memberi harapan pada anak orang," sahut Mayang. "Tidak siap menikah tapi siap pacaran," gerutu Afifah. " Aku gak pacaran, Mey. Mulai deh," sahut Mayang. "Sudah, sudah, tidak usah berdebat lagi. Lebih baik kita tidur. Dan besok segera angkat kaki dari rumah ini." Laily melerai perdebatan mereka. "Kamu mengusir kami?" seru Afifah dan Mayang bersamaan. Laily tidak menjawab, hany
"Kenapa Kakak menanyakan hal itu? kak Furqon udah siap nikah?" Mayang balik bertanya. "Belum sih, masih mau lanjut S2.""Terus kenapa malah mau pergi dari kota ini, bukankah Kak Furqon bisa juga lanjut S2 di tempat Kakak menuntut ilmu sekarang.""Aku akan S2 di Madinah."Hening. Sesaat yang lalu, Mayang merasa bahagia dengan gombalan dan angan tentang Furqon. Namun saat mendengar perkataan lelaki itu, yang hendak melanjutkan studi di Madinah membuatnya bersedih. Butuh waktu beberapa lama mereka terpisah jarak yang begitu jauh. Apa Furqon akan tetap ingat padanya saat berada di kota tempat Masjid Nabawi itu berada. "Aku akan tetap menghubungimu meskipun ada di sana," ucap Furqon, seakan dia bisa membaca kekhawatiran Mayang. "Aku akan memberitahumu nomor baruku, kamu juga bisa menghubungiku lewat media sosial," sambungnya lagi. "Atau kamu mau aku beri nomor telepon Kakak perempuanku, biar kamu bisa telponan dengannya?" Lagi, Furqon berusaha meyakinkan Mayang, karena tidak ada jawaban
Motor yang dikendarai oleh ojek pangkalan menebus jalanan kota kecil ini. Hendak mengatarkan seorang gadis bertemu kekasih hati. Mayang akhirnya memutuskan untuk mengikuti ajakan Furqon bertemu dengannya tanpa Afifah. Awalnya Furqon menawarkan untuk menjemputnya, tapi gadis itu memilih untuk menemuinya dan mereka bertemu di tempat biasa, di depan Masjid Agung Kota.Saat Mayang turun dari kendaraan roda dua tersebut, dari tempatnya berdiri, di pinggir jalan, gadis itu sudah bisa melihat seorang pemuda sedang menunggunya di tangga masjid. Senyum mengembang saat matanya bersitatap dengan mata Mayang. Membuat jantung gadis itu ikutan berdebar kencang. Pelan, Mayang mengayunkan langkah menuju tempat di mana Furqon sedang menunggunya. Saat jarak mereka sudah cukup dekat, Furqon menuruni tangga untuk menghampiri Mayang di anak tangga paling bawah. "Sudah lama menunggu, Kak?" tanya Mayang tanpa berani menatap wajah pria yang ada di depannya."Belum terlalu lama, ayo!" ajak Furqon sambil ber
Furqon tersenyum melihat Mayang yang terlihat tegang, kepalanya menunduk dalam-dalam. "Aku hanya bercanda, aku akan menyimpannya saat nanti kita sudah terikat dengan janji suci." Furqon berkata sambil melangkahkan kakinya mundur ke belakang.Mayang mengangkat wajahnya dan menarik nafas lega. Bagaimana jadinya jika pria itu benar-benar mengajaknya melakukan hal tersebut. Apa dia akan sanggup menolaknya. "Ayo pergi dari sini sebelum kita ikutan kesambet," ajak Furqon sambil tertawa. Mayang mengikuti langkah kaki Furqon, mereka keluar dari taman tersebut. Taman itu memang sangat nyaman, sejuk dan juga tenang, tapi ternyata di dalamnya menyimpan sesuatu yang tidak bisa dibayangkan. "Ngobrol di sana, yuk!" ajak Furqon sambil menunjuk tempat orang berjualan makanan yang ada di seberang jalan. Warung itu tidak terlalu ramai, tampak luas dan bersih. Furqon mengulurkan tangannya pada Mayang saat hendak menyeberang jalan. Mayang menatap ke arah Furqon tanpa berniat menyambut uluran tangan