Share

Mempersiapkan Ritual

Dalam beberapa hari berikutnya, suasana Desa Tumbal yang biasanya tenang menjadi sangat sibuk dan penuh semangat. Danu, Sari, Pak Tarman, dan warga desa lainnya bekerja keras, wajah mereka menunjukkan campuran tekad dan ketakutan saat mereka mempersiapkan ritual yang akan menentukan nasib desa mereka.

Danu sibuk membaca teks kuno yang mereka temukan di kuil terlarang, alisnya berkerut karena konsentrasi saat ia mempelajari detail-detail ritual dan artefak yang diperlukan untuk menenangkan roh hutan. Sari dan Ujang berkeliling desa, mengumpulkan relik dan barang-barang suci yang diperlukan, gerakan mereka cepat dan penuh tujuan.

Pak Tarman, dengan wajahnya yang sudah tua dan lelah, mengkoordinasikan usaha para warga desa, memastikan setiap detail diperhatikan dengan teliti. Penduduk desa yang dulunya ragu-ragu kini bekerja dengan semangat baru, mata mereka bersinar dengan harapan yang sudah lama hilang.

Seiring dengan berjalannya persiapan, Danu tidak bisa tidak merasa kagum dengan perubahan yang terjadi. Penduduk desa yang dulunya putus asa sekarang sudah berani dan bertekad untuk mematahkan kutukan yang sudah lama menghantui mereka.

"Luar biasa, ya?" kata Sari dengan suara pelan saat berdiri di samping Danu, melihat aktivitas di sekitar mereka. "Melihat semua orang bersatu seperti ini, menghadapi kebenaran, dan berjuang untuk kebebasan mereka."

Danu mengangguk, melihat ke arah keramaian. "Ya, dan ini semua karena keberanianmu, Sari, dan kepercayaan yang Pak Tarman berikan kepada kita. Tanpa keberanianmu untuk menghadapi kegelapan, semua ini tidak akan mungkin terjadi."

Mata Sari berkaca-kaca, dan dia meraih tangan Danu dengan penuh terima kasih. "Bukan hanya aku, Danu. Kamu juga sudah mempertaruhkan segalanya untuk membantu kami, untuk mengungkap kebenaran yang sudah lama tersembunyi. Kita bersama-sama dalam hal ini, dan aku tahu dengan bantuanmu, kita bisa mematahkan kutukan ini."

Danu meremas tangannya, ekspresinya melunak. "Kalau begitu, mari kita pastikan kita melakukannya dengan benar. Taruhannya terlalu tinggi untuk gagal."

Hari demi hari berlalu, penduduk desa bekerja tanpa henti, tangan mereka kapalan karena kerja keras saat mereka mempersiapkan ritual. Danu, Sari, dan Ujang menghabiskan banyak waktu mempelajari teks kuno, menguraikan detail ritual dan persembahan yang diperlukan untuk menenangkan roh hutan.

Pak Tarman, dengan campuran kecemasan dan tekad di matanya, mengawasi seluruh proses, suaranya lantang saat mengarahkan tugas-tugas warga desa. Udara dipenuhi dengan aroma dupa dan suara nyanyian, saat semua orang bersatu dalam semangat yang belum pernah Danu saksikan sebelumnya.

Suatu malam, saat persiapan akhir sedang dilakukan, Danu berdiri di samping Pak Tarman, melihat wajah-wajah serius para penduduk desa.

"Apakah Bapak yakin ini akan berhasil, Pak Tarman?" tanyanya dengan suara rendah dan ragu. "Teks itu jelas menyebutkan kebutuhan akan pengorbanan manusia. Bagaimana kita bisa yakin bahwa roh akan tenang tanpa itu?"

Pak Tarman menoleh ke arah Danu, ekspresinya sulit ditebak. "Sebenarnya, saya tidak tahu, anak muda. Perjanjian itu selalu menuntut nyawa manusia, dan nafsu roh itu tak terpuaskan. Tapi kita tidak punya pilihan lain selain mencoba cara yang berbeda."

Danu merasa dingin menjalari punggungnya, beban tanggung jawab yang mereka emban terasa berat di pundaknya. "Dan jika kita gagal? Apa yang akan terjadi?"

Pak Tarman menghela napas panjang, melihat ke cakrawala. "Maka amarah roh itu akan dilepaskan, dan desa kita akan hancur oleh kemarahannya. Kita harus berhasil, Danu. Nyawa rakyat kita bergantung pada keberhasilan ini."

Danu mengangguk, tekadnya menguat. "Kalau begitu, kita pastikan kita berhasil. Saya tidak akan mengecewakan rakyat Bapak, Pak Tarman. Tidak setelah semua yang mereka lalui."

Kepala desa itu menatap Danu dengan hormat yang baru, bibirnya melengkung dalam senyuman kecil penuh terima kasih. "Saya tahu, anak muda. Dan saya berterima kasih dari lubuk hati saya atas keberanian dan tekadmu. Tanpa kamu dan Sari, kami sudah lama hilang harapan."

Saat matahari mulai terbenam, menyinari desa dengan cahaya keemasan yang hangat, para penduduk desa berkumpul di alun-alun pusat, wajah mereka serius dan gerakan mereka khidmat. Danu, Sari, dan Ujang berdiri bersama Pak Tarman, artefak dan relik kuno terhampar di hadapan mereka, berkilauan dalam cahaya yang memudar.

Mata Sari menyapu pertemuan itu, ekspresinya tegas. "Waktunya telah tiba," ia mengumumkan, suaranya jernih dan tegas. "Malam ini, kita akan menghadapi roh hutan dan mematahkan kutukan yang sudah lama menghantui desa kita."

Penduduk desa bergumam setuju, suara mereka bercampur dalam paduan suara tekad. Pak Tarman maju, tangannya terangkat sebagai tanda perintah.

"Rakyatku," ia memulai, suaranya menggema di seluruh alun-alun, "jalan di depan penuh bahaya, tapi kita tidak punya pilihan selain menempuhnya. Malam ini, kita akan mempercayakan diri pada kebijaksanaan nenek moyang kita dan kekuatan artefak kuno. Bersama-sama, kita akan menghadapi roh hutan dan merebut kembali kebebasan kita."

Penduduk desa bersorak dengan semangat, tangan mereka mengepalkan udara dengan tujuan baru. Danu merasakan kebanggaan dan kekaguman mengalir dalam dirinya, dan dia tahu bahwa saat ini, orang-orang Desa Tumbal bersatu, siap menghadapi tantangan terbesar mereka.

Saat sinar terakhir matahari tenggelam di balik cakrawala, penduduk desa berkumpul di sekitar barang-barang suci, tangan mereka dengan hormat menelusuri ukiran dan simbol yang rumit. Pak Tarman berdiri di tengah, suaranya mengalun dalam nyanyian khidmat, kata-kata kuno bergema dalam keheningan malam.

Danu, Sari, dan Ujang ikut serta dalam ritual itu, suara mereka menyatu dengan yang lain, tubuh mereka bergoyang seirama dengan irama nyanyian. Udara semakin tebal dengan aroma dupa dan getaran energi, dan Danu merasakan antisipasi dan kecemasan menguasainya, seolah-olah dunia sedang menahan napas.

Saat nyanyian mencapai puncaknya, penduduk desa mulai meletakkan artefak dan relik yang telah dikumpulkan di dasar pohon kuno yang menjulang tinggi, gerakan mereka teliti dan khidmat. Danu mengamati, jantungnya berdebar kencang, saat barang-barang itu diatur dengan hati-hati, masing-masing dipilih dengan tujuan tertentu.

Pak Tarman maju, pandangannya menyapu kerumunan yang berkumpul. "Persembahan sudah lengkap," ia menyatakan, suaranya serius. "Sekarang, kita harus menunggu dan melihat apakah roh hutan akan menerima persembahan kita."

Penduduk desa terdiam, mata mereka tertuju pada pohon, tubuh mereka tegang dengan antisipasi. Danu merasakan tangan Sari meraih tangannya, dan ia meremasnya dengan lembut, memberikan senyuman menenangkan.

"Kita sudah sejauh ini," bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar. "Kita tidak bisa mundur sekarang."

Sari mengangguk, ekspresinya tegas. "Aku tahu. Apa pun yang terjadi, kita akan menghadapinya bersama-sama."

Menit demi menit berlalu, udara tebal dengan ketegangan, hingga tiba-tiba, suara gemuruh dalam terdengar di seluruh alun-alun, menyebabkan tanah di bawah kaki mereka bergetar. Danu merasakan dingin menjalari punggungnya, dan ia secara naluriah menarik Sari lebih dekat, matanya mengamati bayangan untuk mencari tanda-tanda roh hutan.

Saat gemuruh semakin keras, penduduk desa mulai mundur, wajah mereka menunjukkan campuran ketakutan dan kekaguman. Danu, Sari, dan Ujang tetap terpaku di tempat, pandangan mereka tertuju pada pohon yang menjulang tinggi, tempat persembahan yang mereka siapkan dengan susah payah berdiri dalam penjagaan sunyi.

Dan kemudian, tanpa peringatan, roh hutan muncul, bentuknya yang menjulang tinggi melemparkan bayangan besar di atas desa. Danu merasa napasnya tertahan di tenggorokannya, kekuatan dan keagungan makhluk itu membuatnya kagum dan sangat ketakutan.

Inilah saatnya, momen kebenaran. Nasib Desa Tumbal sekarang berada di tangan roh hutan kuno, dan Danu tahu bahwa hasil konfrontasi ini akan menentukan masa depan seluruh komunitas.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status