Brata mengandeng tangan Septi dan Bagus di sepanjang koridor menuju Apartemennya. Jantungnya berdegup kencang. Dia bisa membayangkan betapa senangnya Jesica saat dia menghadirkan Menantu dan cucunya.Dan juga Brata yang sedari tadi memikirkan kata-kata yang tepat untuk memaafkan ibunya. Merelakan apa yang terjadi di masa lalu dan membuka lembaran baru. Tidak mudah memang. Tapi, dia melakukannya demi Septi dan juga Bagus.Sampailah di depan pintu apartemennya, Brata memegang sebuah kartu untuk membuka pintunya. Dia bahkan terlupa untuk meninggalkan kunci cadangan jika sewaktu-waktu Jesica ingin keluar. Sungguh dirinya sangat keterlaluan.Ketika akan men-tap kartunya, dia menengok ke arah Septi. Terlihat wanita itu mengangguk pelan. Pertanda dia mendukung penuh keputusan baik suaminya. Brata menghela nafas lega. Setelah men-tap kartu, dengan perasaan berdebar, dia membuka pintunya.Brata mengedarkan pandangan. Tidak ada tanda-tanda Jesica. Dia pun membuka pintu selebar-lebarnya. Mempers
Jesica menatap lemah ke Brata yang sedang menggenggam tangannya. Sudut pipinya terangkat melihat wajah Brata yang tersenyum ke arahnya. Menyejukan hatinya.“Mama, maafkan aku, Ma.” Mata Jesica sembab. Tidak menyangka kalau permintaan maaf terlontar dari mulut anak semata wayang. Apalagi, saat dirinya dipanggil Mama.“Buat apa minta maaf, kamu tidak salah Nak. Mama yang salah karena tidak perduli denganmu,” lirih Jesica. Lihatlah Jesica begitu membuka hatinya kepada Brata, kenapa Brata tidak melakukan sebaliknya. Maka dengan begitu hubungan mereka akan membaik.“Kita mulai dari awal ya, Ma,” ucap Brata dengan sepenuh hati. Mamanya mengangguk perlahan. Brata merentangkan pelukannya di atas Jesica.Septi menatap haru. Akhirnya sang suami bisa berdamai dengan masa lalunya. Memang tidak mudah mengiklaskan masa lalu, tapi Septi tahu kalau suaminya itu berusaha keras untuk menghapus semuanya.“Oh, iya. Kenalin Ma, ini Septi menantu Mama,” ucap Brata setelah melepas pelukannya. Septi mengangg
“Tolong, buatkan saya kopi,” ucap Brata di ujung telfon. Terdengar suara merdu yang membalas. Tidak salah lagi itu adalah suara Dinda.Setelah memastikan Jesica terlelap, dia langsung mengambil laptopnya. Mengerjakan laporan mengenai kinerja perusahaan untuk disampaikan kepada Pemegang saham. Dia mengerjakannya di kamar itu. Sembari mengerjakan, juga bisa mengawasi ibundanya.Brata melepas bajunya dan meletakannya di punggung sofa. Suhu ruangan yang lebih tinggi dari biasa, membuatnya kegerahan. Kemudian, baru dia bisa tenang mengerjakan laporan.Suara ketukan terdengar, Brata menghentikan kegiatannya dan mengendap menuju pintu. Dia menyimpan suara lantangnya supaya tidak mengusik ibunya yang sedang terlelap.Seorang gadis bak bidadari berdiri di ambang pintu. Dinda terlalu cantik memakai pakaian seperti itu, batin Brata selalu, kalau bertemu dengan Dinda.Sedangkan Dinda terlihat salah tingkah. Wajahnya bersemu merah ketika mengingat kejadian waktu itu. Dinda yang larut akan kerindu
Kondisi kesehatan Jesica semakin membaik. Hal itu tentu menjadi kabar gembira untuk Brata dan sekeluarga. Benar apa kata Septi, tidak membutuhkan waktu lama bagi Jesica untuk pulih karena berada dalam kehangatan keluarga. Terbukti, Jesica sudah pulih seperti sedia kala.Ini berarti, Brata harus menyiapkan semuanya untuk segera terbang ke Australia. Sungguh berat bagi Brata untuk meninggalkan Septi. Tetapi apa boleh buat, dia harus mengantarkan Ayahnya sampai ke liang lahat.Brata mencari Septi untuk berpamitan. Dia mencari ke seluruh penjuru mansion. Namun tidak kunjung menemukannya, sampai telinganya mendengar percakapan di kamar Dinda,“Kenapa kamu tidak menggoda suami saya untuk bercinta.” Suara lembut nan berwibawa adalah istrinya. Dahinya berkerut. Apa maksud dari perkataan istrinya.“Maaf Nyonya, saya tidak mau berbuat seperti itu. Saya sudah menganggap Pak Brata sebagai ayah saya sendiri.”Brata langsung muncul di ambang pintu, mengagetkan mereka berdua.“Apa maksud perkataanmu
“Nyonya, maafkan saya,” ucap Dinda setelah diizinkan masuk oleh Septi di dalam kamarnya. Sedari pagi tadi, Septi mengurung diri di dalam kamar. Tidak berhasrat untuk melakukan kegiatan apapun.“Enggak apa-apa, Dinda. Aku yang salah. Tidak seharusnya aku meminta kamu melakukan hal itu. Aku memang orang yang egois,” bibir Septi bergetar. Dia terlalu kalang kabut pada saat itu. Takut kalau Brata sampai selingkuh. Maka daripada dia selingkuh dengan orang yang tidak jelas di luar sana, dengan ceroboh ia meminta Dinda untuk menggoda suaminya yang justru berakibat fatal. Brata menjadi sangat kecewa, juga dia yang hampir merenggut masa depan Dinda.“Tidak, Nyonya. Saya tahu niat Nyonya sangat baik kepada Pak Brata, Tapi, saya memang tidak sanggup melakukannya karena Pak Brata sudah kuanggap sebagai ayah sendiri,” sahut Dinda polos. Septi menatap dua manik yang terlihat sangat indah di usia ranumnya. Ya Ampun, dia terlalu jahat kalau mengira Dinda adalah wanita-wanita di luar sana yang gampang
Perth,“Thanks a lot, Honey. You made my day.” Delinda bergelayut manja di pundak kekar Brata. Di tangannya ada dua buah botol Wine versi mereka. Delinda tampak puas karena ikut meracik Wine itu bersama Brata tersayang. Keinginan yang lama terpendam terkabul berkat Brata. Mengunjungi indahnya perkebunan Anggur yang menjadi asal muasal Wine terbaik di dunia, dan yang paling mengesankan adalah kesempatan untuk ikut kecimpung dalam pembuatannya.“Everything I do for you, Honey,” balas Brata. Dia senang karena bisa meluangkan waktu dibalik kesibukannya sebagai design interior. Kepercayaan client yang begitu tinggi, membuat jadwalnya selalu padat. Konsekuensinya adalah kebersamaan yang kurang dengan Delinda.“Maafkan aku, Honey. Baru bisa menemanimu sekarang,” lirih Brata. Mendengar suara yang terdengar sendu, Delinda menegakkan badan. Meletakan kedua botol Wine di jok belakang mobil, dan memberikan perhatian sepenuhnya kepada Brata. “Brata, tidak perlu meminta maaf. I know you have a goo
“Rangga, tolong temani saya di taman pusat kota. Saya ingin jalan-jalan ke sana,” pinta Septi. Rangga terdiam sejenak. Bukannya mau menolak. Tadi ketika akan sampai ke mansion, dia sempat melihat mobil jeep yang terparkir dari jalan masuk menuju mansion. Rangga tidak melakukan apa-apa karena mobil itu jeep itu hanya diam dan tidak melakukan gerakan mengancam. Tetapi dia sangat yakin kalau ada yang mereka rencanakan.“Rangga, kok diam?”“Enggak apa-apa, Nyonya. Baik kalau begitu pakai mobil saya saja,” ucap Rangga. Dia tidak ingin membicarakan hal macam-macam di depan majikannya yang sedang hamil. Terlebih, kondisi majikannya yang memang sedang stress mengingat pertengkaran dengan sang suami.“Sebentar, saya panggil Dinda dulu,” Baru saja akan memanggil, Gadis itu muncul dari belakang.“Iya, Mama.”“Temani Mama ke taman pusat kota yuk.”“Boleh, Ma. sebentar aku bangunin PraBrata dulu.”“Jangan! Kasihan dia kecapekan karena kegiatan outdoor di sekolah. Biarkan saja. Lagian, Cuma sebenta
“Maafkan saya, Nyonya,” ucap Rangga sambil melirik dari kaca spion tengah. Septi hanya tersenyum mafhum.“Ngapain kamu minta maaf. Justru saya berterima kasih sama kamu. Karena kamu sigap melindungi kami. Tapi, yang saya heran. Kenapa sikap Alex mendadak bisa semanis itu.” Septi terkekeh sambil menoleh ke arah Dinda yang semerah tomat.“Sebenernya dia siapa Ma?” tanya Dinda.Ketika Rangga akan menyahut dengan nada tinggi, Septi sudah terlebih dahulu bicara,”Cuma rekan bisnis saja kok.”Rangga mendengus sebal. Kenapa Majikannya justru malah menutupi siapa sejatinya Alex yang sangat berbahaya itu.“Iya, tapi Non Dinda harus hati-hati dengan Alex. Dia orang jahat,” sambar Rangga tanpa memperdulikan Septi protes atau tidak. Dia sudah terlanjur kesal dengan kebiadapan Alex selama ini.Septi menahan tawa, bukan karena Rangga yang masih kesal dengan Alex. tapi, Lihatlah rona wajah Dinda yang semerah tomat. Sikapnya yang malu-malu membuat Septi gemas. Mungkin Septi tidak bisa membaca pikiran