Ini ... bukan rumah khusus. Ini rumah bordil.Mata Faryn mendelik sempurna begitu melihat bagian dalam rumah itu. Orang-orang dengan pakaian minim dari berbagai jenis usia dan campuran antara pria dan wanita, berjejer di atas sebuah etalase.Mereka barang yang dipamerkan dalam pagelaran pameran."Pak ... ini ...," Faryn tidak bisa menyelesaikan ucapannya."Ah, saya lupa memberitahu kamu. Kita di sini hanya akan berkunjung. Hari ini kita akan menjadi tamu."Penuturan Bahari sama sekali tidak menjelaskan apapun. Dan apa barusan dia bilang? Hari ini mereka menjadi tamu?Apa itu berarti di hari lain mereka akan menjadi 'pembeli'?Bahari yang melihat ketercengangan Faryn, menarik pinggul wanita itu, menggiring langkahnya ke sebuah meja. Setiap etalase terpisah oleh sebuah jalan kecil bagi 'pengunjung' untuk berkeliling mencari yang mereka minati.Faryn melewati setiap etalase dengan memperhatikan setiap orang di dalamnya. ada yang hanya diam seperti patung dan ada juga yang menahan tangis.
"Maksud Anda Linggar?"Saba mengangguk. "Yah, saya nggak menyangka Linggar akan tumbuh menjadi pria tampan dan cerdas. Meski dari kecil memang sudah terlihat dia memiliki kemampuan yang dibutuhkan sebagai seorang pemimpin. Saya penasaran pendidikan seperti apa yang diajarkan Bahari pada anaknya."Faryn berusaha menenangkan dirinya. Tangannya menggenggam erat rok yang dikenakannya. Ada pemikiran-pemikiran yang berseliweran saat mendengar nama Linggar. Mungkinkah dia ingin menjual Faryn pada Saba saat perjanjian mereka usai?"Melihatnya dan berbicara dengan Linggar secara langsung, bisa membuat lawan bicara mempercayai kata-katanya. Mungkin karena itu dia memperoleh kesuksesannya. Orang-orang tentu mengantri untuk bekerjasama dengan perusahaan yang dijalankannya. Tapi sepertinya dia sama sekali tidak tertarik pada kerjasama dengan rumah ini. Dia malah lebih tertarik sengan cerita anak yang dibawa oleh Bahari beberapa tahun yang lalu."Sekali lagi, Saba meneguk minumannya. Kali ini sampa
Ingatan Faryn tumpang tindih. Ia tidak bisa membedakan mana yang ingatan dan mana yang imajinasi. Mana yang miliknya dan mana yang sekedar cerita. Mana yang dialami secara langsung dan mana yang hanya didengar.Semuanya terasa nyata. Semua berkumpul menjadi satu bagian.Mungkin sebagian ingatannya adalah hasil dari cerita Saba. Mungkin juga tidak. Faryn kebingungan. Ia tidak bisa mengingat kenangan saat ia masih kecil.Ingatan yang terakhir dia ingat dari masa kanak-kanaknya adalah saat dia dipindahkan dari panti asuhan milik seorang wanita muda yang biasa menampung anak-anak jalanan ke panti asuhan milik seorang pemuka agama. Setelah itu ia sering berganti panti asuhan."Siapa? Anak itu siapa? Ini ... ingatan siapa?" tanya Faryn pada dirinya sendiri.Lalu sekali lagi dia memuntahkan isi perutnya di kamar mandi rumah. Setiap kali dia mencoba mengingat kenangan yang terlupakan itu, perutnya meronta. Ada bagian dari dirinya yang menolak mengingat."Aku ... siapa?"Dia mulai kehilangan d
"Hei. Nama kamu siapa?"Siapa? Suara siapa itu?Seseorang menggoyang bahunya. Suaranya terdengar ceria dan juga bersahabat. Haruskah ia menjawab pertanyaan itu?"Hei. Aku bicara sama kamu."Sekali lagi seseorang menggoyang bahunya. Perlahan wajahnya terangkat sari telungkup di atas lutut. Sudah berapa lama ya dia duduk dengan posisi ini? Satu sejam? Dua jam? Atau seharian?Tulang belakang lehernya terasa sakit saat mendongak. Matanya mencoba membuka sedikit. Cahaya yang menembus jendela menusuk matanya.Silau sekali.Ia terpaksa memejamkan kembali matanya untuk menyesuaikan keadaan. Suara kayu berderit terdengar dari sisi kanannya. Anak itu ... duduj di sebelahnya."Nama kamu siapa? Kenapa bisa ada di sini?"Kenapa? Memangnya ini di mana? Otaknya belum bisa memproses informasi apapun saat ini. Dia tidak tahu kenapa bisa di sini."Apa kamu dibawa mobil abu-abu itu juga?"Abu-abu? Seingatnya, dia tidak dibawa dengan mobil abu-abu.Hitam. Mobilnya berwarna hitam legam. Merknya ... Ia tid
"Hakam."Tangan Faryn menahan dada Hakam yang sudah hampir menekan miliknya. Tidak, dia sedang tidak menginginkan ini. Suasana hatinya sedang tidak mendukung situasi di antara mereka.Hakam yang sedari tadi mengecupi leher Faryn, menghentikan aksinya. Kepalanya terangkat, kemudian ia menyingkir dari tubuh sang istri.Ia hampir kelepasan. Entah karena hatinya yang dipenuhi kegembiraan lantaran harapannya sendiri atau karena memang sisi liarnya sedang menginginkan wanita itu.Ah, yang mana pun itu, Hakam memang tidak akan pernah puas dengan tubuh wanitanya."Maaf. Aku kebablasan.""Nggak apa."Hakam menatap langit-langit kamarnya. Jakunnya naik turun neredakan sesuatu di bawah sana. Sial, dia tidak bisa mengendalikan dirinya.Pria itu akhirnya memilih pergi ke kamar mandi tanpa kata, meninggalkan Faryn di pembaringan mereka. Dia harus bisa menuntaskan ini sendiri.Di dalam kamar, Faryn yang melihat kepergian Hakam, mulai berpikir. Benarkah ia hamil? Tapi ia tidak merasakan apapun. Seing
Mereka pulang dalam keadaan kecewa. Tidak. Hanya Hakam saja yang bersedih hati. Sementara Faryn sangat baik-baik saja. Selama di dalam mobil yang mereka kendarai, tidak ada satu pun yang memulai pembicaraan. Hakam sibuk dengan rasa kecewanya, Faryn yang sibuk menahan kantuk akibat kurang tidur semalam.Ya, di saat Hakam bisa kembali terlelap, mata Faryn malah segar dan tidak ingin tertutup. Bayangan tentang mimpinya masih terasa jelas yang membuatnya kian sulit terpejam.Beberapa kali kepalanya terantuk. Beberapa kali itu juga ia tidak jadi tertidur."Oke. Kita mulai promilnya," kata Hakam setelah beberapa lama terdiam.Kalimat itu bukan hanya memecah keheningan di antara mereka, melainkan juga membuat Faryn kembali segar."Promil?""Ya."Faryn mengamati wajah Hakam dsri samping. Pria berambut hitam itu tampak sangat semangat dan bertekad saat menjawab 'ya'. Tidak terlihat jejak kekecewaan di ekspresinya yang tersisa."Seperti kata dokter tadi. Kita bisa mulai promil dari sekarang. H
Benar saja yang dikatakan Hakam kemarin saat mereka berkendara. Pira itu benar-benar melakukan penyatuan mereka dengan dalih sebagai bentuk salah satu promil yang mereka jalankan.Memang sih, ini bukan yang pertama kali mereka melakukannya. Hanya saja, rasa-rasanya Faryn tidak ingat jika Hakam pernah sebegitu bersemangatnya saat melakukannya.Bahkan di malam pertama mereka sekali pun.Seolah pria itu kehausan selama berbulan-bulan dan baru mendapatkan minum malam itu.Masalah yang terjadi dari kegiatan mereka semalam adalah Faryn jadi kesulitan berjalan. Bukan seperti yang ditulis dalam novel-novel roman picisan yang pernah ia baca dulu. Sakit yang ia rasa ada karena Hakam yang bersemangat itu seperti tengah mengeluarkan seluruh tenaganya.Ada lebam kemerahan bercampur sedikit biru di pergelangan tangan kana Faryn, yang membuatnya jadi terasa sakit saat digerakan. Belum lagi otot pahanya yang terasa pegal luar biasa.Dan satu masalah lagi.Entah sengaja atau tidak, entah lupa atau tid
Faryn tidak berbohong saat ini. Dia hanya sedang bertaruh dengan kartu as-nya sendiri.Bahari mungkin saja tidak melepaskannya mengingat Saba uang mengatakan di malam itu sebelum si bosnya mengantar pulang."Saya rasa Bahari baru saja puber kedua. Tapi kamu bukan satu-satunya perempuan yang saat ini bersama dia. Meski dia terlihat jatuh cinta pada kamu, selama ada wanita itu, kamu nggak jadi yang hanya ada untuk dia. Kamu tentu paham maksud saya."Faryn sanhat paham. Dia hanya harus mencari tahu siapa wanita yang menghalanginya itu dan menyingkirkannya seperti mantan sekertaris Bahari.Untuk Hakam, pria itu pernah mengatakan kepadanya dia bukan orang yang akan menyerah saat menginginkan sesuatu. Terbukti dengan pernikahan mereka yang mendadak tanpa rencana yang matang.Tanpa perlu diingatkan oleh Linggar pun sebenarnya Faryn juga sudah melakukan pencegahan. Seperti meminum pil pencegah kehamilan secara diam-diam. Hanya saja ia tidak ingin Linggar berpikir bahwa dia akan selalu bisa me