"Terobsesi?" kataku dengan kening berkerut."Iya, Mak, waktu aku di Jakarta, tiap hari dia datang," kata Butet lagi.Apa iya gadis itu terobsesi pada Ucok? Apa iya ada gadis cantik, kaya dan dan berpendidikan masih terobsesi? Rasanya tidak mungkin."Kan Ucok di Jakarta, Tet, sedangkan dia mau datang ke mari," kata Bang Parlin."Siapa tahu terobsesi sama ayah, gak dapat anaknya ayahnya pun jadi," kata Butet lagi."Huhss, sembarangan ngomong kau, Tet," kata Bang Parlin yang dibalas Butet dengan tawa.Butet tetap kuliah di ibukota kabupaten. Karena jarak yang jauh dari desa, dia kos, sekali seminggu baru pulang ke desa. Dua anakku tinggal terpisah dengan kami, kami jadi seperti orang baru menikah saja, punya anak yang masih kecil. Rasanya seperti kembali ke jaman dulu. Jadi ibu rumah tangga biasa.Setelah mundur dari jabatan wakil bupati, aku punya banyak waktu luang, setiap hati teleponan sama Ucok dan Butet, menanyakan tentang kuliah mereka, kegiatan mereka, bahkan makam mereka, aku
PoV ButetMamak akhirnya mundur dari jabatannya. Kami terpaksa pindah ke desa lagi, jadilah aku harus tinggal di kos, karena jarak dari desa ke ibukota kabupaten sangat jauh. Aku makin repot, akan tetapi aku tetap mendukung mamak mundur, karena memang terlalu banyak tantangannya. Mamak terlalu jujur jadi pejabat, sehingga banyak musuhnya.Sabtu siang, aku pulang ke desa, begitu aku aku sampai Bang Sandy sudah datang dengan informasi barunya, ada menteri dan beberapa anggota dewan ditangkap karena korupsi. Kemudian datang lagi Bang Umar, informasi dari polisi ini lebih mengejutkan, dia mau nikah dengan Salsabila.Sungguh aku tidak rela, jika polisi sebaik Bang Umar harus nikah dengan Salsa aku kenal betul Salsa. Akan tetapi Bang Umar lagi-lagi mengatakan tujuannya hendak melamarku. Ayah langsung menggunakan hak veto -nya, tanpa bertanya padaku dan pada mamak, ayah langsung menolak.Sampai akhirnya polisi itu pamit dan akan berangkat ke Jakarta memenuhi panggilan orang tua angkatnya."B
PoV UcokMamak mundur dari jabatannya, aku sebenarnya sedikit kecewa, karena pejabat jujur berkurang satu. Mamak jadi ikut mengantarku ke Jakarta. Aku juga berjanji pada mamak akan jadi anak yang baik. Aku bertemu Salsabila lagi, kini dia diangkat Pak Ali Akhir jadi anak. Dia kini sudah berubah, jadi anak baik yang mau belajar agama. Dipikir-pikir kasihan juga Salsabila, di usia segitu dia sudah mengalami banyak hal. Mulai dari diajak bunuh diri oleh ibunya sendiri, terjebak dunia kelam, sampai salah pilih pesantren. Semoga setelah diangkat Pak Ali Akhir jadi anak, hidupnya lebih baik.Hari itu aku berkunjung ke rumah Pak Ali Akhir, menjenguk nenek/ ibunya Pak Ali Akhir yang katanya sakit. Saat aku sampai di rumah itu, Pak Ali Akhir tidak ada di rumah, yang ada ibunya dan Salsabila. Aku langsung saja masuk ke kamar nenek."Ucok, sini dulu, Cok," kata nenek tersebut."Iya, Nek," jawabku seraya duduk di dekatnya."Nenek sudah tua, pengen lihat cucu nikah," kata nenek lagi."Oh, iya, Ne
Spontan kudorong Salsa, tak ingin membuat Umar cemburu, Salsabila terpental, Dia lalu menangis."Maafkan aku, seumur hidup baru kali ini kudengar namaku disebut dalam doa, aku terharu , maafkan sikapku yang berlebihan," kata Salsabila seraya merapatkan dua tangan di depan dada.Kulihat Pak Ali Akhir sepertinya sudah malu, sedangkan Umar sepertinya marah, laki-laki itu sudah berdiri. Dia lalu mendekat ke Pak Ali Akhir."Maafkan aku, Pak, aku tak bisa meneruskan ini, tolong batal saja," kata Umar.Pak Ali Akhir tak bicara, lalu Salsabila mendekati, dia bersimpuh di depan Pak Ali Akhir."Maafkan aku juga, Pak, bukan tak menghargai niat baik bapak, tapi kurasa memang tidak bisa," kata Salsabila."Alhamdulillah, berarti Salsabila juga tidak setuju, aku juga tidak setuju," kata Umar."Baiklah, batal, batal saja, aku gagal, gagal, bubar semua," kata Pak Ali Akhir.Satu per satu orang pun membubarkan diri, tinggal aku, Salsa, Umar dan istrinya Pak Ali Akhir di ruangan tersebut."Sekali lagi
Umar ini malah naksir sama Karen, aku jadi merasa dunia ini makin sempit, dari milliaran wanita di dunia ini kenapa dia harus naksir yang dekat denganku, Salsa, Butet, kini Karen?"Maaf Bang Umar sudah umur berapa, Karen sudah dua tiga lo," kataku kemudian."Aku sudah dua puluh lima, Cok, sudah lima tahun lebih bertugas," jawab Umar."Oh, maaf ya, Bang Umar, kan polisi selalu jadi rebutan cewek, kok musti dicocokkan," kataku lagi."Iya, kamu benar, Cok, tapi yang merebut itu aku gak suka," katanya lagi."Kenapa?""Mereka mau karena aku polisi,""Oh, gitu,""Iya, Cok, bagaimana si Karen itu, dia cantiknya sekali, dari gayanya pasti orang berada," "Iya memang, orang tuanya kadis," "Wah, pasti seru ini, jika anaknya Kapolres sama anak kadis berjodoh," kata Umar lagi.Polisi ini sepertinya sudah jatuh cinta pada pandangan pertama, dia terus mendesakku, minta nomor Karen, akan tetapi tak kuberikan. Entah bagaimana rasaku, ada rasa cemburu, rasa kesal pada Umar, kenapa harus Karen, Sal
Ternyata Karen senekat itu, dia tidak pernah memberi tahu jika akan pergi ke desa kami. Kalau tidak Butet yang cerita aku tidak akan tahu. Entah skripsi apa yang mau dibuat Karen, sampai ayah pun jadi objek penelitian. "Lama Karen di desa, Tet?" tanyaku lagi, masih lewat pesan aplikasi w*."Gak lama, kami usir, masa dia minta mau bicara empat mata sama ayah?" balas Butet."Apa kata ayah?""Ayah tidak mau juga, mamak marah-marah," "Ya udahlah," pesanku kemudian. Karena tak bisa tidur juga, aku ambil wudhu dan salat sunah dua rakaat. Terus berzikir beberapa menit, baru aku bisa tidur.Aku terbangun karena ada yang gedor-gedor pintu, kulihat jam masih jam tiga dini hari, berarti aku baru tertidur satu setengah jam. Aku coba mengintip dari celah kunci ternyata Umar yang datang. Segera kubuka pintu."Mana Karen?" tanyaku kemudian."Kutinggalkan, dia mabuk," jawab Umar seraya membuka sepatunya."Mabuk?""Iya, kalau kau memang peduli, sana jemput," kata Umar lagi seraya menyebutkan tempa
Aku mengangguk seraya menundukkan pandangan. Tak berani menatap wajahnya, aku segera berjalan ke tempat wudhu laki-laki."Ucok, ingat gak tanggal berapa ini?" tanya Karen. Seraya mengikutiku dari belakang. Aku jadi risih, untung saja belum ada orang lain."Emangnya kenapa?" tanyaku seraya mengingat tanggal."Hari ini, subuh ini, setahun yang lalu," kata Karen lagi.Aku mengerjitkan kening, masih belum paham apa maksud perkataan Karen."Hari ini tepat setahun yang lalu kita bertemu di sini, Cok, awal dari perubahan hidupku, semuanya kucatat," kata Karen."Oh, iya, sebaiknya pergilah tidur lagi atau mandi, biar ikut Salat subuh, jangan begini, nanti timbul fitnah," kataku kemudian."Aku ingin salat subuh kau imami, Cok, sebagai peringatan hari ulang tahun pertemuan kita,""Ya, udah, sana mandi cepat," kataku lagi."Aku sendiri makmumnya, Cok, di rumahku," katanya lagi."Udah gila kau," "Benar, Cok, aku memang sudah gila,""Astaghfirullah, cepat sana pulang," kataku seraya menutup pintu
Ideku memang beresiko, bisa membuat orang malu, membuka aib orang, bisa pula membuat Sandy tersangkut masalah hukum. Akan tetapi aku tak punya cara lagi. "Bang Ucok?" Pesan dari Butet.Siang itu aku lagi di kampus, tumben Butet kirim pesan siang begini."Apa, Tet?""Kudengar Abang mau masuk got lagi," pesan Butet."Masuk got bagaimana?""Kali ini lebih beresiko, bisa kena UU ITE," pesan Butet lagi.Oh, pasti si Sandy sudah cerita, aku malas mengetik untuk menerangkan, kualihkan ke panggilan video. Aku lalu menceritakan semua pada Butet, mulai dari awal hinggap akhir."Abang harus bagaimana lagi, Tet?" kataku kemudian."Abang tanya lagi harus bagaimana?""Ya, iyalah, Tet,""Kan sudah kubilang, Bang, hati-hati dengan Karen tapi dasar memang Abang bandel, sudah begini jadi bingung,""Udahlah, Tet, gak usah ceramah lagi, aku harus bagaimana, langkah' apa yang harus kulakukan? Itu yang penting," kataku lagi."Satu saja, Bang, masa bodo," "Gitulah kau, Tet, capek Abang cerita, kamu malah