PoV NiaKembali ke desa, jadi ibu rumah tangga, ternyata cukup membosankan juga, hanya satu bulan yang merasa bebas, bulan berikutnya justru jadi bosan. Aku mulai mencari kegiatan tambahan. "Bang, aku mau buka toko perlengkapan pertanian di desa ini," kataku pada Bang Parlindungan di suatu malam, saat itu kami lagi berduaan di kamar. Cantik sudah tidur, sedangkan Butet di ibukota kabupaten."Udahlah, Dek,""Bisa lo, Bang,""Kita kembali muda lo, Dek,""Muda apaan?""Kembali punya anak kecil seperti dulu,""Hmmm,""Kita bikin lagi, yuk, Dek, dari pada bosan," kata Bang Parlin lagi."Ya, ampun,"Saat kami hendak mendaki gunung, ada gangguan, HP Bang Parlin bunyi, ada pesan dari seseorang, isinya justru video aneh."Dari siapa, Dek?" tanya Bang Parlin."Entah," jawabku.Kemudian ada lagi pesannya. ..."Om, aku dijebak, Om," Aku coba perhatikan foto profilnya, ternyata Karen. Aku balas dan bertanya dijebak bagaimana, aku terkejut, Dia tuduh Ucok menjebaknya, mengambil video dirinya l
PoV ButetSaat hendak pulang ke rumah orang tuanya saat libur, Ustadz Rizal datang ke rumah, dia datang bersama temannya sesama pengajar di pesantren tersebut."Ayah dan mamak lagi pergi," kataku ketika menyambut mereka di pintu."Oh, kalau begitu kami pulang saja," jawab ustadz tersebut."Gak masuk dulu," kataku kemudian, biarpun aku tahu ustadz itu tidak akan mau masuk rumah jika tak ada ayah."Tidak usah lagi, aku datang hanya mau pamit, kan lagi libur, jadi mau pulang dulu," kata ustadz Rizal."Oh, iya, ya, nanti kusampaikan," kataku kemudian.Mereka tidak masuk, tidak juga pergi, masih terus berdiri di pintu, teman ustadz Rizal seperti memberikan kode pada ustadz tersebut. Dia menarik lengan bajunya."Ada apa ya?" tanyaku."Ini, Butet, ustadz Rizal mau bicara sama kamu, tapi dia tidak mau berduaan denganmu," kata teman ustadz Rizal tersebut.Mau bicara tapi tidak mau berdua, apakah harus bicara' di tempat orang ramai? "Udah, bicara saja," kataku kemudian."Begini, Tet, umur saya
Kulihat mamak, beliau tampak berpikir sebentar lalu meminjam HP Ayah."Kita uji dulu ustadz itu ya, Bang, apakah dia mau meninggalkan persiapan pernikahannya demi bantu orang tak dikenal," kata mamak seraya memainkan hp ayah, beberapa saat kemudian."Assalamualaikum, Pak," terdengar salam ustadz Rizal."Waalaikum salam, ini Ibu, mau bicara sebentar," kata mamak."Kenapa bukan bapak yang bicara, Bu?" jawab ustadz itu dari seberang."Oh, bapak lagi menyetir," "Oh, iya, Bu,""Begini, Ustadz, di Jakarta ada teman Ucok yang patah tulang, jadi dia minta supaya ustadz datang ke Jakarta secepatnya," kata mamak lagi."Oh, maaf sekali, Bu, saya lagi persiapan pernikahan, mungkin setelah selesai nikah, baru bisa," kata ustadz itu."Oh, gitu ya, Ustadz, terima kasih,""Iya, Bu, maaf, oh ya, saya mau undang ibu dan bapak, tapi tempat saya jauh, terus acaranya juga sederhana saja," kata ustadz itu lagi."Iya, Ustadz, kalau ada waktu kami datang," kata mamak.Mamak menutup telepon, lalu tersenyum k
Salah satu pria berambut cepak itu menarik tangan baju adiknya. Entah itu cara menghukum di militer atau bagaimana, pria itu terus memukuli adiknya. Sampai mereka sudah di luar pun tangan pria itu masih terus memukul. Mereka lalu pergi. Setelah mereka pergi, para anak kos mengelu-elukanku."Hebat Butet, baru kali ini kulihat aparat kalah sama cewek adu mulut," kata ibu kos. Ah, belum tahu saja ibu ini, aku bahkan pernah debat dengan Kapolres. Menyelesaikan kasus adalah salah aatu hobby-ku. Hobby yang aneh memang untuk ukuran anak gadis.Di lingkungan kos ini tak ada yang tahu aku anak mantan wakil bupati, setahu orang aku anak petani dari desa. Penampilanku juga memang jauh dari glamor. Keesokan harinya, pria berambut cepak itu datang lagi, kali ini dia datang sendiri. Naik motor matic besar. Saat itu aku dan beberapa teman kos lagi duduk-duduk di depan kos-kosan."Assalamualaikum," sapa pria itu seraya turun dari motornya, di tangannya ada buket yang terbuat dari uang kertas."Sa
Kami pun bersiap berangkat, Ayah mencari supir untuk kami karena perjalanan darat yang sangat jauh. Ini memang dilema tinggal di daerah Sumatra. Masih satu propinsi saja bisa perjalanan darat lima belas jam. Tak ada pilihan lain, tidak ada kereta api apalagi pesawat. Pilihannya hanya naik mobil pribadi atau bus.Saat hendak berangkat, Hasan, tentara itu datang."Hai, Butet, mau ke mana ini?" tanya Hasan."Mau kondangan, oh ya, kenalkan ini orang tuaku," kataku seraya menunjuk Ayah dan mamak."Aku Hasan, Om, Tante, Sersan Hasan," kata pria tersebut."Oh, saya Parlin, ini istri saya, Nia," ayah yang menjawab."Saya teman Butet, Om, mana tau butuh pengawalan, saya siap, kebetulan saya bebas," kata Sersan tersebut."Kondangannya jauh," jawabku kemudian."Gak apa-apa, ini bisa jalan jauh," jawabnya lagi seraya menunjuk motor besarnya."Kabupaten Karo lo," kataku kemudian."Wah, jauh sekali, itu besok baru sampe,""Itulah, bersedia kawal gak?" kataku seraya tersenyum."Oh, maaf, saya harus
AriniBeberapa bulan setelah diwisuda, aku justru langsung dilamar. Yang lamar juga masih sepupu jauh, Rizal namanya, almarhum ibunya dan ayahku masih saudara jauh. Rizal adalah pria idaman di desa ini, sudahlah tampan, jebolan pesantren dan bertitel sarjana agama. Begitu mendengar Rizal mau ta'aruf denganku, ayahku langsung mengucapkan alhamdulillah."Alhamdulillah akhirnya ada keluarga kita yang bisa mengaji, selama ini Ayah sudah was-was, siapa nanti yang jadi imam salat jenazah kalau ayah meninggal," begitu kata Ayah. Ayah memang sudah lama sakit-sakitan. Padahal aku sudah punya pacar, saat kuliah di Medan, aku berpacaran dengan seorang teman satu kampus. Sama-sama ngekost di kota, kami sudah berpacaran tiga tahun. Dia banyak membantuku terutama soal materi."Ayah, aku sudah punya pacar," kataku pada ayah, saat itu beliau minta pendapatku."Arini, apakah pacarmu seperti Rizal? Ayah hanya ingin saat sakaratul maut nanti ada yang membisikkan La ilaha illallah di telinga ayah,
Arini 2Kami justru terlambat bangun, saat aku bangun sudah jam delapan, sementara jadwal akad nikah jam delapan. Perjalanan dari Medan ke desa dua jam. Akhirnya aku pinjam telepon lagi, mengabarkan kalau bisa akad nikah diundur sampai jam sepuluh. Mereka mau mengerti."Roni, antar aku pulang cepat," kataku pada mantan kekasihku tersebut."Udah, batalkan saja," kata Roni."Mudah sekali kau bilang begitu, undangan sudah disebar, apa kata dunia,""Tak penting apa kata dunia, yang penting aku cintai padamu, itu saja," kata Roni serata kembali menciumiku.Aku tak bisa berkutik lagi, akhirnya kami melakukan satu ronde lagi, kemudian Roni baru bersiap. Jam sembilan baru kami berangkat, ini sudah terlambat sekali, sampai jam sepuluh kami masih di jalan, aku minta berhenti dan pinjam HP Roni lagi, menelepon ke nomor temanku. Temanku itu memberikan HP ke Rizal."Maaf, Rizal, aku datang terlambat, mungkin sampai jam sebelas," kataku kemudian."Oh, kamu di mana?" tanya Rizal."Di sini, bersa
PoV ButetSenang melihat orang susah itu bukan sifatku, akan tetapi, Ya, Allah, ampunilah hambamu ini, melihat Ustadz Rizal gagal nikah, kok aku merasa senang? Padahal ustadz itu sudah sampai menangis sesenggukan. Bukan senang karena ustadz itu sedih, tapi senang karena ternyata memang calonnya tidak beres. Ayah lagi-lagi menggunakan ilmunya, akan tetapi kali ini mamak justru yang suruh. Melihat perempuan yang bernama Arini itu gugup bicara, mamak justru menyuruh ayah supaya membaca tiga baris."Dek, ilmu itu sudah sering bawa masalah lo, Dek," begitu kata ayah, saat itu kami bertiga duduk di pojokan menonton drama kisah nyata."Itu ustadz kita lo, Bang, memang Abang mau ustadz kita dibohongi," kata mamak."Okelah," kata Ayah. Ayah lalu membuka peci hitamnya. Rambutnya terlihat berantakan. Ayah memang orang yang jarang ke tukang pangkas. Semenjak kejadian tabur rambut di makam Rara, ayah tidak pernah potong rambutnya, rambutnya selalu disisir rapi ke belakang. Konon ilmu tiga baris