AriniBeberapa bulan setelah diwisuda, aku justru langsung dilamar. Yang lamar juga masih sepupu jauh, Rizal namanya, almarhum ibunya dan ayahku masih saudara jauh. Rizal adalah pria idaman di desa ini, sudahlah tampan, jebolan pesantren dan bertitel sarjana agama. Begitu mendengar Rizal mau ta'aruf denganku, ayahku langsung mengucapkan alhamdulillah."Alhamdulillah akhirnya ada keluarga kita yang bisa mengaji, selama ini Ayah sudah was-was, siapa nanti yang jadi imam salat jenazah kalau ayah meninggal," begitu kata Ayah. Ayah memang sudah lama sakit-sakitan. Padahal aku sudah punya pacar, saat kuliah di Medan, aku berpacaran dengan seorang teman satu kampus. Sama-sama ngekost di kota, kami sudah berpacaran tiga tahun. Dia banyak membantuku terutama soal materi."Ayah, aku sudah punya pacar," kataku pada ayah, saat itu beliau minta pendapatku."Arini, apakah pacarmu seperti Rizal? Ayah hanya ingin saat sakaratul maut nanti ada yang membisikkan La ilaha illallah di telinga ayah,
Arini 2Kami justru terlambat bangun, saat aku bangun sudah jam delapan, sementara jadwal akad nikah jam delapan. Perjalanan dari Medan ke desa dua jam. Akhirnya aku pinjam telepon lagi, mengabarkan kalau bisa akad nikah diundur sampai jam sepuluh. Mereka mau mengerti."Roni, antar aku pulang cepat," kataku pada mantan kekasihku tersebut."Udah, batalkan saja," kata Roni."Mudah sekali kau bilang begitu, undangan sudah disebar, apa kata dunia,""Tak penting apa kata dunia, yang penting aku cintai padamu, itu saja," kata Roni serata kembali menciumiku.Aku tak bisa berkutik lagi, akhirnya kami melakukan satu ronde lagi, kemudian Roni baru bersiap. Jam sembilan baru kami berangkat, ini sudah terlambat sekali, sampai jam sepuluh kami masih di jalan, aku minta berhenti dan pinjam HP Roni lagi, menelepon ke nomor temanku. Temanku itu memberikan HP ke Rizal."Maaf, Rizal, aku datang terlambat, mungkin sampai jam sebelas," kataku kemudian."Oh, kamu di mana?" tanya Rizal."Di sini, bersa
PoV ButetSenang melihat orang susah itu bukan sifatku, akan tetapi, Ya, Allah, ampunilah hambamu ini, melihat Ustadz Rizal gagal nikah, kok aku merasa senang? Padahal ustadz itu sudah sampai menangis sesenggukan. Bukan senang karena ustadz itu sedih, tapi senang karena ternyata memang calonnya tidak beres. Ayah lagi-lagi menggunakan ilmunya, akan tetapi kali ini mamak justru yang suruh. Melihat perempuan yang bernama Arini itu gugup bicara, mamak justru menyuruh ayah supaya membaca tiga baris."Dek, ilmu itu sudah sering bawa masalah lo, Dek," begitu kata ayah, saat itu kami bertiga duduk di pojokan menonton drama kisah nyata."Itu ustadz kita lo, Bang, memang Abang mau ustadz kita dibohongi," kata mamak."Okelah," kata Ayah. Ayah lalu membuka peci hitamnya. Rambutnya terlihat berantakan. Ayah memang orang yang jarang ke tukang pangkas. Semenjak kejadian tabur rambut di makam Rara, ayah tidak pernah potong rambutnya, rambutnya selalu disisir rapi ke belakang. Konon ilmu tiga baris
Hari itu juga, Ustadz Rizal ikut kami ke Medan, katanya mau beli tiket pesawat hendak ke Jakarta."Kamu pergi sendiri, Ustadz?" tanya Ayah, saat kami dalam perjalanan."Iya, Pak," "Aku ingin menenangkan diri dulu, jujur aku terpukul," sambung ustadz itu lagi."Bang, kita ikut napa?" kata mamak kemudian."Ke Jakarta, Dek?""Iya, Bang, pengen kucubit si Uccok itu, dia habiskan waktu dan energi urusi cewek cantik," kata Mamak lagi."Iya, Yah, ini masih Sabtu, kalau ada tiket berangkat hari ini, cocok juga," aku ikut bicara."Ya, udah, hubungi dulu Ucok," perintah ayah. Kuambil HP, terus langsung ke aplikasi W*, lalu ..."Bang Ucok, tiket untuk lima orang bisa gak, Ustadz Rizal bawa rombongan," kataku kemudian."Bisa, Tet, kalau bisa berangkat hari inilah, pesan tiket dulu lewat online," kata Ucok."Okeh, Bang,""Siapa-siapa saja rombongan ustadz itu?" tanya Bang Ucok."Aku, Cantik, Mamak dan Ayah,""Hahaha,""Kok ketawa, Bang,""Juragan sawit minta diongkosi," kata Bang Ucok.Aku juga
Solusi Bang Ucok tepat tapi sedikit gila, baru tadi siang ustadz Rizal gagal nikah, kini sudah ada tawaran lagi. Kadang hidup memang seneh itu.Kulihat Ustadz Rizal dia tampak terperangah, mungkin dia terkejut juga dengan usul Bang Ucok tersebut."Ada-ada saja kamu, Cok, masa sarankan orang nikah, yang kau pikirnya nikah itu mudah," kata mamak."Aku hanya menjawab bagian Pak Dosen bilang bagaimana cara buat yang haram jadi halal, hanya itu caranya, Mak," kata Bang Ucok.Pak Karyo memegang keningnya, mungkin dia tak menyangka akan begini jadinya. "Putri saya masih 18 tahun," kata Pak Karyo.Pria itu itu duduk di kursi, dia tampak sedih."Saya orang tua tunggal, ibunya sudah lama meninggal, berat rasanya melepas dia untuk menikah, tapi dokter sudah menyerah, operasi tulang belakang katanya sangat beresiko, tapi saya tak sanggup melihat putriku begitu, kalau memang itu satu-satunya jalan, saya bersedia, akan tetapi tetap harus persetujuan anakku juga," kata Pak Karyo.Pak Karyo lalu m
PoV NiaPerjalanan kami jadi jauh, dari desa kami hanya berniat menghadiri undangan pernikahan Ustadz Rizal. Akan tetapi masalah demi masalah, kami akhirnya jadi saksi pernikahan Ustadz Rizal, akan tetapi di Jakarta.Sungguh aku tidak menyangka ustadz Rizal akan mau menikah demi bisa membantu seorang gadis yang lumpuh. Dari awal aku sudah kagum padanya tidak mau menyentuh gadis tersebut. Akan tetapi perangai Ucok seperti menular, dia memang sempat bertanya pada kami, akan tetapi tentu saja kami bilang terserah, karena itu hidupnya.Setelah dia bilang bersedia, kami sempat diskusi, aku, Bang Parlindungan dan Ustadz tersebut diskusi di salah satu ruangan."Ustadz, Kamu tahu kan hukum nikah mut'ah?" kata Bang Parlin."Tahu, Pak, empat mazab sepakati nikah mut'ah itu haram," jawab Ustadz tersebut."Jadi, kenapa masih kamu lakukan?" aku ikut bertanya."Jika dalam akad disebut nikah sampai tahun segini, itu baru haram, Bu, di akad nikahnya tak akan sebut waktu," jawab ustadz Rizal."Kan, ni
Aku, Butet dan Ayu akhirnya pergi ke pusat kota, yang pertama kami kunjungi adalah salon wanita. Tempat yang memang jarang kukunjungi. Semenjak tinggal di desa, aku tak pernah ke salon, karena memang di desa tidak ada salon, yang ada hanya tempat gunting rambut. Padahal hampir sepuluh tahun jadi kepala desa, hampir satu tahun jadi wakil bupati, salon gak pernah dikunjungi. Rambut pun sudah mulai banyak ditumbuhi uban.Rambutnya Butet di-rebongding, sedangkan aku mewarnai rambut dengan warna pirang. Sebenarnya rambut pirang ini hanya untuk suami, setiap keluar rumah aku selalu memakai jilbab. Kami juga belanja pakaian kekinian. Memang jika dipikir-pikir, aku memang terlalui kuno untuk ukuran istri seorang juragan sawit. Harus aku akui, kejadulan Bang Parlin menular kepadaku, padahal dulu sewaktu masih gadis minimal dua Minggu sekali aku ke salon.Saat kami pulang ke rumah Torkis, Bang Parlin melihatku dengan mata melotot. "Waw, Cantik pasti gak kenal mamaknya lagi ini," kata Bang
PoV ButetSetelah sekian lama aku mengagumi Ustadz Rizal, kali ini aku benar-benar kecewa. Bukan karena dia tetap nikah, akan tetapi alasan dari pernikahannya tersebut. Dia menikah untuk bisa menyentuh orang, biar bisa dia obati. Yang paling membuat aku kecewa, dia tahu nikah kontrak itu haram, akan tetapi tetap dia lakukan. Biarpun tak ada menyebut waktu di ijab kabul. Akan tetapi dia tahu, Anna juga pasti' tahu ayahnya juga tahu, mereka nikah hanya sampai Anna sembuh, apa bedanya dengan nikah kontrak yang konon marak di puncak? Banya drama terjadi di perjalanan kami kali ini, mulai dari pengantin yang kabur, nikah kontrak yang gak mengaku kontrak, sampai mamak dan ayah yang terlihat sensian. Mak sampai cat rambutnya dengan warna pirang, hanya gara-gara dikira sopir, Cantik cucunya mamak. Akan tetapi saat aku protes, mamak bilang, rambut pirang mamak hanya untuk ayah.Kami akhirnya sampai di ibukota kabupaten sore hari, terpaksa aku libur kuliah satu hari. "Aku gak ikut ke desa l