Hari itu juga, Ustadz Rizal ikut kami ke Medan, katanya mau beli tiket pesawat hendak ke Jakarta."Kamu pergi sendiri, Ustadz?" tanya Ayah, saat kami dalam perjalanan."Iya, Pak," "Aku ingin menenangkan diri dulu, jujur aku terpukul," sambung ustadz itu lagi."Bang, kita ikut napa?" kata mamak kemudian."Ke Jakarta, Dek?""Iya, Bang, pengen kucubit si Uccok itu, dia habiskan waktu dan energi urusi cewek cantik," kata Mamak lagi."Iya, Yah, ini masih Sabtu, kalau ada tiket berangkat hari ini, cocok juga," aku ikut bicara."Ya, udah, hubungi dulu Ucok," perintah ayah. Kuambil HP, terus langsung ke aplikasi W*, lalu ..."Bang Ucok, tiket untuk lima orang bisa gak, Ustadz Rizal bawa rombongan," kataku kemudian."Bisa, Tet, kalau bisa berangkat hari inilah, pesan tiket dulu lewat online," kata Ucok."Okeh, Bang,""Siapa-siapa saja rombongan ustadz itu?" tanya Bang Ucok."Aku, Cantik, Mamak dan Ayah,""Hahaha,""Kok ketawa, Bang,""Juragan sawit minta diongkosi," kata Bang Ucok.Aku juga
Solusi Bang Ucok tepat tapi sedikit gila, baru tadi siang ustadz Rizal gagal nikah, kini sudah ada tawaran lagi. Kadang hidup memang seneh itu.Kulihat Ustadz Rizal dia tampak terperangah, mungkin dia terkejut juga dengan usul Bang Ucok tersebut."Ada-ada saja kamu, Cok, masa sarankan orang nikah, yang kau pikirnya nikah itu mudah," kata mamak."Aku hanya menjawab bagian Pak Dosen bilang bagaimana cara buat yang haram jadi halal, hanya itu caranya, Mak," kata Bang Ucok.Pak Karyo memegang keningnya, mungkin dia tak menyangka akan begini jadinya. "Putri saya masih 18 tahun," kata Pak Karyo.Pria itu itu duduk di kursi, dia tampak sedih."Saya orang tua tunggal, ibunya sudah lama meninggal, berat rasanya melepas dia untuk menikah, tapi dokter sudah menyerah, operasi tulang belakang katanya sangat beresiko, tapi saya tak sanggup melihat putriku begitu, kalau memang itu satu-satunya jalan, saya bersedia, akan tetapi tetap harus persetujuan anakku juga," kata Pak Karyo.Pak Karyo lalu m
PoV NiaPerjalanan kami jadi jauh, dari desa kami hanya berniat menghadiri undangan pernikahan Ustadz Rizal. Akan tetapi masalah demi masalah, kami akhirnya jadi saksi pernikahan Ustadz Rizal, akan tetapi di Jakarta.Sungguh aku tidak menyangka ustadz Rizal akan mau menikah demi bisa membantu seorang gadis yang lumpuh. Dari awal aku sudah kagum padanya tidak mau menyentuh gadis tersebut. Akan tetapi perangai Ucok seperti menular, dia memang sempat bertanya pada kami, akan tetapi tentu saja kami bilang terserah, karena itu hidupnya.Setelah dia bilang bersedia, kami sempat diskusi, aku, Bang Parlindungan dan Ustadz tersebut diskusi di salah satu ruangan."Ustadz, Kamu tahu kan hukum nikah mut'ah?" kata Bang Parlin."Tahu, Pak, empat mazab sepakati nikah mut'ah itu haram," jawab Ustadz tersebut."Jadi, kenapa masih kamu lakukan?" aku ikut bertanya."Jika dalam akad disebut nikah sampai tahun segini, itu baru haram, Bu, di akad nikahnya tak akan sebut waktu," jawab ustadz Rizal."Kan, ni
Aku, Butet dan Ayu akhirnya pergi ke pusat kota, yang pertama kami kunjungi adalah salon wanita. Tempat yang memang jarang kukunjungi. Semenjak tinggal di desa, aku tak pernah ke salon, karena memang di desa tidak ada salon, yang ada hanya tempat gunting rambut. Padahal hampir sepuluh tahun jadi kepala desa, hampir satu tahun jadi wakil bupati, salon gak pernah dikunjungi. Rambut pun sudah mulai banyak ditumbuhi uban.Rambutnya Butet di-rebongding, sedangkan aku mewarnai rambut dengan warna pirang. Sebenarnya rambut pirang ini hanya untuk suami, setiap keluar rumah aku selalu memakai jilbab. Kami juga belanja pakaian kekinian. Memang jika dipikir-pikir, aku memang terlalui kuno untuk ukuran istri seorang juragan sawit. Harus aku akui, kejadulan Bang Parlin menular kepadaku, padahal dulu sewaktu masih gadis minimal dua Minggu sekali aku ke salon.Saat kami pulang ke rumah Torkis, Bang Parlin melihatku dengan mata melotot. "Waw, Cantik pasti gak kenal mamaknya lagi ini," kata Bang
PoV ButetSetelah sekian lama aku mengagumi Ustadz Rizal, kali ini aku benar-benar kecewa. Bukan karena dia tetap nikah, akan tetapi alasan dari pernikahannya tersebut. Dia menikah untuk bisa menyentuh orang, biar bisa dia obati. Yang paling membuat aku kecewa, dia tahu nikah kontrak itu haram, akan tetapi tetap dia lakukan. Biarpun tak ada menyebut waktu di ijab kabul. Akan tetapi dia tahu, Anna juga pasti' tahu ayahnya juga tahu, mereka nikah hanya sampai Anna sembuh, apa bedanya dengan nikah kontrak yang konon marak di puncak? Banya drama terjadi di perjalanan kami kali ini, mulai dari pengantin yang kabur, nikah kontrak yang gak mengaku kontrak, sampai mamak dan ayah yang terlihat sensian. Mak sampai cat rambutnya dengan warna pirang, hanya gara-gara dikira sopir, Cantik cucunya mamak. Akan tetapi saat aku protes, mamak bilang, rambut pirang mamak hanya untuk ayah.Kami akhirnya sampai di ibukota kabupaten sore hari, terpaksa aku libur kuliah satu hari. "Aku gak ikut ke desa l
PoV NiaOrang-orang tua dulu sering berpesan, punya anak perempuan menjelang dewasa itu membuat kita sering was-was, khawatir dia bergaul dengan siapa, pergi dengan siapa. Akan tetapi yang terjadi dengan kami justru sebaliknya, anak laki-laki yang sering bikin rasa was-was. Aku selalu khawatir Ucok bertemu lagi dengan cewek cantik yang butuh bantuan. Dia sepertinya tak bisa menolak, beda dengan Butet, bertemu polisi tampan, ustadz ganteng, sampai tentara mapan pun dia dengan tegas bisa menolak. Membuat kami orang tuannya merasa nyaman.Dua anakku kini jauh dari kami, rasanya memang seperti muda lagi, punya anak balita. Kegiatanku kini hanya ibu rumah tangga biasa. "Dek, Adek itu durhaka lo sama suami," kata Bang Parlindungan di suatu malam. Saat itu kami lagi tidur berduaan. Cantik sudah tidur di ranjang bayi."Durhaka macam mana, Bang?" tanyaku."Ini, rambut pirang ini," Kata Bang Parlin seraya meremas rambutku."Hmmm,""Gini, Dek, seharusnya Adek sebagai istri yang saleha mintala
Kadang aku sangat kesal dengan prinsip suamiku ini, jika berhubungan dengan harta atau uang yang hilang, dia merasa tenang saja. Pernah kami kehilangan sapi seharga tiga ratus juta, dia tidak menggunakan ilmunya. Bahkan pernah bangkrut sampai kembali' ke titik nol. Dia tetap tenang. Kini, uang dan perhiasanku hilang, aku telah jadi korban hipnotis, akan tetapi Bang Parlin terlihat tetap tenang, tidak panik, tidak berusaha juga untuk mencari, padahal dia bisa dengan mudah membuat orang sakit perut."Bang!" aku membentak."Sabar, Dek, ini lagi Abang berusaha," jawab Bang Parlin sambil memegang HP -nya."Perhiasan itu ada yang kumiliki dari gadis, Bang, bukan soal harganya, Tapi ada anting yang dibeli almarhum ayah, ada cincin almarhum ibu," kataku kemudian."Iya, Dek, Abang tahu,""Ambil wudhu sana, zikirkan," aku makin kesal."Dek, Adek kan tahu, harus milik Abang yang hilang," kata Bang Parlin lagi.Ada tamu datang, ternyata Sandy yang datang lengkap dengan peralatannya. Ternyata B
PoV ButetSersan Hasan sepertinya tidak menyerah, dia masih juga datang. Seperti hari itu dia bawa oleh-oleh nasi kotak. Aku memang sudah berpesan jika bawa makanan harus bisa dibagi pada teman satu kosku. Kali ini dia bawa nasi kotak empat porsi. Aku kurang suka nasi kotak, bukan karena lauknya tidak enak, akan tetapi nasinya yang sangat sedikit, hanya segenggaman orang dewasa, itu sangat kurang untukku. Akan tetapi tentu saja aku harus jaga image, gak mungkin kumakan dua porsi."Kalau kamu gak mau pacaran, kita berteman saja ya," kata Tentara itu saat kami makan."Boleh, boleh," jawabku. "Ada pepatah lama, tak kenal maka tak sayang, karena belum kenal aku makanya kamu menolak," kata Sersan itu lagi."Bukan, Bang, aku memang tidak pacaran, berteman boleh, tapi tidak pacaran, agama melarangnya," kataku lagi."Hebat, baru kali ini aku bertemu cewek dengan pendirian yang teguh seperti ini, aku jadi makin jauh cinta ini, hehehe." katanya lagi. Wulan yang duduk di sampingku justru yang