"Ketika manusia sudah berusaha, maka sisanya hanya tinggal pasrah, dan berdo'a. Agar Tuhan mau memberi yang terbaik menurut versinya." *** "Lho anda kan, calon istri kakak saya, kan? Asla Wardhana, bukan?" Perempuan itu tampak serius, terlihat cantik dengan rambut yang digelung ke belakang. Wajahnya tanpa polesan, namun terlihat begitu mulus, dan bersih persis seperti istrinya. Ia terlihat begitu lelah, tapi profesional dengan jaket putih dokternya yang khas. Jarinya yang lentik memegang sebuah pulpen, menuliskan sesuatu di buku agendanya ketika Biru datang menghampiri. Asla Kamilia Wardhana mengangguk. Lalu berdiri, dan tersenyum begitu profesional pada Biru. Ia mengulurkan tangannya untuk berjabatan. Biru pun segera meraih uluran itu, dan menjabatnya sebentar. "Silahkan duduk," ucap Asla pada Biru yang langsung mengambil satu kursi untuk ia duduki. Asla kemudian menyerahkan menu di kafe rumah sakit itu, dan menawarkannya pada Biru. Ia kemudian bertanya basa-basi, "mau minum ses
"Dalam setiap kesempatan, akan ada banyak cara yang bisa digunakan oleh manusia. Bila gagal, maka ulangi. Terus begitu sampai Tuhan benar-benar melihatnya, dan memberikan apa yang diinginkan tanpa perlu susah payah." *** "Sejak semalam seperti ada yang kamu pikirkan? Ada apa sih, sebenarnya? Kenapa suamiku ini lebih banyak diam? Ayo cerita!"Lipatan seragam Biru memang sudah rapi, namun Ava sengaja membetulkannya kembali untuk melakukan sesi tanya jawab. Setelah menjelaskan segala permasalahan yang Ava rasakan, Biru diam saja. Ava tak dapat bertanya, karena ia sudah sangat lelah, dan berakhir memejamkan mata tanpa menunggu suaminya. Pagi ini saat ia selesai menyiapkan sarapan, Ava kembali melihat suaminya terpaku di depan lemari, membuatnya yakin bahwa ada banyak pikiran tersita di sana. Biru hanya tersenyum, tak langsung menjawab. Ia lalu membawa Ava ke dalam pelukannya, dan berharap mendapat segala kekuatan dari kegiatan itu. Sungguh, Biru sudah hampir gila. Kewarasannya akhir-ak
"Tiap kata yang timbul akan memiliki sebab, dan diikuti dengan segala akibat yang ada. Maka dari itu lakukanlah segala hal dengan penyebab yang positif, karena segala akibat yang diterima juga sudah pasti positif."***"Tidak ada informasi apapun, Pak. Hendro Anggoro seperti disembunyikan dengan rapi. Kami tidak bisa mengorek berita apa-apa. Irjen Pol. Kamaru Joshua benar-benar menangani kasus ini dengan sangat baik."Praba melengos. Memilih memukul bola golf dengan tidak sabaran. Hari-harinya mulai terasa menegangkan, dan berjalan lebih lambat dari biasanya. Ia seperti menunggu masa tenangnya habis, dan berganti dengan segala huru-hara yang akan membuatnya akan mati.Praba tak bisa menyalahkan siapa pun. Semua kejadian seperti sebuah hubungan sebab akibat. Bila bukan lewat Ava, mungkin suatu saat nanti akan terkuak juga lewat Asta Kamil Wardhana. Segalanya yang ia tuai, akan menimbulkan prahara juga pada waktunya. Meski begitu, Praba tak ingin mengakhiri segala kedigdayaannya."Saya
"Kadang ekspektasi yang sudah di luar logika, masih kalah dengan apa yang sebenarnya terjadi di dalam kenyataan."***"Eh, Non Ava bukan? Saya pangling nih, makin cantik saja. Sudah lama enggak ke sini, ke mana saja, Non? Sehat, kan?"Pak Darjiman kaget. Awalnya ia tak menyangka kalau yang dilihatnya adalah Ava. Namun, perempuan itu dengan ramah menyapanya, dan menanyakan kabarnya. Membuatnya makin yakin kalau ia memang salah satu orang yang selalu mengiriminya uang tiap bulan untuk mengurusi makam ibunya.Ava tersenyum, dan kemudian berjabatan tangan dengan Pak Darjiman. Tadinya ia ingin sekali langsung pulang, tapi saat kuburan ibunya terisi oleh bunga tulip putih kesayangannya, Ava jelas berubah pikiran. Dari bau, dan rupanya, bunga itu masih sangat segar. Itu artinya orang yang mengunjungi ibundanya belumlah lama pergi dari pemakaman itu."Siapa? Apa ayah kandungku, Ma? Apa yang datang ke sini adalah ayah kandungku? Kakek tidak mungkin sampai sini, kan? Apa Tante Namira? Tapi, unt
"Mau selama apapun sebuah kebenaran terpendam, lambat laun akan muncul juga ke permukaan pada akhirnya." *** "Pak Biru, terima kasih karena sudah mau bertemu saya." Biru tersenyum, mengangguk, dan kemudian mempersilahkan istri Purwanto untuk duduk di ruangannya. Althaf segera mengambil alih bayi berusia sembilan belas bulan yang digendong Sulis. Sulis pun berterima kasih sekilas pada Althaf. Althaf hanya mengangguk, dan membawa bayi tersebut keluar ruangan agar tidak mengganggu pembicaraan antara sang Ibu, dan atasannya. Untungnya bayi tersebut dalam keadaan tidur, jadi Althaf dengan mudah membawanya tanpa harus membuatnya menangis. Sulis sendiri merasa lega, karena bayinya tak terganggu, meskipun harus berpindah tangan kepada orang lain. Perempuan itu lalu beralih pada Biru yang telah memandanginya dengan serius. Ia tahu ini menjadi sangat canggung, karena terakhir kali mereka bertemu, Sulis dengan berani menghardiknya dengan keras. "Ada apa, Ibu Sulis?" Sulistiawati menarik na
"Berkali-kali manusia mencoba, dan kemudian gagal, bukan karena Tuhan tak sayang. Namun Tuhan sedang menguji manusia tersebut untuk jadi lebih hebat dari yang ia bisa tahu."***"Lho, Nona Ava Kinandhita? Ada apa? Apa saya lupa ada janji dengan anda?"Bernardio jelas bingung. Djati tidak memberinya informasi kalau Ava akan datang ke kantor. Di dalam agenda yang diberikan Ningsih hari ini, juga tidak ada pertemuan dengan orang-orang dari Yayasan Ibu Pertiwi. Namun, bila ditelisik dari bagaimana ekspresi Ava, Bernardio yakin ada hal penting yang ingin dibicarakan oleh perempuan itu.Ava sendiri langsung menghampiri Bernardio saat pria itu datang delapan menit kemudian. Ava tahu, Dio pasti sangat penasaran dengan kedatangannya yang tiba-tiba di kantor Biru. Pasalnya, ia memang tidak membuat janji temu dengan Djati, atau pun Bernardio. Ia datang ke kantor itu memang dengan harapan besar bahwa Djati, atau pun Bernardio bisa menjawab pertanyaan yang melekat erat dibenaknya saat ini."Saya t
"Mau jalan sejauh apa pun, kita hanya bisa berdo'a bahwa Tuhan akan bersama-sama menemani kita. Karena tanpa Tuhan, jalan yang jauh pun bisa sangat sulit bila tanpa persetujuan dari-Nya." *** "Sepertinya ini deh, toko bunganya, Va." Ava mengecek kembali nama toko bunga di nota pembelian yang mereka dapatkan dari detektif sebelumnya. Saat melihat kesamaan di antara keduanya, Ava pun mengangguk, dan mengajak Padma untuk turun. Padma setuju, dan bersama dengan Ava memasuki toko bunga yang sangat cantik. Ada beragam bunga yang sungguh memanjakan mata pembeli saat masuk ke dalam sana. Selain difungsikan sebagai toko, terdapat beberapa tempat duduk di mana pengunjung bisa minum kopi di pelataran toko. Ada sebuah bar kecil yang disediakan untuk memesan makanan atau minuman yang tertera di papan menu. Sungguh, sekali lihat Ava langsung menyukai konsep dari toko bunga itu. Mungkin lain waktu ia akan kembali untuk membeli bunga, dan menyesap secangkir kopi. "Selamat datang di Toko Bunga Ca
"Tiap cerita ada awal, dan akhir. Tiap cerita memiliki sebuah kesimpulan. Tiap cerita memiliki sebuah kisah yang perlu diselesaikan."***"Apa? Dihentikan? Kenapa?"Pertanyaan itu membuat Althaf bingung. Biru yang tengah menerima telepon dari seseorang tampak tak percaya dengan apa yang didengarnya. Ia dengan sabar mendengarkan, tanpa pernah mencoba menginterupsi siapa pun di telepon. Namun ada sebuah ekspresi penasaran luar biasa terpancar dari wajah sang atasan.Biru sangat bingung, itu jelas. Seharusnya istrinya tak melakukan apa-apa. Seharusnya istri tetap menunggu, dan akhirnya mengetahui siapa itu Anthony R. Tapi, kenapa sekarang ia memilih berhenti secara tiba-tiba?"Maaf, ya. Kalau Ava bilang tidak, itu artinya gue enggak bisa memaksa dia untuk memberi tahu gue alasannya. Kalau Ava bilang tidak, kemungkinan besar ia sudah tahu siapa itu Anthony R sebenarnya. Lo mungkin bisa bertanya sama dia, Biru.""Baiklah. Gue yang minta maaf sama lo, karena istri gue tiba-tiba mengubah pi