"Ada begitu banyak hal yang Tuhan sembunyikan dari manusia. Karena apa yang sudah diatur, bisa berubah dengan kuasa Tuhan. Tergantung seberapa kuat, dan hebatnya manusia tersebut berdo'a, dan berusaha."***"Apa? Ayah kandung Ava? Kamu enggak lagi bercanda, kan?"Jelas Djati kaget. Hal tak terprediksi akhirnya muncul. Djati tak menyangka, tapi bila yang dikatakan Bernardio benar adanya, berarti inilah plot twist terhebat dalam hidupnya. Djati tak bisa membayangkan bagaimana reaksi Praba bila memang benar Ava adalah putri kandungnya.Pria kejam itu bahkan dengan tega ingin membunuh Ava. Ia ingin gadis itu lenyap, dan hilang dari muka bumi ini, padahal jelas-jelas Praba sempat mencari keberadaannya. Bila Ava waktu itu mati, mungkin kebenaran ini tak akan pernah terbongkar selamanya."Tentu saja, saya sedang tidak bercanda. Saya sendiri pun kaget. Namun saat mendengar penjelasan Nona Ava secara langsung, rasanya ia tidak mungkin mengada-ada.""Wow, sungguh tak terprediksi!" seru Djati ya
"Manusia sebagai makhluk sosial tentu butuh bantuan orang lain. Sekali seumur hidup, kita pasti butuh uluran tangan orang lain untuk sekadar meminta pertolongan."***"Setelah hasil otopsi selesai, orang ini yang akan kita panggil pertama kali."Althaf memperhatikan foto yang diberikan Biru dengan seksama. Matanya menelisik, memperhatikan dengan lebih detil foto pria tersebut. Ia merasa pernah melihat orang itu. Entah di mana, namun Althaf yakin sangat familiar dengan wajah pria itu.Althaf pun mengambil ponselnya, dan mencari sesuatu di sana. Satu persatu ia buka, ia telusuri di mana wajah sang pria pernah ia lihat. Biru sendiri hanya terdiam melihat tingkah Althaf. Biru berasumsi bahwa Althaf kemungkinan besar sedang mengingat di mana pernah bertemu Anthony R sebelumnya."Ini dia!" Althaf memberikan ponselnya pada Biru. Di sana terlihat kalau Anthony R sedang menemui Marco di Lapas. "Dia ternyata kakak tirinya Marco, Pak. Radjarta, namanya. Pantas kok, saya seperti pernah melihatnya
"Kejahatan yang bertumpuk pada akhirnya akan terkuak, dan menghancurkan. Siapa pun tahu itu. Maka berbuatlah sebaliknya. Bukannya menabung kejahatan, dan menyesal belakangan."***"Pak, bagaimana kabar Pak Hendro?"Irjen Kamaru Joshua tersenyum singkat, dan menggiring Biru ke satu ruangan lain di rumahnya. Ya, seperti dugaan Biru, Hendro disembunyikan, dan tempat paling aman adalah rumah sang atasan. Bila Biru jadi atasannya, ia tentu saja akan melakukan hal serupa. Seperti dahulu saat ia menyembunyikan Ava di rumahnya.Irjen Kamaru Joshua pun mempersilahkan Biru untuk duduk di sofa. Ruangan itu seperti kantor yang digunakan pria itu untuk bekerja. Biru pun duduk, menunggu atasannya untuk mengambilkannya minum. Tak lama, Joshua pun duduk dengan dua cangkir kopi di tangannya."Saya sangat suka kopi, jadi saya sengaja menyediakan mesin kopi sendiri di ruangan saya. Karena ini saya tidak perlu menyuruh orang lain untuk membuatkan kopi. Kalau kepengin, tinggal buat sendiri. Silahkan Biru,
"Dalam diri tiap manusia, pasti memiliki sebuah rahasia yang tak ingin diketahui banyak orang. Baik itu rahasia jahat, atau pun baik."***"Terima kasih atas kerja samanya, Pak Djati."Djati hanya dapat mengangguk. Pihak KPK benar-benar tak mendapatkan apa-apa. Praba benar-benar rapi dalam menyimpan rahasia di rumah itu. Dengan santai, Djati tersenyum, dan kemudian mempersilahkan orang-orang dari KPK itu untuk pergi.Setelah semuanya steril, Djati pun melihat ke arah CCTV. Ia tersenyum menyeringai, seakan sedang mentertawakan sikap Praba yang sangat payah. Djati tahu Praba pasti memantau CCTV di rumahnya, dan ia juga pasti sadar bahwa di sekitar rumah ini ada banyak intel tengah mengintai untuk menangkap Praba. Karena itu, ia meminta seluruh ajudan di rumah itu untuk mematikan semua CCTV di dalam rumah."Anda yakin, Bang?" tanya Bernardio yang langsung diangguki oleh Djati."Ya, tentu saja. Pihak dari KPK pasti akan tetap mengintai, mereka mungkin bisa menyadari suatu saat nanti bahwa
"Jangan pernah menggantungkan harapan pada manusia. Gantungkanlah mimpi pada Tuhan, berdo'a dengan sepenuh hati, dan bekerja keraslah sekuat tenaga." *** "Ava, aku benar-benar minta maaf padamu. Aku benar-benar tidak tahu kalau hal ini akan terjadi. Aku benar-benar tak memprediksi sebelumnya." Terdengar helaan napas yang begitu keras dari ujung telepon. Djati pun tak dapat berkata apa-apa lagi, keadaan yang membuatnya hanya bisa terdiam membisu. Ia sungguh ingin merealisasikan apa yang mereka telah rencanakan. Namun kenyataannya, Praba saat ini sedang dalam pelarian, jadi mana mungkin mereka menjalankan apa yang telah disusun sedemikian rupa. Walaupun begitu, Djati sudah merencanakan sebuah langkah cadangan untuk mengetahui hubungan antara Praba, dan Anggrek, Ibu Kandung Ava. Namun ia belum yakin, jadi ia pun tidak mengatakan apa-apa pada Ava. Ia ingin memastikan terlebih dahulu. Ia ingin mendapatkan sebuah hasil yang benar-benar membuatnya yakin, baru setelah itu ia akan memberi
"Kehidupan manusia tak berhenti di satu titik. Saling berhubungan. Bila hari ini ada kehidupan yang menyenangkan, maka esok belum tentu ada kehidupan yang sama menyenangkannya."***Malam itu hujan turun dengan sangat deras. Mestinya Djati menikmati tempat tidurnya yang nyaman. Namun pria itu justru bergumul di kamar tidur sang ayah angkat, dan mencari brankas tersembunyi yang dimilikinya. Brankas itu berada di kamar mandi, tersembunyi di balik cermin bulat yang tidak cukup besar.Djati mengangkat cermin itu, menaruhnya di bathup, dan matanya langsung melihat sebuah brankas tersembunyi di sana. Bentuknya kecil, tapi cukup untuk menyimpan segala arsip yang Praba bisa sembunyikan. Sekarang tinggal memecahkan masalah utamanya, yakni kata kunci yang dipakai Praba untuk membuka brankas. Djati yakin, Praba tak akan menggunakan tanggal ulang tahunnya sendiri, atau tanggal ulang tahun Djati."Kira-kira apa ya? Oke, kita coba saja dulu." Djati menekan nomor-nomor yang sesuai dengan hari lahir
"Ada dua sisi yang saling bertubrukan di dunia, yaitu kebenaran, dan kebohongan. Keduanya saling duduk berdampingan, seakan menjadi sebuah pilihan yang terasa membingungkan bagi manusia."***"Maaf ya, Djati. Saya terlambat datang, karena pagi tadi saya harus sarapan bersama Ibu Bhayangkari. Kebetulan memang agak lama, banyak program yang akan dibicarakan selama setahun ke depan. Oh, ya, ada apa? Kamu bilang ini sangatlah penting. Apa ada sesuatu yang kamu temukan? Kamu menanyakan tanggal ulang tahun ibuku, berarti kamu menemukan sesuatu, kan?"Cercaan Ava itu hanya mendapat anggukan dari Djati. Ava tersenyum sumringah, sungguh sejak menerima telepon dari Djati semalam, ia berharap pria itu memang mendapatkan beberapa informasi penting mengenai masa lalu Ibunya, dan Praba. Sungguh keyakinannya perlu dipenuhi, karena ia sendiri belum bisa menerima bahwa ayah kandungnya ternyata seseorang yang berpuluh-puluh tahun berjalan di jalan yang penuh dosa, dan darah. Ia memang tidak berharap ba
"Manusia terkadang menghindari apa yang benar dengan menampiknya, dan melindungi dirinya untuk mempercayai apa pun yang ingin ia tidak percaya. Ini hanya satu cara dari sekian banyak cara manusia untuk mempertahankan ego yang sejak lahir ada di dalam dirinya." *** "Siang ini diselenggarakan pertemuan antara Wakil Presiden, Pak Berdaya Adinegara dengan beberapa ketua partai koalisi yang tergabung dalam koalisi Indonesia Bersama. Agenda yang dibicarakan kemungkinan terkait dengan pencalonan Pak Berdaya Adinegara sebagai Presiden di Pemilu yang akan diadakan akhir tahun ini. Selain itu, terdapat rumor bahwa Pak Berdaya juga akan memilih siapa pendamping yang sekiranya cocok menjadi Wakil Presidennya nanti. Kami juga akan—" Semua terkaget-kaget saat televisi yang mereka tonton tiba-tiba saja mati. Mereka melihat ke arah sang tersangka yang ternyata atasan mereka sendiri, Dewandaru Angkasa Biru. Biru menatap anak buahnya tersebut satu persatu dengan seksama, membuat mereka hanya dapat t