"Jangan pernah menggantungkan harapan pada manusia. Gantungkanlah mimpi pada Tuhan, berdo'a dengan sepenuh hati, dan bekerja keraslah sekuat tenaga." *** "Ava, aku benar-benar minta maaf padamu. Aku benar-benar tidak tahu kalau hal ini akan terjadi. Aku benar-benar tak memprediksi sebelumnya." Terdengar helaan napas yang begitu keras dari ujung telepon. Djati pun tak dapat berkata apa-apa lagi, keadaan yang membuatnya hanya bisa terdiam membisu. Ia sungguh ingin merealisasikan apa yang mereka telah rencanakan. Namun kenyataannya, Praba saat ini sedang dalam pelarian, jadi mana mungkin mereka menjalankan apa yang telah disusun sedemikian rupa. Walaupun begitu, Djati sudah merencanakan sebuah langkah cadangan untuk mengetahui hubungan antara Praba, dan Anggrek, Ibu Kandung Ava. Namun ia belum yakin, jadi ia pun tidak mengatakan apa-apa pada Ava. Ia ingin memastikan terlebih dahulu. Ia ingin mendapatkan sebuah hasil yang benar-benar membuatnya yakin, baru setelah itu ia akan memberi
"Kehidupan manusia tak berhenti di satu titik. Saling berhubungan. Bila hari ini ada kehidupan yang menyenangkan, maka esok belum tentu ada kehidupan yang sama menyenangkannya."***Malam itu hujan turun dengan sangat deras. Mestinya Djati menikmati tempat tidurnya yang nyaman. Namun pria itu justru bergumul di kamar tidur sang ayah angkat, dan mencari brankas tersembunyi yang dimilikinya. Brankas itu berada di kamar mandi, tersembunyi di balik cermin bulat yang tidak cukup besar.Djati mengangkat cermin itu, menaruhnya di bathup, dan matanya langsung melihat sebuah brankas tersembunyi di sana. Bentuknya kecil, tapi cukup untuk menyimpan segala arsip yang Praba bisa sembunyikan. Sekarang tinggal memecahkan masalah utamanya, yakni kata kunci yang dipakai Praba untuk membuka brankas. Djati yakin, Praba tak akan menggunakan tanggal ulang tahunnya sendiri, atau tanggal ulang tahun Djati."Kira-kira apa ya? Oke, kita coba saja dulu." Djati menekan nomor-nomor yang sesuai dengan hari lahir
"Ada dua sisi yang saling bertubrukan di dunia, yaitu kebenaran, dan kebohongan. Keduanya saling duduk berdampingan, seakan menjadi sebuah pilihan yang terasa membingungkan bagi manusia."***"Maaf ya, Djati. Saya terlambat datang, karena pagi tadi saya harus sarapan bersama Ibu Bhayangkari. Kebetulan memang agak lama, banyak program yang akan dibicarakan selama setahun ke depan. Oh, ya, ada apa? Kamu bilang ini sangatlah penting. Apa ada sesuatu yang kamu temukan? Kamu menanyakan tanggal ulang tahun ibuku, berarti kamu menemukan sesuatu, kan?"Cercaan Ava itu hanya mendapat anggukan dari Djati. Ava tersenyum sumringah, sungguh sejak menerima telepon dari Djati semalam, ia berharap pria itu memang mendapatkan beberapa informasi penting mengenai masa lalu Ibunya, dan Praba. Sungguh keyakinannya perlu dipenuhi, karena ia sendiri belum bisa menerima bahwa ayah kandungnya ternyata seseorang yang berpuluh-puluh tahun berjalan di jalan yang penuh dosa, dan darah. Ia memang tidak berharap ba
"Manusia terkadang menghindari apa yang benar dengan menampiknya, dan melindungi dirinya untuk mempercayai apa pun yang ingin ia tidak percaya. Ini hanya satu cara dari sekian banyak cara manusia untuk mempertahankan ego yang sejak lahir ada di dalam dirinya." *** "Siang ini diselenggarakan pertemuan antara Wakil Presiden, Pak Berdaya Adinegara dengan beberapa ketua partai koalisi yang tergabung dalam koalisi Indonesia Bersama. Agenda yang dibicarakan kemungkinan terkait dengan pencalonan Pak Berdaya Adinegara sebagai Presiden di Pemilu yang akan diadakan akhir tahun ini. Selain itu, terdapat rumor bahwa Pak Berdaya juga akan memilih siapa pendamping yang sekiranya cocok menjadi Wakil Presidennya nanti. Kami juga akan—" Semua terkaget-kaget saat televisi yang mereka tonton tiba-tiba saja mati. Mereka melihat ke arah sang tersangka yang ternyata atasan mereka sendiri, Dewandaru Angkasa Biru. Biru menatap anak buahnya tersebut satu persatu dengan seksama, membuat mereka hanya dapat t
"Level keikhlasan tertinggi adalah merelakan orang yang kamu sayangi hidup bahagia tanpamu."***"Jangan lupa untuk pulang lebih awal besok. Kita harus datang ke acara pembukaan restorannya Irvin. Kasihan lho, dia sudah capek-capek datang ke sini, dan kemarin enggak ketemu kita."Biru jelas langsung mengangguk. Istrinya tersenyum sembari memperbaiki lengan kaos Biru yang belum rapi. Biru sendiri sedang sibuk memakai jam tangannya. Setelahnya, ia rangkul pinggang Ava, dan mendekapnya dengan sangat erat.Ava sendiri mengalungkan tangannya di leher sang suami. Ia pun mencium pipi sang suami dengan lembut, membuat Biru melebarkan senyumnya dengan sumringah. Tangannya berpindah, merapikan anak rambut Ava yang sepertinya memang ditata sedemikian rupa. Biru memandangi istrinya dengan intens, seakan tengah mengagumi kecantikan Ava yang semakin bertambah tiap harinya."Ok," jawab Biru pelan. "Lagipula salah Irvin sendiri, kenapa enggak telepon, atau kirim pesan ke kita. Seenggaknya kan, kita b
"Keraguan akan tetap ada. Selama napas berhembus, maka ketidak yakinan akan terus merundung tiap jiwa manusia yang hidup di dunia."***"Perintah pencarian buronan Anthony Radjarta sudah menyebar, kita hanya butuh waktu saja untuk menangkapnya. Soal Marco, ia sedang diselediki, dan ternyata terungkap bahwa ia melakukan beberapa pelanggaran berat di dalam penjara."Seringai itu berbentuk kepuasan. Biru benar-benar senang. Ia merasa bahwa cerita akhir dari keterpurukannya selama ini akan segera usai. Ia bisa menduga kalau segala hal akan terungkap satu persatu, saling menemukan tempatnya masing-masing di dalam puzzle.Kini tinggal masalah narkoba saja. Hal yang entah mengapa membuat Biru kebingungan setengah mati. Biru bahkan hampir berpikir bahwa Djati sudah tak lagi berkontribusi dalam bisnis jahanam itu, saking suksesnya ia di dunia furniture. Biru benar-benar kesulitan menemukan keterlibatan Djati, ia ingin berhenti, tapi ia tidak yakin bahwa dirinya mampu."Pak," sapa Althaf tiba-t
"Mencintai adalah berani melakukan segalanya. Mencintai adalah sebuah keikhlasan. Mencintai adalah level tertinggi dari sebuah kata menyerah."***"Kamu benar-benar tidak tahu keberadaan Praba? Nomor yang dipakai oleh Pak Radja, mana? Sudah bisa kamu hubungi belum? Saya harus tahu di mana keberadaan Praba sekarang."Djati mencerca anak buah Praba dengan semangat. Saat ia dikirimi pesan oleh Praba, ia tentu saja langsung menghubungi pria itu. Sayangnya nomor yang Praba gunakan, tak lagi aktif. Tampaknya Praba memakai banyak nomor untuk berhubungan dengan orang lain.Anak buah yang dituju Radja juga tak tahu menahu. Ia hanya disuruh untuk menyetorkan sejumlah uang, karena kartu debitnya telah ia serahkan pada sang bos. Saat bekerja, segala kerahasiaan adalah nomor satu. Termasuk memberikan identitas pribadi masing-masing kepada pihak Praba atau pun Djati."Saya tidak tahu apa-apa," cicit sang anak buah yang menurut Bernardio bernama Bayu."Kalau begitu biarkan saja. Kalau menelpon lagi,
"Saat terlibat oleh perasaan cinta, manusia akan mengorbankan segalanya. Termasuk perasaan, dan waktu. Karena pada hakikatnya, cinta itu buta. Semua manusia tahu akan hal itu." *** "Atas nama Dewandaru Angkasa Biru." Seorang pelayan mengangguk, lalu membawanya ke salah satu bilik di mana seorang pria berusia empat puluh tahunan akhir sedang menunggunya sambil meminum ocha hangatnya. Ia mengangguk, memberi kode kepada Biru untuk segera masuk, dan duduk. Biru memang sengaja meminta pria itu menemuinya, saat sang ibu mengatakan kalau ia mendapat foto Ava, dan Djati dari istri seorang Harry Taragandhi. Biru pun menurut, ia masuk, dan duduk dengan tenang di hadapan Harry. Harry, seorang taipan kaya berwajah oriental yang sangat khas. Meskipun hampir mencapai usia lima puluh tahunan, pria itu masih terlihat tampan, dan gagah. Harry adalah lawan yang tak bisa dianggap main-main. Meskipun orang baru di dunia politik, tapi ia memiliki kekuatan media massa yang begitu luas. "Apa yang ingin