"Menikah bukanlah akhir dari sebuah kisah. Menikah memiliki artian panjang dari sebuah kisah hidup. Bersama seseorang, kita memulai kisah itu. Entah panjang atau sebentar."***"Pak, enggak pulang? Bapak kan, pengantin baru."Biru mengernyit, dan baru mengingat bahwa ia belum menghubungi Ava sama sekali seharian ini. Setelah pulang dari rumah sakit, Biru pergi ke kantor polisi untuk mengawasi interogasi yang dilakukan rekannya. Dari interogasi tersebut, Biru dan timnya dibuat pusing karena terduga yang mereka tangkap tidak memberikan informasi yang jelas. Belum lagi media sudah mendesak dan berkerumun di depan kantor polisi untuk meminta kejelasan tentang penemuan narkoba dalam jumlah besar."Untung kamu ingatkan, saya lupa," cetus Biru sambil memukul keningnya. Beberapa rekannya geleng-geleng kepala, dan bahkan ada yang berani mengolok-oloknya. Biru yang pada dasarnya bukan orang yang kaku, langsung pamer cengiran pada rekan-rekannya tersebut.Biru pun segera pamit, karena memang ia
"Manusia seperti dua sisi mata koin. Terkadang jahat, terkadang juga bisa baik. Semuanya tergantung pada bagaimana dunia memperlakukan manusia itu sendiri." *** "Setahu saya bukankah memenjarakan orang lain butuh bukti yang kuat? Bila hanya dari pengakuan saya yang tidak berdasar pada bukti kuat, bukankah bisa salah?" Biru mengangguk dengan pasti. Segala hal yang diucapkan oleh Ava ada benarnya. Mengenal atau tidaknya Ava pada keempat orang tersebut, mungkin tidak membantu banyak. Namun paling tidak Biru tahu bahwa dari keempat orang itu ada yang benar-benar terhubung dengan Djati dan Praba. Entah mengapa, begitu sulit bagi pria itu mengungkap kejahatan Djati dan Praba. Tiap Biru memiliki titik terang, pasti ada saja kendalanya yang membuat usahanya gagal. Djati dan Praba seperti berhasil mengambil langkah lebih cepat darinya. Membuat Biru benar-benar gundah dibuatnya. "Tidak apa-apa, Ava. Paling tidak saya tahu bahwa salah satu dari keempat orang ini punya hubungan dengan Djati d
"Saat kamu jatuh cinta, nyatanya tiap detik yang terlewat adalah rindu yang tak tersampaikan. Saat kamu jatuh cinta, tiap jarum jam yang bergerak berisi keinginan untuk segera bertemu, dan menebus segala gundah yang dirasa." *** "Kapan kalian bulan madu? Ibu mau kalian bersantai, dan menikmati masa-masa menjadi pengantin baru." Ava menoleh pada Biru yang hanya diam saat mendengar permintaan Tarissa. Wanita itu sedang cuti, jadi ia berada di rumah sepanjang waktu untuk bersantai. Sayangnya waktu bersantainya telah habis. Hari ini ia harus kembali beraktivitas sebagai seorang istri wakil presiden. Sebelum ia terlanjur larut dalam kegiatannya, Tarissa menyempatkan diri untuk memaksa putra bungsu dan menantu barunya pergi berbulan madu. Ia ingin melihat Biru yang selama bertahun-tahun ini bekerja keras tiada henti, pergi bersantai bersama istrinya. Tarissa berpikir putra bungsunya itu butuh menghabiskan waktu untuk melepas penat, setelah bertahun-tahun lamanya menjalani hidup yang beg
"Tiap cinta tidak melulu menggebu. Terkadang bisa luntur karena waktu. Terkadang bisa mati karena tidak dipupuk."***"Jangan bohong, Ava!"Tajamnya tatapan nyatanya mampu menyakiti hati seseorang. Itulah yang terjadi pada Djati saat ini. Pria itu kelu, namun menyerah bukanlah pilihan. Ia ingin terus mencerca Ava dengan tanya, dengan pilihan, dan dengan keinginannya untuk menggapai gadis itu kembali.Namun Ava lelah. Bersama Biru sudah menjadi kebiasaan sekarang. Terlebih fakta yang terpapar, membuat Djati jadi benar-benar berbeda di matanya. Ava tak bisa membayangkan saat tidak bersamanya, pria itu berubah jadi keji, dan mudah menyakiti orang lain yang tidak bersalah."Aku tidak tahu, Djati." Ava menghela napasnya sejenak. Ia memang benar-benar lelah. "Tidak cukupkah buat kamu melihat pernikahanku? Tidak cukupkah buat kamu berhenti bertanya apa aku mau kembali sama kamu?"Djati berang, ia menarik satu tangan Ava. Lalu membawa gadis itu mendekat. Ia ingin lebih, namun hatinya berkata b
"Manusia hanya dapat berencana, Tuhanlah yang berkehendak."***"Pak, saya dengar surat panggilan pemeriksaan untuk Praba Bhanu Winnata telah keluar."Senyum menyeringai langsung muncul. Wajah tampannya menengadah, melupakan ribuan huruf yang tercetak di sebuah kertas. Ekspresinya memang datar, namun kilauan netra tak dapat berbohong. Biru sedang senang saat ini.Ia lalu mengangguk, memberikan ruang untuk bawahannya duduk. Biru harus memastikan bahwa Praba tidak boleh lolos dari kasus percobaan pembunuhan yang terjadi pada Ava. Kalau pun lolos, Biru harus membuatnya kesulitan. Pria itu harus mendapatkan rasa gelisah yang sama seperti yang telah ia perbuat pada Ava."Tolong, jangan biarkan Praba lolos semudah itu dari kasus ini. Taklukan semua alibinya, buat pria itu kesulitan hingga ia tidak mampu lagi membuat argumen. Kita cari cara agar pria itu mendekap di penjara yang sama seperti orang suruhannya."Sang bawahan tak menjawab. Ia berpikir sebentar. Ekspresinya begitu kesulitan, sep
"Tidak ada yang instan, segala hal memiliki proses, termasuk cinta. Segala sesuatu yang instan akan cepat habis dan mudah terhapus oleh lekang waktu."***"Saya pikir kamu enggak punya tato."Biru tertawa kecil. Mereka berbaring di tempat tidur, saling berhadapan. Badannya belum terbalut kaos. Ia hanya memakai celana pendek yang disiapkan oleh Ava. Awalnya Ava merasa risih dan kaget saat Biru memeluknya hanya dibalut oleh handuk. Namun, karena pelukan Biru terasa begitu hangat, dan pria itu sangat butuh pelukan, Ava membiarkannya. Setelah cukup lama berpelukan, Biru melepas Ava. Terjadilah sebuah kecanggungan hingga akhirnya mereka saling menatap di atas tempat tidur seperti sekarang."Kalau kamu lupa, saya pernah begitu berantakan saat remaja. Tato jadi salah satu pelampiasan. Lagipula bentuknya enggak besar, hanya di beberapa titik kecil saja."Ava memandangi salah satunya. Di lengan teratas sebelah kanan, berbentuk seperti meteor yang jatuh. Cantik sekali."Saya suka yang itu. Baka
"Orang lain hanya melihatmu dari kesuksesan. Mereka tidak pernah peduli pengorbanan seperti apa yang telah kau lalui hingga akhirnya mencapai kesuksesan itu."***"Padma? Diteror? Siapa yang berani meneror gadis galak seperti dia?"Ava mengedikkan bahunya. Karena tidak tahu, maka dari itu ia bertanya pada Biru. Pria itu pasti pernah menghadapi masalah teror meneror, jadi jawabannya akan lebih bijak, serta masuk akal. Ada kalanya manusia hanya tahu sebagian, sebagian lagi dikuasai manusia lain.Selesai mandi, Ava melihat Biru tengah duduk membaca laporan. Gadis itu pun memberanikan diri untuk bertanya. Ava tahu dengan bertanya pada Biru, mungkin ia bisa memberi nasihat yang tepat nantinya pada Padma."Dia selalu mendapat bunga berjenis sama tiap hari jum'at. Terkadang ada kartu ucapannya, tapi lebih banyak hanya bunga saja. Permasalahan utamanya, pengirim bunga ini selalu berganti toko. Jadi, Padma enggak benar-benar bisa menyelidiki seperti apa orangnya."Biru mulai menyimak dengan se
"Dalam cinta, tidak melulu berakhir bersama. Terkadang banyak yang gagal, lalu coba lagi dengan yang lain. Terkadang yang gagal berakhir dalam kenangan, atau terlupakan begitu saja."***"Saya harus ke kantor polisi. Sebentar saja, kok. Pergi sama Yeni, ya. Nanti saya akan menjemput kamu selepas dari kantor polisi."Pagi itu Biru tampak tergesa-gesa. Seperti ada hal penting yang mengganggunya. Ava tak ingin bertanya, karena takut berakhir menjadi pengganggu. Jadi, gadis itu memilih diam, dan mengikuti apa pun yang sekiranya Biru instruksikan.Seharian ini, ia akan berada di apartemennya. Membereskan segala barangnya, karena Ava akan mengakhiri sewa kontraknya bulan ini. Ia akan pindah, dan menetap di rumah baru yang katanya sudah dibeli Biru."Baiklah, kalau begitu. Hati-hati, ya!" Biru mengangguk, netranya menatap Ava dengan sangat dalam. Ava tidak mengerti, tapi ia bisa merasakan kegundahan yang dirasakan Biru. Ada apakah sebenarnya hari ini?Biru hendak pergi, namun Ava menahannya.