Mendengar permintaan dan suara manja Wolf membuat Yuriko terkejut. Ternyata pria dengan tubuh tinggi kekar itu bisa bersikap manja juga, pikirnya. Namun belum sempat memberi respon apa pun, Wolf sudah kembali berbicara. Mungkin takut Yuriko akan marah karena permintaan konyolnya."Kalau kau keberatan, kau tidak perlu melakukannya," imbuh Wolf lesu."Cup!" Yuriko mengecup pipi Wolf singkat, "Aku mau ke kamar dulu sebentar," ujarnya bergegas berlari menjauh.Yuriko tersenyum sambil menyentuh pipinya yang terasa menghangat. Jika ia tidak bergegas kabur, mungkin Wolf bisa melihat perubahan wajahnya yang memerah bagai bunga mawar merah yang baru saja mekar dengan indahnya.Sementara Wolf, saat ini pria itu sedang tersenyum malu. Hatinya berbunga-bunga bagai di musim semi. Padahal, ia sudah percaya kalau Yuriko akan menolak permintaannya. Namun ternyata, sang istri benar-benar mengecup pipinya meski sangat singkat."Jantungku masih aman, 'kan?" tanya Wolf pada dirinya sendiri. Ia mengusap d
"Aku ingin seluruh karyawan di perusahaan tahu dan berhenti menghinamu. Aku ingin mereka berpikir kalau aku yang beruntung mendapatkamu dan bukan sebaliknya," jelas Wolf menggebu.Pria itu ingin seluruh isi perusahaan merasa, bahwa ia mendapatkan keberuntungan yang berlimpah mendapatkan Yuriko. Ia ingin mereka berpikir seperti apa yang ia pikirkan."Aku tidak butuh semua itu, Mas. Aku tidak peduli, mau seisi perusahaan menghinaku asalkan bukan aku mengusik mereka lebih dulu," tolak Yuriko tegas."Kau memang tidak butuh dan tidak peduli, tapi bagaimana denganku? Aku tidak rela melihat istriku dihina dan diremehkan, Yuri. Apalagi melihat bagaimana cara mereka memperlakukanmu terakhir kali. Hati aku sakit, Yuri, sakit," sanggah Wolf menggebu.Ia tidak bermaksud untuk memamerkan kecantikan Yuriko di depan orang lain. Justru rasa takut mulai menggerogoti karena takut ada pria lain yang akan menyukai sang istri. Hanya saja, ia tidak ingin semua orang memandang rendah dan ingin semua orang t
Menyadari akan kesalahannya, Yuriko bergegas menjauhkan wajahnya, bahkan ia sampai beranjak berdiri dengan canggung."A-aku ... Aku haus mau minum," ujar Yuriko gelagapan.Wanita itu berusaha menghindar. Namun sayangnya, Wolf tidak bisa melepaskannya begitu saja. Pria itu langsung meraih lengan Yuriko dan menariknya hingga jatuh di pangkuannya."Kau haus? Biar aku antar ke dapur." Wolf mengangkat tubuh Yuriko sambil beranjak berdiri."Ti-tidak, bukan itu maksud aku." Yuriko langsung melompat turun."Lalu, bagaimana maksudmu?" tanya Wolf menatap Yuriko dengan tatapan menelisik.Tangan kanannya meraih pinggang Yuriko dan menariknya. Kini, tubuh mereka berdua sudah menyatu. Jarak wajah keduanya pun hanya beberapa senti saja."Apa ini maksudmu?" tanya Wolf lagi sambil memiringkan kepalanya dan mengecup bibir Yuriko singkat."Bukan, Mas. Tadi itu aku ... cuma keceplosan," sanggah Yuriko."Baiklah, tapi apa malam ini kau sudah siap?" tanya Wolf sebelum mengecup Yuriko lebih jauh.Melihat ap
Merasa ada seseorang yang mengikuti, Yuriko menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang."Astaga! Apa yang kau lakukan, Mas?" Yuriko membalikkan tubuhnya dan mengeluh.Bukankah ia sudah bilang mau mandi? Lalu, untuk apa Wolf mengikutinya? Seharusnya, sang suami menunggunya selesai kalau seandainya ingin mengatakan sesuatu."Aku tidak melakukan apa-apa," sahut Wolf sambil mengedikkan bahunya."Kalau kau tidak melakukan apa-apa, lalu kenapa kau mengikutiku sampai sini?" tanya Yuriko sambil melipat kedua tangannya di depan.Saat ini, Yuriko sudah berada tepat di depan kamar mandi. Hanya perlu melangkah satu langkah lagi ia sudah berpindah ruang. Namun, ia merasa terganggu dengan sang suami yang terus mengikutinya."Tentu saja karena aku mau mandi juga," sahut Wolf dengan raut biasa."Tunggu! Kau mau mandi?" Wolf mengangguk sebagai jawaban, "Boleh, Mas, tapi tunggu aku selesai dulu," imbuhnya."Loh! Memangnya kenapa? 'Kan kita bisa mandi bareng, Sayang?" tanya Wolf tidak mengerti.Jik
"Kita mau ke mana, Mas? Bukankah kita baru sampai di kantor? Kau bahkan belum memberitahuku apa-apa saja pekerjaanku nanti," tanya Yuriko bingung."Aku ingin memberimu kejutan. Aku ingin keraguanmu padaku hilang karena apa yang akan aku lakukan nanti," sahut Wolf sambil menggandeng tangan Yuriko berjalan keluar ruangannya.Mendengar jawaban yang suaminya lontarkan membuat Yuriko mengerutkan keningnya. Ia tidak mengerti dengan kejutan yang akan Wolf berikan. Selama satu Minggu ini, mereka selalu bersama dan Yuriko tidak melihat sang suami merencanakan sesuatu di belakangnya."Tapi kejutan apa? Selama ini kau sibuk bersamaku dan tidak terlihat merencanakan sesuatu?" tanya Yuriko penasaran.Ia sama sekali tidak tahu kalau kejadian di lobby tadi membuat Wolf memiliki ide cemerlang."Pokoknya kau lihat saja sendiri nanti," jawab Wolf sambil melangkah masuk ke dalam lift.Dalam hitungan detik, dentingan suara lift terbuka terdengar. Wolf menoleh ke samping dan tersenyum. Mengeratkan genggam
"Tidak, Sayang. Berdua tidak cukup dan kita perlu adanya anak untuk melengkapi keluarga kita. Setidaknya, kita harus memiliki satu agar hidup kita terasa lebih lengkap," balas Wolf sambil menjauhkan tubuhnya dan duduk.Jujur, ia sangat terkejut mendengar jawaban Yuriko. Tidak pernah terpikir sebelumnya kalau Yuriko akan menolak memiliki anak dengannya. Meskipun demikian, hal itu tidak membuat rasa cintanya terhadap sang istri berubah. Ia hanya perlu membujuknya agar mau memiliki anak.Yuriko membuat posisi duduk. "Maaf, aku tidak bisa. Aku sudah merasa cukup hanya dengan kita berdua saja," ujar Yuriko bersikeras."Baiklah. Kalau boleh tahu, apa yang membuatmu tidak ingin memiliki anak? Kau ... Bukan karena kau masih meragukanku 'kan, Yuri?" tanya Wolf ragu."Tidak, Mas, bukan." Yuriko meraih tangan Wolf, "Aku sama sekali tidak meragukanmu. Apalagi setelah apa yang kau lakukan barusan," lanjutnya sambil menggeleng cepat.Untuk saat ini, Yuriko memang tidak meragukan kesetiaan Wolf. Han
"Aku bilang aku akan mengeluarkannya di luar," ujar Wolf lebih dingin dari sebelumnya. Tangannya mencengkeram setir mobil kuat-kuat agar amarahnya tidak terlampiaskan pada Yuriko."I-iya, Mas." Yuriko melirik sekilas dan melihat betapa dingin ekspresi wajah Wolf saat ini. Meskipun demikian, ia bersikap seolah tidak tahu. Meremas jemarinya dan membuang pandangan ke arah samping.Selama perjalanan setelah pembahasan mengenai pengaman, tidak ada sepatah kata pun yang terlontar. Namun setelah sampai di rumah, Wolf kembali bersikap seperti biasa. Ia sedikit merasa bersalah karena sudah bersikap dingin pada Yuriko."Mau mandi bersama? Aku janji tidak akan macam-macam," tawar Wolf.Sebesar itu cinta Wolf pada Yuriko. Jika pria lain di luaran sana, mungkin akan mendiamkan Yuriko atas apa yang telah wanita itu lakukan. Meminta anak langsung ditolak dan diminta memakai pengaman ketika melakukan hubungan intim."Mau," balas Yuriko mengangguk dengan seulas senyuman.Kini, mereka berdua berjalan
"Tidak, Mas, jangan dengarkan dia. Aku sama sekali tidak ada niatan untuk kembali bersamanya, bahkan meski aku mati sekalipun," sergah Yuriko menimpali.Sumpah demi apa pun, kali ini Yuriko benar-benar takut Wolf akan salah paham. Apalagi sang suami memergokinya berpelukan dengan Devon meski bukan atas dasar keinginannya."Ayo kita pulang!" Wolf mengabaikan uluran tangan Devon dan menunjukkan raut dingin. "Mas? Kau percaya padaku, 'kan?" tanya Yuriko dengan raut khawatir."Aku bilang pulang," balas Wolf dingin.Ia menatap Yuriko dengan manik mata membola. Bagaimana bisa sang istri sulit sekali untuk diajak bicara? Bahkan ini yang kedua kalinya Yuriko tidak mau mendengar ucapannya."Iya kita akan pulang, tapi aku ambil belanjaan kita dulu sebentar," ujar Yuriko sambil menunjuk ke arah meja di mana barang belanjaannya berada.Wolf melepaskan tangannya dan membiarkan sang istri mengambil barang belanjaan. Kemudian, ia berjalan lebih dulu tanpa berniat untuk mengambil alih belanjaan itu.