Share

Chapter 05

Sepeninggalan Rhiannon, pikiran Adrian tak berhenti bekerja. Ia masih memikirkan situasi yang kini menimpanya. Adrian perlu memastikan kebenarannya sendiri apa yang kini ia yakini.

"Jika benar aku sedang bertukar jiwa, apakah pangeran yang asli sedang berada di tubuh asliku?"

"Lalu bagaimana cara kerja pertukaran jiwa ini? Apakah ada konsekuensi yang akan kami dapat?"

Adrian mengacak rambutnya frustasi memikirkan segala risiko yang pasti akan ia dapat. Pangeran itu bangkit berjalan mondar-mandir di depan pintu peraduannya.

Apalagi kini pikirannya kian berkecambuk menyadari situasi tak menguntungkan sebagai sosok pangeran buangan. Bagaimana tidak, ketika ia harus mengenali lingkungan barunya, kini ia malah tersandung masalah tidak bisa leluasa keluar dari peraduannya.

"Huh! Satu-satunya cara aku harus segera menemukan jalan keluar rahasia yang nona tadi dibicarakan. Tapi masalahnya aku harus mulai darimana?" gumam Adrian

memikirkan jalan keluar yang bisa menjadi alternatif berharga.

Tungkainya kini berhenti tepat di depan pintu kemudian

tangannya terulur mendorong knop pintu yang ternyata tidak terkunci.

"Tidak terkunci?" pikirnya keheranan. Ia lantas teringat sosok Rhiannon yang sepertinya sengaja meninggalkan pintu dalam keadaan tak terkunci.

Akhirnya Adrian mencoba menjulurkan kepalanya terlebih dahulu melihat situasi di luar.

Alisnya bertaut heran begitu indera pengelihatannya segera terpaku pada lorong istana yang gelap.

Adrian bergidik ngeri menyadari lorong gelap itu penuh tiang-tiang besar dengan tembok kusam berwarna kecoklatan yang membentang pada sisi lorong.

Belum lagi penerangan begitu minim hanyalah berasal dari 2 obor yang terpasang pada sisi kanan dan kiri tembok, membuat kesan menakutkan kian terasa.

"Entah mengapa aku malah teringat Hogward, sekolah Harry Potter dalam film," celetuk Adrian asal

sembari melangkah keluar kemudian berjalan ke barat menyusuri lorong gelap.

Netra birunya tak lepas mengabsen setiap sudut lorong. Tidak seperti lorong istana kebanyakan yang

berkilau dan tampak mewah, di sini justru sangat jauh dari gambaran itu. Tembok pada lorong itu

nyatanya hanya terbuat dari kayu dan lantai lorong nampak kotor tak terawat, juga hawa panas dan

pengap akibat tak adanya ventilasi udara.

"Bawah tanah?" Adrian menerka-nerka di mana posisinya kini berada.

"Selain di campakkan, ternyata pangeran ini juga diberikan tempat tak layak ya?" gumamnya menilai

kondisi tempat peraduan sang pangeran yang tak layak huni.

"APA YANG KAU LAKUKAN?! KAU TAK BOLEH KELUAR DARI PERADUANMU, BOCAH SIALAN!"

***

Di sebuah taman yang dipenuhi tanaman hijau dan bunga warna-warni, terlihat seorang wanita bergaun rosegold tengah berbincang dengan sekelompok wanita yang juga mengenakan gaun mewah.

Tatanan rambut wavy half-updo serta riasan wajah yang dikenakan wanita bergaun rosegold itu nampak sempurna membingkai wajah anggun nan dewasanya.

“Baru-baru ini tersiar kabar jika Pangeran Adrian terserang penyakit menular. Apakah benar itu, Yang Mulia?” celetuk wanita bergaun peach yang duduk tepat di sebelah sang permaisuri.

Audreya tiba-tiba terbatuk tersedak teh yang baru saja ia minum. Wajahnya memerah dengan batuk yang tak kunjung reda.

“Yang Mulia, apa anda baik-baik saja?” tanya Merthin, dayang permaisuri yang langsung

menghampiri dengan cemas. Ia bergegas mengusap punggung Audreya berusaha menenangkan.

Akhirnya setelah beberapa saat batuk sang permaisuri mereda.

“Mohon ampun, Yang Mulia, pertanyaan hamba lancang. Hamba berhak mendapat hukuman yang setimpal” sesal wanita bergaun peach bersujud tepat di samping kursi sang permaisuri kemudian disusul bangsawan lain berlutut hormat.

Audreya menatap teduh kemudian tersenyum lembut. “Bangkitlah, Duchess Shire, tak masalah, aku hanya sedikit terkejut mengetahui ada rumor itu.”

“Bisa kalian ceritakan lebih lanjut mengenai rumor itu? Aku ingin mendengarnya,” pinta Audreya membuat keempat wanita dewasa itu mengangguk bersamaan.

Akhirnya keempat wanita itu menceritakan segala hal tentang rumor tersebut. Rupanya rumor itu telah menyebar ke segala penjuru negeri. Yang lebih mengejutkan lagi yaitu rumor diawali oleh Selir

Agung Jirea, sang ibu kandung dari Pangeran Adrian sendiri. Ia menceritakan sendiri bahwa anaknya tengah berjuang melawan penyakit menular, hal itu semakin memperjelas alasan sang pangeran yang sangat jarang keluar istana. Selain itu sang selir juga memohon doa untuk puteranya yang presentase kesembuhannya sangat kecil. Tentu saja hal itu membuat rakyat Bavelach turut prihatin walaupun masih menandai sosok Pangeran Adrian sebagai aib istana.

Raut wajah Audreya tak mampu dikondisikan lagi, ia nyaris menitihkan air mata mendengar kebenaran dibalik rumor yang beredar.

Pangeran tak bersalah yang sedari kecil tak pernah mendapat kasih sayang ibundanya, kini harus menerima fakta bahwa keberadaannya hendak dibumihanguskan secara perlahan oleh ibu kandungnya sendiri.

“Duchess Shire, Duchess Hera, Lady Eriena dan Lady Veronica terima kasih sudah memberitahukan hal penting ini kepadaku. Aku akan mengkonfirmasi kebenarannya kepada Selir Agung Jirea.”

***

Audreya berjalan menyusuri lorong istana utama diikuti dua pengawal dan satu dayang yang

membututinya. Audreya mengambil langkah lebar dan berjalan dengan tergesa sehingga membuat sang permaisuri harus mengangkat tinggi-tinggi gaun rosegold-nya.

“Apakah anda yakin akan menemui selir agung sekarang, Yang Mulia?” tanya Merthin bersusah

payah menyeimbangi langkah sang ratu.

Merthin cemas dengan apa yang akan terjadi selanjutnya, terlebih sekarang sang permaisuri sedang

dalam kondisi emosi yang tak stabil. Seperti beberapa saat lalu usai acara minum teh selesai, Audreya diam-diam menangis tergugu begitu sampai di peraduannya. Lalu beberapa menit kemudian sang permaisuri keluar dari peraduan dengan sorot mata

zamrudnya penuh amarah.

Langkah Audreya mendadak terhenti di depan sebuah pintu raksasa berwarna hijau. Tanpa

menghiraukan rasa cemas yang Merthin utarakan, Audreya mengetuk keras-keras pintu itu.

Sambil memanggil beberapa kali, namun tidak ada seseorang pun yang menyahut.

“Nampaknya Selir Agung sedang tidak ada di tempatnya, Yang Mulia,” tanggap Merthin memberikan saran untuk datang lain waktu.

“PENGAWAL CEPAT BUKA PINTU INI!” titah Audreya tak sabaran.

Kedua pengawal yang diperintah tanpa menunggu segera bergerak mendobrak pintu tersebut. Meskipun pintu itu nampak gagah dan kuat, nyatanya kekuatan kedua prajurit itu jauh lebih besar.

Audreya merangsek masuk begitu pintu terbuka. Cahaya minim dalam kamar membuatnya menyadari memang sosok yang sedang ia cari sedang tidak ada pada tempatnya.

Wanita anggun itu mengembuskan napas berat. Ia memijit pelipis kepalanya yang berdenyut.

“Baiklah kita kembali nanti,” putus Audreya beringsut kembali keluar dari peraduan sang selir agung.

Meskipun amarahnya sudah berkumpul penuh dalam dadanya, kini ia harus bisa lebih sabar. Ia tak

boleh gegabah menghadapi sosok selir yang terkenal berbisa itu. Jika ia tak pandai menilai situasi, bisa saja membahayakan dirinya ataupun sang pangeran.

***

“ARGH! SIAPA KAU?! LEPASKANNN!!”

Erangan kesakitan menggema dalam lorong gelap itu. Perlawanan demi perlawanan sang pangeran

layangkan hingga nyaris saja membuatnya berhasil kabur, namun nahas dua prajurit kerajaan yang

entah datang dari mana menahan kedua tangannya hingga membuatnya tak bisa mengelak lagi.

BRAKK

Tubuh pemuda itu terjerembab dengan kerasnya begitu prajurit itu mendorong tubuhnya memasuki

peraduannya kembali.

“Argh! kurang ajar, Prajurit rendahan!” umpat Adrian sudah tak dapat menahan kekesalan begitu merasakan tubuhnya terasa remuk akibat membentur lantai dengan kerasnya.

Adrian harus berusaha bangkit menggunakan kedua lengannya yang masih berbalut kain.

“Sialan! Siapa yang menyuruhmu berlaku kurang ajar seperti ini kepadaku? Katakan! akan

kupatahkan kedua kakinya sekarang juga!” teriak Adrian dengan murka.

Kini prajurit yang tadi menyeretnya tertunduk takut. Tak bisa dipungkiri aura mengintimidasi dari sang pangeran menguar dari tubuhnya terasa mencekam.

Prok .. prok … prok ….

Suara tepuk tangan diiringi decitan sepatu dengan lantai membuat atensi pangeran teralihkan.

“Luar biasa … sekarang kau sudah berani mengancam ya, Pangeran Adrian?”

Manik biru laut itu menyorot sosok wanita dewasa bergaun jingga yang baru saja berjalan masuk di

antara kedua prajurit. Sosok itu nampak familiar bagi Adrian, namun karena kini jiwa Adrian Leonard yang menempati jiwa sang pangeran, membuatnya tak mengingat siapa sosok itu.

“Si… siapa kau?”

Mendengar pertanyaan konyol yang terlontar dari sosok Adrian, wanita itu tertawa keras. Wajah garangnya nampak semakin mengerikan.

Kening Adrian berkerut, ingatannya seketika berputar berusaha mengingat tokoh novel yang mirip dengan sosok yang ada di hadapannya. Dan dalam ingatannya hanya ada satu orang yang cocok menggambarkan wanita ini.

“Sang selir agung yang tak berperasaan … ibunda kandung sang pangeran,” gumam Adrian menatap wanita itu dengan penuh keterkejutan.

Adrian tiba-tiba beringsut mundur. Mata kemarahan perlahan mengabur menjadi tatapan gentar.

“Senang melihat kau kembali sehat, Putraku,” ujar selir agung menyapa sang putera dengan senyuman aneh.

Pangeran membeku, langkahnya seolah terantai di tempat hingga membuatnya tak mampu beranjak

dari hadapan sang ibunda. Peluh bercucuran dari pelipis pemuda berusia 18 tahun itu.

Wanita itu mendekat dan hanya menyisakan jarak 30 senti. Kemudian jemari lentik wanita bergaun jingga itu bergerak memberikan sentuhan lembut menyusuri wajah tampan sang putera. Belaian tangan itu berhenti pada rahang tegas yang masih terkatup rapat.

Kembali selir itu memasang senyum miring yang terekam jelas oleh netra sang pangeran.

Adrian mengamati tiap pergerakan yang dilakukan sang ibunda pada wajahnya, ia tak sanggup mengelak karena napasnya mendadak tercekat dan muncul desir aneh yang membuatnya membeku. Sentuhan asing itu tiba-tiba menyalakan alarm bahaya seolah meneriakinya untuk menjauh, namun sayang keterkejutannya masih membelenggu kesadarannya.

“Seperti ini kah caramu menyambut ibundamu, Pangeran?” bisik Jirea tepat berada di depan telinga.

Pemuda itu tersentak dan segera melompat mundur menyadari posisinya dalam bahaya.

“Ap—apa yang kau lakukan?!” geram Adrian dengan suara rendah.

Jirea terkekeh kecil menyadari puteranya gentar dengan kehadirannya.

“Apa salah seorang ibu mengunjungi anaknya sendiri?”

Adrian tertawa pelan, raut gentar yang sempat ia tunjukkan entah sejak kapan sirna. Kini ia berdiri lebih berani seolah siap meladeni perdebatan sengit yang akan terjadi.

“Apakah seseorang yang hendak membunuh anaknya sendiri masih patut dipanggil ibu?” respon

Adrian menjawab pertanyaan sang ibu tak kalah sarkas.

Jirea terlihat terbelalak, nampaknya ia terkejut dengan perubahan drastis sikap dan sifat dari sang anak.

Mulutnya terlihat mengaga tak percaya. “WO-WOAA! Apa aku tidak salah dengar?!”

Sang selir melangkah lebih dekat kepada Adrian. Ia berjalan memutari tubuh jangkung sang anak mengamati detail penampilan Adrian.

Di samping itu, Adrian menaikkan tingkat kewaspadaannya karena kini yang ada dihadapannya adalah wanita berbahaya yang sudah beberapa kali hendak menghilangkan nyawa sosok yang ia tumpangi.

“Takdir telah di tentukan, hanya aku yang bisa merubah untuk akhir yang kuinginkan,” gumam Adrian

tiba-tiba.

“Hahaha omong kosong apa yang kini kau ucapkan? Apakah kini kau telah kehilangan kewarasan?”

“Oh … Apa karena kau telah berani melawan ayahmu sehingga membuatmu besar kepala? Hahaha … sadarilah, Puteraku, gelar yang kau miliki hanyalah aib kerajaan, kehadiranmu di sini tak diinginkan dan kepergianmu adalah sesuatu yang diharapkan. Lagi pula meskipun kau anak yang juga tak kuharapkan, ibu mana yang mau mengotori tangannya untuk membunuh darah dagingnya?” lanjut Jirea kembali mencela habis-habisan sekaligus mencari pembenaran.

Pangeran terdiam, ia menatap gamang sosok ibu kandungnya.

“Sepandai-pandainya kau menyembunyikan, sebanyak apapun bunga kau berikan,

kebusukan tetap akan tercium oleh lalat yang menjijikkan.”

Tawa sumbang terdengar, kini bukan berasal dari sosok yang sedari tadi memamerkan keangkuhan melainkan dari sang pangeran yang baru saja dicaci habis-habisan.

“Aku benar kan? Seindah bagaimanapun bunga yang tumbuh dipemakaman, tak akan mampu menutupi kengerian kematian.”

Jirea terbelalak terkejut mendengar ucapan sang anak yang memiliki makna melebihi sebuah penghinaan. “KURANG AJAR?!” teriaknya dengan heboh.

Tangannya kini terangkat siap menampar pangeran yang ada di hadapannya. Sebelum akhirnya ada sebuah tangan mencekal tangan sang selir yang masih mengambang di udara.

“Belum puaskah kau menyakiti darah dagingmu sendiri, Jirea?”

TBC

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status