Ayah benar-benar overprotektif, hayo loh Elvan! Elvan dalam pantauan gak nih... heheheh Duh... mau lanjut lagi, mudah2an hari ini lancar semua urusan.. 🥰🥰🥰
Prisya tanpa membantah lagi, akhirnya menambahkan kontak Diva dalam panggilan mereka. Sayangnya, panggilan pertama gagal.Lalu pesan masuk ke ponsel milik Prisya.[Kakak sedang ada di dalam perawatan bersama dokter, nanti kakak hubungi lagi, kamu tunggu saja di lobi.]Setelah membacanya, Prisya langsung memberi tahu pada ayahnya.“Ayah gak dijawab sama Kak Diva, katanya sekarang mereka sedang ada di dalam ruang perawatan ada dokter juga. Mana enak juga Yah, kak Diva melakukan panggilan video, pasti bikin gak nyaman.” Prisya memberikan laporannya sekaligus membujuk ayahnya agar tidak bertindak berlebihan menurut versinya.Lukman hanya diam tidak memberikan respon, membuat Prisya menghela napas berat, dia mengerti arti diam dari ayahnya ini.“Baiklah, Prisya akan terus coba menghubungkannya.” Prisya berkata dengan suara lemah. Dia duduk di bangku ruang tunggu sembari menunggu panggilan videonya pada Diva tersambung.Kebosanan jelas ada, seandainya ayahnya tidak memerintahnya seperti ini,
Selama di dalam perjalan yang mengantarkannya pulang, Diva hanya diam saja. Dalam kepalanya jelas penuh dengan pikiran tentang bagaimana caranya untuk membawa Elvan pada orang tuanya!Jelas ayahnya akan membuat banyak pertanyaan untuknya besok. Membayangkan akan ditanyai banyak hal oleh ayahnya besok benar-benar membuat Diva merasa sedikit frustasi. Ayahnya pasti tidak akan bisa menerima begitu saja semua penjelasannya itu.Otaknya mengingat hal yang sebelumnya pernah terjadi, dimana dia memaksa untuk bersama dengan Nico sampai akhirnya kedua orangtuanya ini menyetujuinya, padahal saat itu, Ratri menjalani masa-masa beratnya dan nyaris putus asa karena hubungannya dengan pria dari kalangan kelas atas. ‘Ah! Saat itu berbeda, Nico bisa dengan mudah mengambil hati ayahnya karena pria itu juga punya kegemaran yang sama, yaitu memancing di laut! Tapi Elvan?’ Entah kenapa dia menjadi sangat khawatir memikirkan hal ini.Seketika, Diva mengingat kalau Elvan ingin pergi memancing dengan Andi.
Elvan duduk di kursi penumpang dengan sedikit lemas, dia merasakan tubuhnya memang sangat kesakitan tadi. Saat ini matanya terpejam karena pengaruh obat yang baru saja dia minum lagi sebelum masuk ke mobil ini.“Pak Elvan, kita sudah sampai di Manor Wongso.” Andi berkata pada tuannya ini saat mereka sudah sampai.Tidak ada sahutan dari belakang, selama menjadi sopir pribadinya dan salah satu orang kepercayaan Elvan, baru kali ini Andi melihat Elvan terlihat lemah seperti ini. Sepanjang hubungan mereka Elvan selalu sukses untuk menyembunyikan segala kelemahannya, pun termasuk di depan Andi.Andi sengaja tidak membangunkannya, dia tahu kalau tuannya butuh istirahat sejenak. Apalagi belakangan ini Elvan terlalu memaksakan dirinya untuk mengurus semua hal, seolah dia bisa mengendalikan segalanya.‘Laut? Kenapa tiba-tiba dia mau ke laut?’ Andi tiba-tiba teringat ucapan Elvan, karena mencari alat pancing itulah membuatnya tidak bisa menemani Elvan selama sisa waktu hari ini.‘Apa Pak Elvan i
Setelah sampai di rumah, Ayahnya tidak langsung bertanya pada Diva tentang apa yang baru saja terjadi. Pria itu hanya menyuruhnya bebersih dan makan malam.“Nanti, kalau selesai semua kamu langsung tidur saja.” Lukman berkata pada Diva, seolah tidak terjadi hal yang besar tadi.“Baik, Yah. Ibu mana?” tanya Diva dengan sedikit takut menatap ayahnya.“Ibu sudah tidur di kamar. Ayah juga akan tidur, kamu malam ini tidurlah. Besok pagi ayah ingin bicara denganmu, jangan coba-coba untuk menghindar lagi.” Setelah mengatakan hal itu, Lukman meninggalkan Diva yang sedang berdiri di depan televisi ruang keluarga. Pria itu masuk ke dalam kamarnya seakan semuanya baik-baik saja, dan yang akan dibicarakan oleh mereka besok bukan hal yang besar.Namun, hal ini tidak lantas membuat Diva tenang, karena dia sudah tahu betul, setiap ada ketenangan yang tiba-tiba seperti sekarang ini, kemungkinan akan ada badai besar melanda. Diva lalu melihat ke arah Prisya yang sedang menatapnya dari depan pintu kamar
Setelah mengirimkan pesan tersebut pada Marissa, Diva melanjutkan aktivitasnya dan tidak terlalu peduli pesan itu. Baginya hal itu sudah wajar kalau ada orang yang tidak suka dan menggertaknya. Pasti banyak yang mengincar Elvan, apalagi pria itu benar-benar sosok pria idaman setiap wanita.Saat kembali merebahkan dirinya ke tempat tidur Diva melihat kembali ponselnya, masih tidak ada pesan satu pun dari Elvan, termasuk pesan yang dikirimkan oleh Diva sebagai balasan pada Marissa.“Ah, aku tidak peduli, Aku tidak takut padamu! Aku lebih takut dengan rentetan pertanyaan yang diberikan ayah padaku besok!” Diva berkata dengan memandang handphonenya.Baru saja akan tertidur Elvan menghubunginya.“Diva maaf, handphoneku dalam mode senyap, termasuk getarnya.” Elvan berkata dengan rasa bersalah.“Tidak apa-apa, aku tahu kamu pasti tertidur, kan?” Diva berkata dengan nada yang senang.“Ya, tadi aku memang tertidur.” Elvan berkata jujur.“Sudah kuduga,” ucap DIva sambil terkekeh.“Div, aku mau t
“Sebenarnya, tadi papa menyuruhmu kemari ingin memastikan kalau kamu tidak memegang pekerjaan dulu malam ini dan juga bicara tentang hubunganmu dan Diva tentunya.” Darma mengeluarkan bentuk perhatiannya pada anaknya ini. “Tapi siapa sangka kalau tiba-tiba Bibi dan Pamanmu datang membahas tentang perayaan Lux Tech Group sampai malam mereka belum pulang juga.”Elvan tidak menjawab, dia memilih diam.“El, kalau kamu ada masalah cerita saja pada papamu ini. Kamu harus ingat kalau kamu masih punya keluarga, tempat dimana kamu bisa pulang dan merasa nyaman.” Darma menepuk perlahan pundak Elvan.“Aku tidak ada masalah apapun yang bisa kuceritakan, Pa.” Elvan berkata dengan suara dingin.Darma mengangguk pelan, dia tahu kalau anaknya yang satu ini sangat keras kepala dan memiliki tekat yang kuat. Dia juga memiliki gengsi selangit yang tidak bisa dikalahkan oleh siapapun!“Baiklah, tapi kamu harus selalu ingat pesan papa, jangan pernah lengah sedikit pun. Ingat El, kamu adalah calon pewaris ter
Pagi hari sebelum berangkat ke kantor, Diva mulai merasa gugup. Ayahnya jelas akan bicara padanya pagi ini. Diva mulai mengatur rasa cemasnya itu. Saat keluar kamar adalah hal yang sedikit menakutkan.Sebelum keluar dari kamarnya ini, Diva mencoba merapikan pakaian kerjanya, dress batik selutut dengan lengan panjang. Warna yang cukup cerah tetapi belum tahu apakah sisa hari ini akan turut cerah setelah pembicaraan dengan ayahnya pagi ini.Handling pintu diputar, aura dingin mulai merasuki tubuhnya. Apalagi saat keluar kamar dia langsung bisa melihat sang ayah sudah duduk di ruang keluarga dan menatapnya dengan sorot mata tajam saat dia berdiri tegak di depan kamar.‘Astaga, kenapa susananya jadi seperti ini?’ Diva berkata dalam hati.Di sana juga sudah duduk Ibunya yang sedang menemani keponakannya bermain. Namun, dia tidak melihat sosok Prisya. Jelas saja, Prisya pasti tidak ingin ikut campur di sesi pembantaian Diva ini! Sudah dipastikan adiknya itu mengurung dirinya di kamar dan men
Mendengar hal itu, Diva langsung terlihat menyatukan kedua alisnya dan berkata, “Apa ayah akan menghubunginya langsung?” tanya Diva dengan hati-hati.Ini sedikit diluar dugaannya dan tentu tidak masuk dalam prediksi Diva sebelumnya.“Ya, berikan sekarang dan ayah akan menghubunginya segera, di depanmu.” Lukman berkata dengan tegas.“Tapi Yah ….” Diva masih ragu untuk memberikan nomor Elvan pada ayahnya, akan tetapi walaupun demikian, Diva tetap mengambil ponsel ayahnya dan menekan kombinasi angka milik Elvan, hal ini membuat Ayahnya mengernyitkan kening.“Kamu bisa menghapal nomor orang luar sementara nomor keluargamu sendiri kamu bahkan tidak mengingatnya?” Lukman jelas tahu tentang kelemahan anaknya dalam mengingat kombinasi angka. Bahkan dulu, nomor Nico saja Diva masih harus melihat ponselnya sendiri.“Ayah, dia bukan orang luar, dia itu pacarku.” Diva berkata dengan jelas. “Lagipula kombinasi angkanya cukup mudah diingat,” tambah Diva lagi.“Baiklah. Kalau begitu ayah akan langsun