"Devan ...."
Arumi terkejut melihat kedatangan Radeya, Aluna dan Nino yang menerobos masuk ke dalam ruang rawat Devan.Wanita paruh baya itu refleks memundurkan tubuhnya membiarkan sangat suami melihat keadaan putranya yang disangka sudah tiada."Pa ...," lirih Devan saat ia bisa kembali melihat wajah papanya.Sebulir cairan bening luruh dari kedua sudut mata Devan begitu pun Radeya. Dua pria itu saling berpelukan dengan hati-hati karena tubuh Devan masih sangat lah lemah."Kenapa ini bisa terjadi? Papa ... Papa kira kau sudah meninggal dalam kecelakaan helikopter itu," ujar Radeya sembari menangis tersedu.Lega dan bahagia karena putra kesayangannya masih hidup. Dia selamat dari kecelakaan pesawat du tahun yang lalu."Syukurlah kau selamat, Nak. Papa sangat bahagia," ucap Radeya lagi. "Terima kasih, Nak. Kamu sudah kembali kepadaku," sambungnya lagi tak bisa membendung rasa syukur dan bahagiaAnggita sangat terkejut mendengar kabar tentang Devan yang sedang ada di rumah sakit dari Nino. Ia yang semula sedang menunggu dijemput oleh mahesa langsung bergegas menghentikan taksi dan langsung pergi tanpa menunggu kedatangan Mahesa.“Pak, tolong antar saya ke rumah sakit!” titahnya kepada sopir taksi yang ia tumpangi.Hati Anggita dipenuhi dengan perasaan yang sulit diartikan. Antara bahagia dan juga bersyukur karena ternyata suaminya masih hidup. Saat ini sejenak dia melupakan tentang hubungannya dengan Mahesa.Rasa hati sudah tak sabar ingin segera sampai di rumah sakit dan menemui Devan yang selama ini dia rindui. Begitu taksi yang ditumpanginya berhenti di depan rumah sakit, Anggita langsung turun dan bergegas masuk.Dia bertanya kepada petugas resepsionis mengenai ruangan yang ditempati oleh Devan. Setelah mendapatkan info, Anggita langsung bergegas mencari ruangan Devan.
Bagai ada pedang yang menusuk tepat di ulu hati Anggita. Rasanya sangat sakit dan juga menyesakkan. Tatapan Devan begitu tulus penuh cinta, sama seperti dua tahun yang lalu saat mereka masih menjadi suami istri.Anggita merasa sangat bersalah karena ia sudah berhubungan dengan Mahesa. Dan sekarang keadaannya menjadi terasa rumit baginya.“Anggi,” panggil Devan.Wanita itu segera tersadar dari pikirannya.“Ya?” sahutnya bingung.Devan diam selama beberapa detik masih memandangi wajah Anggita.“Ada apa? Kenapa kamu malah melamun?” tanya Devan.Anggita tersenyum tipis kemudian menggelengkan kepalanya.“aku hanya sedang memikirkan pekerjaanku,” sahut Anggita berbohong.“Jangan memikirkan apa pun saat kamu sedang bersamaku. Kamu hanya boleh memikirk
"Aku tak menyangka kamu tega melakukan semua ini kepadaku. Apa salah Devan sehingga kamu memalsukan kematiannya?" ucap Radeya. Terdengar nada kekecewaan dari pria paruh baya itu. Dia menatap sinis wajah sang istri yang baru saja duduk di sofa yang ada di ruang kerjanya. Arumi menelan salivanya dengan susah payah. Dia merasakan sedikit gugup berhadapan dengan suaminya karena satu rahasianya terbongkar. "Kenapa kamu menyembunyikan Devan dariku? Sebenarnya apa yang sedang kamu rencanakan diam-diam tanpa sepengetahuanku?" tanya Radeya lagi. Arumi menghela napas panjang dan membenarkan posisi duduknya. "Maafkan aku. Aku tidak bermaksud menyembunyikan Devan apa lagi sampai mencelakainya," sahut Arumi lirih. Ya, dia memang bukan wanita yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Semua yang terjadi kepada Devan murni kecelakaan tak terduga. Memang benar. Dia bersalah karena menyembunyikan kebenar
Dengan berat hati dan sangat terpaksa Aluna meninggalkan ruang rawat Devan untuk menghubungi Anggita. Meminta wanita yang masih menjadi kakak iparnya itu untuk datang menemui Devan.Di toko roti. Anggita sedang bersama Mahesa baru saja akan pergi menemui seseorang yang mengaku mengenal ibu kandung Mahesa. Niatnya untuk menemani Mahesa urung karena mendapatkan telepon dari Aluna yang memberi tahu bahwa Devan ingin bertemu dengannya."Kenapa? Siapa yang menelepon?" tanya Mahesa yang saat itu baru saja membukakan pintu mobil untuk Anggita.Anggita menghela napas panjang dan menggigit pelan bibir bawahnya. Ia merasa tidak enak hati kepada Mahesa karena ia tidak bisa ikut pergi bersamanya."Aluna yang menelepon. Dia bilang Devan tidak mau makan dan minum obatnya kalau aku tidak datang sekarang," ucap Anggita dengan ragu-ragu takut membuat Mahesa marah.Duda tampan itu mengangguk-anggukkan kepalanya dan menghela napas pelan.
Anggita menghela napas panjang. Dia menatap sendu wajah pucat Devan yang baru saja tertidur.Pria itu memaksanya berjanji untuk tidak meninggalkannya sendirian di rumah sakit. Devan juga mengancam tidak mau melakukan pengobatan jika ia tidak datang mengunjunginya setiap hari.Tangan Anggita terulur mengusap wajah pucat itu dengan sangat lembut dan hati-hati.Sebuah bayangan kenangan masa lalu berputar bagaikan kaset film yang terpampang jelas di dalam benaknya.Anggita menangis dalam diam menyesali semua yang telah terjadi kepadanya. Anda ia tahu Devan masih hidup, tak mungkin ia akan memberikan hatinya kepada pria lain."Maafkan aku, Mas Devan. Maaf!" lirih Anggita menyesal.Dia tidak bisa mengatur perasaannya agar kembali seperti semula. Kembali ke masa di mana hatinya dan cintanya hanya untuk Devan seorang.Anggita segera mengusap jejak air mata di wajahnya. Hari sudah sore, dia harus seger
Mahesa memarkirkan mobilnya di depan sebuah rumah berukuran sedang. Ia turun dari mobil dan berjalan memutar untuk membukakan pintu penumpang.Seorang wanita paruh baya bergegas turun dari dalam mobil Mahesa. Senyum di bibir tua itu mengembang tetapi pendar matanya sendu.Laras yang sudah bersemangat karena akan segera menemukan putranya, Tiba-tiba harus menelan kekecewaan saat temannya mengabari bahwa orang yang mengaku putranya itu seorang penipu yang sedang memanfaatkan keadaan Laras."Terima kasih, Nak Mahesa sudah mengantarkan Ibu pulang," ucap Laras.Mahesa tersenyum ramah. Ia pun sama hal nya dengan Laras. Sedang menyembunyikan kekecewaannya karena tidak jadi bertemu dengan orang yang mengaku mengenal ibunya. Bahkan orang itu tak menjawab panggilan Mahesa hingga sekarang."Sama-sama," sahut Mahesa. "Kalau begitu, aku pamit untuk langsung pulang," sambungnya lagi berpamitan."Apa kamu tidak mau mampi
Sebuah mobil berwarna hitam berhenti di depan toko roti. Pemiliknya tidak langsung ke luar dari mobil itu. Ia lebih memilih untuk diam dan bersandar di kursi kemudi.Mencoba menenangkan hati dan pikiran yang bercabang ke mana-mana. Pria tampan itu menghela napas berkali-kali sambil memejamkan matanya. Kepalanya terasa berat dan berdenyut sakit akibat terlalu banyak beban yang sedang ia pikirkan.Suara ketukan dari luar menyadarkan pria itu dari lamunannya. Perlahan dia membuka matanya dan melihat ke arah jendela mobil."Anggita?" gumamnya saat melihat sosok wanita yang dikenalnya sedang berdiri di samping mobilnya.Mahesa melepaskan sabuk pengaman, kemudian turun dari mobilnya."Sedang apa kamu berlama-lama di dalam mobil?" tanya Anggita menyelidik."Aku ... Ah, tidak apa-apa," sahut Mahesa gugup.Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas mengulas sebuah senyum lega. Tanpa aba-aba Mahesa menarik t
Mahesa bergeming, terpaku menatap bayangan tubuh Aluna yang mulai menghilang di balik pintu ruang kerjanya. Ia masih mencerna akan percakapannya baru saja dengan wanita itu.Mahesa menghela napas panjang dan mengendurkan dasi yang dikenakannya. Kemudian menyenderkan punggung pada penyangga kursi kerjanya. Napasnya terasa sangat sesak begitu pun dengan hati dan pikirannya.Sebuah getaran cukup lama di atas meja kerjanya menarik Duda tampan itu dari lamunannya. Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas, membentuk sebuah senyum manis tatkala sederet angka yang sangat familiar terpampang jelas pada layar ponselnya."Halo? Aku baru saja akan menghubungimu, Gita." Mahesa langsung menyapa seseorang yang menghubunginya."Kamu sedang apa sekarang?" tanya Mahesa lagi.Hening. Mahesa tak mendengar sahutan dari Anggita dari seberang telepon. Ia mengernyitkan alisnya dan mengira kalau jaringannya sedang tidak bagus."Halo?