Share

BAB 6

Yudhistira merasa gusar sekarang. Melihat Julia dan Aditya baru saja meninggalkan kantor, entah kenapa hatinya mendadak berubah jadi tak tenang.

Oleh Yudhistira, katakan saja dia benar-benar gila sekarang. Kegusarannya kali ini benar-benar tak lagi bisa dikendalikannya. Pria itu lantas melajukan mobilnya, membuntuti mobil yang sudah lebih dulu berjalan di depan sana yang diyakini adalah mobil Aditya.

Sampai akhirnya Yudhistira menghentikan mobilnya tak jauh dari rumah Julia. Berkali-kali pria itu membuang napas, bahkan dia tidak menyadari apa yang sedang dilakukannya sekarang.

"Lo gila, Dhis!" gumam pria itu pada dirinya sendiri.

Bayangan bagaimana Julia dilukai sebanyak itu, mengingatkannya pada seseorang. Dan entah mengapa Yudhistira bisa tenggelam sampai sejauh ini.

Entah sudah berapa lama, Yudhistira berdiam diri tanpa melakukan apa-apa di sana. Sesekali dia menoleh, dan berharap jika Aditya akan segera bergegas pergi. Semakin lama pria itu berada di sana, semakin membuat pertahanan diri Yudhistira perlahan terkikis. Hatinya mendadak berubah menjadi kalut.

"Brengsek!" umpat pria itu cemas.

Untuk menuntaskan rasa cemasnya itu, Yudhistira mulai memikirkan alasan yang tepat untuk menemui Julia. Dia berniat untuk turun dari mobilnya, namun samar-samar di depan sana, Yudhistira bisa melihat Aditya baru saja keluar dari rumah itu.

Tatapan Yudhistira lurus ke depan, melihat pria itu tengah mengenakan ikat pinggangnya, Yudhistira bisa menebak apa yang baru saja dilakukan Bajingan itu.

"Bajingan!" desis Yudhistira masih mencoba mengendalikan diri.

Setelah mobil itu meninggalkan kediaman Julia, Yudhistira dengan cepat melajukan mobilnya dan berhenti tepat di depan rumah itu. Pria itu lantas turun dengan cepat. Tidak peduli dengan bagaimana pendapat Julia nanti, dia hanya ingin memastikan kondisi Julia sekarang.

Yudhistira berdiri dengan pikiran berkecamuk. Tangannya terangkat ke atas, lalu dia mulai mengetuk pintu itu dengan pelan.

Dia telah bersumpah akan mendobrak pintu yang ada di hadapannya sekarang, jika Julia tidak membukakan pintu untuknya.

Namun, tak berselang lama, suara derap langkah dari dalam terdengar, Yudhistira tidak perlu repot-repot untuk mendobrak pintu tersebut.

Yudhistira baru saja membuka mulutnya, namun pemandangan yang ada di hadapannya seketika membuat hati pria itu mencelos.

"Julia?"

Julia dengan wajah penuh luka lebam, kini berdiri di hadapannya dan hal itu membuat sekujur tubuh Yudhistira bergidik ngeri.

Perempuan itu baru saja ingin mengeluarkan suaranya, tetapi Yudhistira yang mendadak memeluk Julia, seketika membuatnya urung. Matanya melebar seketika, perempuan itu kehilangan kata-kata.

Julia tidak mengerti mengapa tiba-tiba Yudhistira ada di rumahnya sekarang. Yang ingin dilakukannya saat ini, hanyalah memikirkan alasan yang tepat untuk menutupi semua ini, namun sepertinya gagal lantaran ucapan Yudhistira justru membenarkan dugaannya.

"Saya akan membunuh Bajingan itu, Julia," desis Yudhistira sembari menggertakkan rahangnya.

"Bapak, ada apa ke sini?" Julia mencoba mengalihkan.

Yudhistira menarik diri. Dia berdiri di hadapan Julia dengan tatapan tak lepas dari perempuan itu.

"Berhenti berpura-pura, Julia. Kamu pikir saya nggak tahu apa yang barusan terjadi sama kamu, hm?" Dadanya bergemuruh hebat, emosi Yudhistira mulai meledak-ledak di dada.

"Pak, saya—"

"Katakan apa saja yang dia lakukan sama kamu barusan. Dan saya akan membunuh dia, Julia. Saya—"

"Pak, tolong jangan melewati batas," potong Julia dengan cepat.

"Kamu yang memaksa saya untuk melewati batas, Julia," desis Yudhistira tak terima. "Fine, kalau kamu nggak mau mengaku, saya bisa mencari tahu sendiri."

"Pak, saya mohon jangan lakukan itu," rengek perempuan itu lirih, tidak ada lagi yang bisa ditutupi Julia dari Yudhistira.

"BERHENTI MEMBELANYA, JULIA! KAMU MAU MATI, HAH?" sentak Yudhistira sekali lagi.

Kepala Julia mendadak berdengung begitu mendengar Yudhistira berteriak. Dadanya berdenyut perih dan dia tak lagi mampu menahan air mata yang sejak tadi tertahan untuk tidak jatuh sekarang.

Yudhistira sontak tergamam. Pria itu lantas meraup wajahnya dengan gusar. Lalu mengusap lengan Julia untuk menenangkan perempuan itu. Dia benar-benar menyesal.

"Maaf, Julia. Saya nggak bermaksud untuk membentak kamu, tapi—" Yudhistira mendesah kasar. "—dia udah kelewatan. Kalau kamu mempertahankan dia, kamu bisa mati, Julia!"

"Saya baik-baik saja, Pak."

"Baik-baik saja kamu bilang?" sengal Yudhistira naik pitam. "Well, kalau kamu bilang baik-baik saja, jangan salahkan saya unt—"

"Please, Pak. Jangan. Saya akan melakukan apa saja untuk Bapak. Jadi saya mohon, berhenti sekarang juga," cegah Julia dengan cepat.

Yudhistira terhenyak selama beberapa saat. Melihat betapa rapuhnya Julia saat ini, seolah dia sama sekali tidak mengenal sosok perempuan yang kini berdiri di hadapannya.

“Kamu harus membayar mahal semua ini, karena kamu berhasil membuat saya mati-matian menahan diri untuk tidak menghabisi Bajingan itu, Julia.”

“Apapun, Pak. Saya akan melakukan apa saja, asal jangan apa-apakan dia.”

“Brengsek!” umpat Yudhistira mencoba menelan habis-habisan emosinya.

Yudhistira lantas menggandeng tangan Julia untuk masuk ke dalam rumah. Langkahnya yang sedikit terseok membuat Yudhistira memelankan langkahnya.

Dibiarkannya perempuan itu duduk di sofa, sementara dia berjalan menuju dapur untuk mengambil batu es.

Seolah tak peduli jika si tuan rumah kini tengah memperhatikannya, Yudhistira dengan cekatan menemukan apa yang dicarinya.

Pria itu mengambil sebuah mangkuk, lalu mengambil batu es dari dalam lemari pendingin. Dia juga meraih handuk kecil yang rupanya sudah disiapkan Julia di sana, lalu membawanya mendekati perempuan itu.

Untuk selama beberapa saat, tidak ada yang berbicara. Pun begitu dengan Yudhistira yang tampak kacau pikirannya.

Dia menggulung lengan kemeja putih yang terlihat lusuh sekarang. Lalu tangannya mulai sibuk membungkus batu es itu dengan handuk hingga membentuknya seperti bongkahan kecil. Sebelum akhirnya Yudhistira menjulurkannya ke arah Julia.

"Biar saya saja, Pak."

Yudhistira menggeleng. Tangan Julia yang tadinya hendak meraih bongkahan batu es itu, ditangkap Yudhistira, lalu digenggamnya dengan erat. Julia sempat tercenung selama beberapa saat. Sikap pria itu sejujurnya membuat Julia tak nyaman.

Di waktu yang bersamaan, anehnya, Julia bisa merasakan hangat menjalar di tubuhnya. Terlebih saat tatapan Yudhistira tak lepas dari menatapnya.

"Kamu sudah berjanji akan melakukan apapun untuk saya, kan Jul?" ujar Yudhistira mulai memecah keheningan yang sempat hadir di antara mereka.

Julia menunduk, menatap tangannya yang masih digenggam Yudhistira. Perempuan itu termenung selama beberapa saat, sebelum ucapan Yudhistira kembali terdengar.

"Dan saya berharap kamu bisa menepatinya."

"Apapun, Pak. Kecuali untuk yang satu itu."

Gerakan tangan Yudhistira kontan terhenti. Matanya menatap lurus ke arah Julia yang kini terlihat tak gentar menatapnya. Seolah ingin menunjukkan bahwa dia baik-baik saja.

"Well, kalau kamu nggak mau ninggalin dia, nggak apa-apa, Julia. Tapi kamu tahu sendiri bagaimana cara kerja saya selama ini, kan?"

"Bapak ngancem saya?" desis Julia lirih.

"Anggap saja begitu, karena kamu nggak menuruti ucapan atasan kamu."

"Atasan mana yang mencampuri urusan bawahannya, Pak? Ini ranah pribadi saya, Pak. Tidak seharusnya Bapak melibatkan diri," sanggah Julia tak terima.

Julia menarik tangannya dari genggaman Yudhistira. Perempuan itu menundukkan wajahnya, dan dia mendadak merasa nyeri hebat.

"Saya nggak bisa ninggalin dia, Pak," kata Julia setelah tak kunjung mendapatkan tanggapan dari Yudhistira.

"Kenapa? Dia mengancam kamu? Atau dia berusaha memaksa kamu?" sahut Yudhistira tak sabaran.

Julia menggeleng. "Aditya sebenarnya orang baik, Pak. Dia sangat mencintai saya. Hanya saja… dia sedikit berbeda dan istimewa."

Yudhistira mencebikkan bibirnya. "Istimewa untuk menyebut seorang sadomasokis itu terlalu berlebihan, Julia."

"Kenyataannya memang begitu, kan Pak? Tolong jangan ikut campur. Saya melakukannya dengan sadar sepenuhnya, Pak. Saya sama sekali nggak keberatan kalau—"

"Dan dengan membiarkan kamu mati, begitu?" potong Yudhistira dengan cepat. "Cara mencintai seseorang itu nggak begini, Julia. Dia sakit dan harus segera diselamatkan. Bukan malah kamu manjakan dengan menuruti apa maunya dia!"

"Pak, bisa nggak kalau Bapak nggak usah ikut campur sama urusan saya? Tolong, untuk yang satu ini saja," rengek Julia mencoba membujuk Yudhistira.

"Saya sudah telanjur tahu sebanyak ini, Julia. Saya juga sudah bilang ke kamu kalau saya akan mengusahakannya, kan?

"Saya mau kamu memilih saya. Tidak masalah kalau kamu belum tertarik sama saya, bukankah semuanya perlu waktu?"

"Bapak tertarik sama saya?" tembak Julia dengan cepat.

Tentu saja Yudhistira tidak bisa menjawabnya. Bahkan perasaannya masih terasa abu-abu, dan dia tidak tahu seperti apa hatinya saat ini.

"Nggak, kan Pak? Saya nggak suka dikasihani, Pak. Kalau apa yang Bapak lakukan sekarang hanya karena kasihan dengan saya, lebih baik Bapak berhenti," ujar Julia menohok hingga ke ulu hatinya.

"Bukan begitu, Julia. Kamu… sempat mengingatkan saya dengan seseorang."

"Jadi Bapak menyamakan saya dengan orang itu?"

Yudhistira menelan ludah dengan susah payah, lalu dia menatap Julia sesaat, sebelum dia menganggukkan kepalanya.

"Kamu mengingatkan saya dengan Mama."

Seketika bibir Julia terkatup rapat. Ada raut kesedihan yang terpancar di mata Yudhistira, dan Julia bisa merasakannya.

"Jadi tolong, bisa kan kamu berhenti?"

Julia menggeleng. "Saya nggak bisa ninggalin dia, Pak."

"Saya akan menukarnya dengan hidup yang jauh lebih baik, lebih layak, dan aman buat kamu, Julia. Tapi bukan dengan cara seperti ini. Kasih saya celah sedikit saja, dan saya akan memenangkan hati kamu dari dia. Percaya dengan saya."

"Maaf, Pak. Saya nggak bisa meninggalkan Aditya," ujar perempuan itu bersikeras. "Saya nggak bisa untuk tidak menuruti permintaan terakhir Mama saya, Pak. Beliau mau saya menikah dengan Aditya."

"Mama kamu pasti akan menyalahkan dirinya kalau melihat kamu menderita begini, Julia."

Julia menggeleng.

"Keluarga Aditya selama ini baik sama saya, Pak. Ibunya Aditya adalah teman dekat mendiang Mama saya. Dan saya nggak mau menyakiti banyak orang, Mama, Tante Anggun, dan keluarga lainnya yang berharap saya bersama Aditya."

"Mereka baik, tapi tidak dengan Aditya. Saya nggak peduli, kamu mau berhenti atau dia berakhir di penjara dengan cara saya?"

Julia menggeleng dengan cepat. "Jangan, Pak. Saya mohon. Tolong jangan apa-apakan dia."

"Tinggalkan dia segera."

Julia menghela napas panjang. "Jangan persulit saya, Pak. Semua akan rumit kalau saya meninggalkannya.

"Jawab pertanyaan saya dengan jujur, Julia."

Julia memberanikan diri untuk mengangkat wajahnya. "Apa?"

"Apa yang kamu rasakan saat melakukannya, hm? Kamu merasa puas? Kamu merasa bahagia? Atau kamu juga menikmatinya, hm?"

Julia tak mampu membendung air matanya. Terlalu bingung untuk menjawab pertanyaan Yudhistira, lantaran apa yang dirasakannya justru sebaliknya.

"Kamu menikmatinya? Jawab, Julia!" desak Yudhistira sekali lagi.

"Sakit, Pak." Tangisan Julia semakin menggugu. "Kalau Bapak pikir, saya menikmatinya, Bapak salah besar. Dari mana orang normal seperti saya bisa merasa terpuaskan dengan hal-hal yang menyakitkan, hm? Hati saya sudah membeku, Pak. Bahkan untuk sekadar menikmati saja, rasanya tidak pernah ada."

Hati Yudhistira terasa dicabik-cabik sekarang. Pria itu meraup wajahnya dengan kasar, sebelum akhirnya dia menarik Julia untuk duduk di pangkuannya dan membuat Julia terkesiap.

"Kamu pengen tahu rasanya senikmat apa bercinta yang sebenarnya?"

Julia seketika membelalak.

"Begini, Julia."

Belum sempat Julia memberontak, Yudhistira sudah lebih dulu membungkam Julia dengan bibirnya.

***

Terima kasih sudah mampir dan membaca, ya!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status