Share

BAB 5

“Julia?”

Perempuan itu lantas menoleh ke arah seseorang yang memanggilnya. “Ya, Pak?”

Yudhistira yang saat ini terlihat lelah berjalan menghampirinya. “Pulang sama siapa?” tanyanya saat sadar Julia tengah bersiap-siap untuk pulang.

“Dijemput, Pak,” jawab Julia dengan suara tercekat.

Pertemuan siang tadi berlangsung baik-baik saja. Julia hanya tidak menyangka jika Aditya yang merupakan keponakan Yosha, akan turut hadir dalam pertemuan tersebut.

Dan tentu saja suasana meja makan siang tadi berubah menjadi tak nyaman. Pun begitu dengan Yudhistira yang sadar siapa sosok Aditya. Seolah ingin menunjukkan posisinya, pria itu secara terang-terangan merayu Julia, di hadapan Aditya. Dasar orang gila!

“Sama pacar kamu, ya?”

Julia mengangguk.

“Boleh nggak, sih kalau saya khawatir?” ujar Yudhistira dengan tenang. “Boleh nggak, kamu pulang sama saya saja?”

“Saya sudah punya pacar, Pak.” Seolah Julia ingin mengingatkan posisi Yudhistira sekali lagi. “Lagipula saya baik-baik saja. Jadi Bapak nggak perlu khawatir dengan saya.”

Tentu saja itu hanyalah kalimat pengalihan. Julia tahu jika Aditya jelas marah, dan dia mengajaknya untuk bertemu malam ini. Itu artinya Julia sedang dalam bahaya. Haruskah Julia mengatakan kalimat perpisahan kepada Yudhistira?

“Oke. Saya minta maaf soal yang tadi siang.”

Julia mengangguk. “Iya, Pak. Kalau begitu saya pamit pulang dulu, ya Pak.”

“Iya.”

Julia lantas mengayunkan langkahnya meninggalkan Yudhistira yang masih berdiri di sana, alih-alih mengajaknya turun bersamaan. Pikirannya mendadak kacau sekarang.

Julia lantas mengedarkan matanya ke sekitar begitu dia tiba di lobi. Dari tempatnya dia bisa melihat Aditya tengah berdiri bersandar di pintu mobilnya, lalu dia melambaikan tangan ke arah perempuan itu.

“Hai,” sapa Julia pada sang kekasih.

“Hai, Sayang.” Aditya lantas mendaratkan kecupan singkat di wajah Julia. “Kita pulang sekarang, hm?”

“Iya.”

Aditya lantas membukakan pintu untuk Julia, baru setelahnya dia berlari menuju kursi kemudinya. Lalu tak berselang lama, Aditya mulai melajukan mobilnya meninggalkan gedung Diamond Group detik itu juga.

Sepanjang mobil melaju membelah jalanan ibu kota, tidak ada yang bersuara. Samar-samar Julia bisa mendengar suara lantunan musik dari audio mobil, kemudian dia melirik ke samping dan ada sebotol wine di sana.

“How’s your day, Sayang? Lancar, kan?” tanya Aditya sembari mengusap lembut puncak kepala Julia. “Kamu selalu pulang malam begini, dibayar berapa, sih sama bos kamu?”

“Lancar, Dit. Kamu gimana? Aku nggak tahu kalau kamu tadi ikut meeting sama Pak Yosha.”

Aditya terlihat tersenyum. “Iya, kebetulan aku tadi habis berkunjung ke kantornya Om Yosha, jadi aku pikir nggak masalah kalau aku ikut makan siang sekalian. Dan ternyata malah ketemu sama kamu. Aku kangen sama kamu, Sayang,” ujarnya sembari mengusap paha Julia yang saat ini terekspos lantaran perempuan itu mengenakan rok pendek.

“Iy-ya.”

Mobil itu berbelok menuju kediaman Julia. Aditya menghentikan mobilnya tepat di depan rumah perempuan itu, lalu pria itu kembali bersuara.

“Aku kangen sama kamu, Sayang. Boleh, nggak aku kangen-kangenan sama kamu?”

Tentu saja Julia tidak punya pilihan lain selain menuruti kemauan Aditya. “Boleh.”

Julia lantas mengayunkan langkahnya masuk ke dalam rumah, pun dengan Aditya yang lantas mengekor di belakangnya.

Suasana rumah tampak gelap, mengingat bahwa Julia hanya tinggal seorang diri di rumah itu. Rumah yang saat ini ditempati Julia adalah salah satu rumah pemberian—atau lebih tepatnya adalah penghargaan untuknya dari Diamond Group atas dedikasi perempuan itu selama bekerja sebagai sekretaris Mahesa.

Julia berjalan menuju ke dapur setelah melepaskan high heel-nya. Dia lantas membuka lemari pendingin untuk mengambil minuman dingin di sana, bersamaan dengan Aditya yang langsung memeluknya dari belakang.

Perempuan itu sempat terkesiap selama beberapa saat. Jantungnya mendadak berdebar kencang, Julia sudah bisa menebak apa yang selanjutnya akan terjadi setelah ini.

“I miss you, Sayang,” bisik Aditya dengan suara parau.

“Kamu mau minum wine?” tanya Julia dengan suara tercekat.

“Kamu udah nggak sabar, ya?” Aditya menyeringai kecil. “Boleh, Sayang.”

Aditya lantas melepaskan pelukannya, membiarkan Julia mengambil dua gelas wine dari atas kabinet dapur. Sementara pria itu tersenyum begitu botol wine yang ada di tangannya berhasil dibuka.

“Kamu juga mau, kan Sayang?”

Julia mengangguk. “Iya.”

Aditya lantas menuangkan wine itu di kedua gelas yang ada di hadapannya. Setelahnya, dia mengangsurkannya ke arah Julia, lalu mendentingkan gelasnya pada gelas Julia dan langsung meneguknya perlahan.

“Setelah meeting tadi, kamu berubah sikap. Semua baik-baik saja, kan?” tembak Aditya setelah meneguk beberapa gelas.

“Baik-baik saja, Dit. Aku… minta maaf sama kamu, soal sikap atasanku tadi.”

“Noooo, bukan salah kamu, Sayang.” Aditya lantas meletakkan gelas wine-nya, lalu berjalan mendekati Julia. “Nggak ada yang salah dengan pacarku, bukankah sah-sah saja kalau atasan kamu juga menyukaimu? Kamu memang cantik, jadi wajar kalau atasanmu juga menginginkan kamu, kan?”

“Maaf, Dit. Aku nggak mau kamu salah paham. Aku—”

Namun Julia sudah lebih dulu terkesiap saat tiba-tiba Aditya mendaratkan pukulan di wajahnya. Perempuan itu tersentak kaget. Bukankah seharusnya dia sudah mempersiapkan segalanya? Julia seharusnya sudah tahu bagaimana alur permainan Aditya. Julia seharusnya tahu jika pria itu akan menyiksanya seperti ini. Seperti yang sudah-sudah.

“Sayang…” Aditya kembali mendekati Julia, lalu satu pukulan lagi mendarat di wajah perempuan itu. “Aku kangen sama kamu, Julia.”

Perlahan Aditya mulai melucuti kain yang menutupi tubuhnya. Julia tahu jika Aditya sudah mulai kehilangan kesadarannya, tapi entah mengapa perempuan itu memilih untuk pasrah seperti yang sudah-sudah.

“Dit…”

“Hm-mm? Iya, Sayang?”

“Aku—”

“Kenapa? Aku menyakiti kamu lagi, ya? Maafin aku, Sayang.”

Hati Julia mendadak mencelos. Melihat raut sendu Aditya saat ini, dia jadi tidak tega untuk menolaknya. “Nggak, kok Dit. Aku—”

Belum Julia melanjutkan ucapannya, Aditya lantas maju selangkah mendekatinya, dan langsung mencekik leher Julia dengan cepat.

Julia kembali terkesiap. Matanya seketika membelalak saat tiba-tiba kepalanya berdengung lantang. Aditya lantas menyeret Julia menuju ke kamarnya, menganggap perempuan itu seperti hewan yang akan disembelih sekarang.

Julia dilempar ke atas ranjang. Lalu tanpa mengatakan apa-apa lagi, Aditya langsung menelanjanginya. Dan lagi-lagi, Julia memilih untuk pasrah.

Aditya lantas merangkak di atas Julia, lalu mendaratkan kecupan di wajah perempuan itu. “I love you, Julia,” bisiknya parau.

Pria itu lantas meraih ikat pinggang yang masih dikenakannya, lalu mengikat kedua tangan Julia di sana. Perempuan itu ingin sekali menangis sekarang. Bahunya bergetar hebat, tubuhnya terasa sakit. Terlebih saat Aditya mulai menjambak rambutnya, satu tangan lainnya menampar wajahnya berulang-ulang.

“Dit…” rintihnya lirih.

Seharusnya Julia bisa bertahan, kan? Julia pasti baik-baik saja seperti biasanya. Dia hanya perlu bertahan, karena semua ini tidak akan berangsur lama.

Aditya mulai mendaratkan gigitan-gigitan di sekujur tubuh Julia. Demi Tuhan rasanya begitu menyakitkan. Entah mengapa Julia semakin ingin menangis, terlebih saat ucapan Yudhistira kembali berdengung di kepalanya.

“Kamu milikku, Julia,” bisik pria itu menyeringai. “Aku nggak suka kalau kamu dekat dengan pria lain. Jadi kamu harus mendapatkan pelajaran,” bisiknya lirih.

“Maaf, Dit. Maaf…”

“Kamu cuma milikku, Sayang.”

Aditya baru saja ingin memasuki Julia bersamaan dengan ponselnya yang berdering lantang. Pria itu ingin rasanya mengabaikannya, setidaknya sebentar saja, namun…

“Shit!” Aditya lantas turun dari atas Julia, lalu berjalan mendekati ponselnya yang ada di atas nakas.

Aditya menghela napas panjang, sebelum dia mengangkat panggilan itu bersamaan dengan suara seseorang terdengar di seberang sana.

“Harus malam ini banget, ya?”

Julia bisa mendengar Aditya mendesah panjang. Ada sedikit perasaan lega yang mendadak hadir di hatinya. Setidaknya untuk sementara.

“Oke, saya ke sana sekarang.”

Setelah mengakhiri panggilannya, Aditya kemudian menoleh ke arah Julia yang sudah terkapar lemah di atas tempat tidurnya. Pria itu mendesah pelan, lalu dia berjalan mendekatinya.

“Sayang, maaf aku harus pergi sekarang,” bisik Aditya di samping wajah Julia, sembari mendaratkan kecupan di kening perempuan itu.

Julia masih belum menjawab. Dia masih bersikap waspada, kalau-kalau setelah ini Aditya akan memukulnya lagi.

“Maaf, ya Julia Sayang.” Aditya menyentuh sudut bibir Julia yang saat ini terlihat memar, lalu melepaskan ikatan di tangan perempuan itu. “Kita lanjutkan kapan-kapan lagi, ya? Aku mendadak ada urusan di kantor.”

“Iya.”

Aditya lantas turun dari tempat tidur itu, dan langsung mengenakan pakaiannya dengan cepat. Lalu tanpa mengatakan apa-apa setelahnya, pria itu berlalu seperti biasanya, dan sedetik kemudian Julia terisak.

Rasa sakit di sekujur tubuhnya, tak akan cukup membayar apa yang selama ini dilakukan keluarga Aditya untuk keluarganya. Julia lantas meraih baju tidur yang tersampir di sofa, lalu mengenakannya sembari menahan sakit di sekujur tubuhnya.

Dengan langkah gontai, Julia berjalan menuju dapur. Dia harus segera mengobati luka-lukanya jika tidak ingin Yudhistira melihatnya. Entah mengapa Julia harus mulai waspada dengan atasannya itu.

Julia lantas membuka lemari pendingin untuk mengambil batu es di sana, bersamaan dengan suara pintu diketuk seseorang dari luar sana. Refleks Julia mencengkram ujung baju tidurnya, khawatir kalau-kalau Aditya akan kembali ke rumahnya, dan menyiksanya sekali lagi.

Julia ingin sekali mengabaikannya. Dia tidak ingin disiksa malam ini. Tubuhnya sudah terlalu lelah dan… kesakitan.

Namun langkahnya justru berkata lain. Dengan ragu perempuan itu berjalan menuju ke depan untuk membuka pintu rumahnya. Lalu sedetik kemudian dia tercenung.

“Julia?”

Sosok pria yang berdiri menatapnya dengan raut khawatir itu, tiba-tiba saja memeluknya.

***

Terima kasih sudah mampir dan membaca, ya!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status